Mohon tunggu...
Ngah aroel
Ngah aroel Mohon Tunggu... Penulis - Sastrawan

Pecinta sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Halaman Kosong

6 Februari 2022   14:13 Diperbarui: 6 Februari 2022   14:22 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku berdiam diri. Masih memandang laptop yang sedikit lagi kehabisan bateri. Di layar monitor hanya memajang tampilan biru dari Microsoft word yang cukup menarik. Sesekali mataku memandang ke arah jam dinding yang bergantung rapi di sebelah pajangan poto keluarga. Terus berdetak dan hanya suaranya saja yang terdengar di sunyinya malam ini. Dari jarak beberapa meter, pandanganku melihat bahwa jarum jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi lewat empat belas menit. Di hati berasa sudah cukup lama otak ini tak sanggup menulis rangkaian kata kata indah. Ingin pula rasanya kujambak rambut dan kuhempaskan kepala ini ke dinding rumah yang berwarna putih pucat sedikit kotor bekas coretan dinding gambar gambar aneh karya anak anakku. Tak cukup cantik namun sayang untuk dihapus.

Detak jarum jam itu terus menemani jasad ini. Sejenak pula badanku berdiri seakan digerakkan tanpa kendali. Senyap, sunyi  kembali langkahku meninggalkan meja usang itu dan mengambil tas kerja yang tak jauh dari kursi sebelah aquarium rumah ini. Tujuanku hanya satu, mengambil cas laptop dan kembali ke meja kerja mencolokkan cas laptop kepadanya. Namun Saat tanganku menggapai cas laptop,  mataku tertuju ke suatu mainan kunci yang terletak berdampingan dengan cas lapotop tersebut. Yang kutahu, mainan kunci berupa kepala spiderman itu adalah pemberian dari seseorang sekitar delapan tahun yang lalu. Sontak pikiranku terkenang dengan seorang wanita yang dulu pernah mencintaiku namun cinta itu hanya bertepuk sebelah tangan sebab aku hanya menganggapnya sebagai teman biasa tapi dekatnya luar biasa. Wanita itu tak pernah lagi kulihat sejak enam tahun belakangan ini. Kabarnya pun tak diketahui, entah di manalah ia kini. Namun kisahku dengan dirinya selalu terbayang setiap kali kulihat mainan kunci terbuat dari karet biru merah.

Memiliki cerita klasik penuh asmara namun tak bisa memiliki. Bertahun mengenal dan bersahabatan dengannya tentunya banyak suka dan duka dilalui. Sampai kami pernah dituduh berbuat mesum padahal aku hanya berusaha membantu untuk mencucikan celana dalamnya yang terkena kotoran akibat penyakit diare yang dialami setelah menyantap mi instan dengan cabe rawit yang cukup banyak. Saat itu, kulihat wajahnya pucat pasi dan lesu tak berdaya bersandar di jok mobil sebelah kiri depan setelah mengeluarkan kotoran itu sedang aku mengemudi kenderaan roda empat bermerk dari jepang. Sementara rumahnya masih jauh kuantar sekitar sembilan kilo lagi. Sebab tak sanggup menahan bau yang menyengat lantas aku mengentikan laju kendaraan dan keluar dari mobil lalu menyuruhnya membersihkan kotoran itu dengan sebotol air mineral bekalan kami. Ia menuruti perintahku, turun dari mobil dengan pergi sedikit menjauh ke arah semak semak sembari aku menyuluh lampu kecil ke arahnya malam itu. Rasa ingin tertawa mengungkap di hati, namun rasa iba menyulut pikiran. Selang beberapa menit, aku menyuruhnya kembali menanggalkan celana dalamnya. Ia pasrah dan tak bisa berbuat banyak lagi. Dengan terpaksa sedikit malu ia menanggalkan celana dalamnya dan memberinya kepadaku. Gapai celana itu, kubasuh dengan sisa air mineral tadi, ia berjalan ke arah mobil sambil terhengah-hengah lemah sembari tangan kirinya memegang perut yang sakit. Sementara aku masih di tepi semak membersihkan celana dalamnya dari kotoran diare. Disaat itulah ada sekelompok masyarakat yang mengampiri kami dan berteriak sedikit lantang "ngapain kalian? Kalian berbuat mesum ya"? sorak lelaki paruh baya sembari memegang senter besar dan menyuluh ke arah kami. Saat itu ku lihat ia buru buru merapikan roknya dan memasang wajah cemas yang membuat kecurigaan masyarakat kian kuat menuduh kami berbuat mesum. Di tambah lagi celana dalam miliknya berada di tanganku. Namun tuduhan itu kutangkis dengan alasan yang masuk akal, menceritakan yang sebenarnya terjadi dan seketika itu pula dengan terpaksa berbohong aku mengakui bahwa ia adalah istriku. Mendengar cerita itu, masyarakat tersebut simpati dan memberikan kami sebotol air mineral yang kebetulan dibawa oleh salah satunya dan pergi melanjutkan ronda meninggalkan kami berdua. Lega hati ini, kulihat wajahnya senyum dan aku pun tertawa sembari masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan lokasi tersebut.

Mengenang cerita itu, bibirku tersipu halus senyum sendiri dan sedikit menyesal diri kenapa cintanya tak kuterima padahal ia sudah sangat dekat denganku, orang tuanya pun mengenaliku dengan baik dan ramah. Ahhhhhhh.... Mungkin karena memang tak jodohku dengannya.

Pikiran tentang halaman kosong pun hilang sesaat namun cerita itu hanya mengenang di bayang bayang imajinasi. Lena dengan kasmaran yang tak pernah kesampaian hinggakan lupa menulis secuil kata pun di halaman kosong depan mataku. Aku berdiam diri menatap halaman kosong.

Entah apa yang terjadi malam ini. Semua kisah kisah hanya mampu memberiku ilusi. Tak mampu memberikan sepetik kata pun yang sanggup untuk ditulis. Walaupun mencoba menggali lebih dalam lagi, lemari huruf di dalam kepala namun juga tidak menemukan sebatang kata pun. Hinggakan Kembali aku menatap halaman kosong dan masih kosong.

Hening, senyap, tak terdengar lagi hiruk-pikuk senda gurau anak anak di kamar. Sepertinya mereka sudah tertidur pulas. Sesekali terdengar suara ngorok dari salah seorang anakku. Satu keluarga sudah tau kalau anakku yang satu itu suka tidur ngorok. Berbagai macam cara sudah di lakukan agar ia tak ngorok lagi namun tetap saja suara itu menghiasi hening di setiap malam. Seperti nandung sebelum tidur. Berbagai cara sudah dilakukan agar ngorokannya hilang namun semua hanyalah sia-sia belaka hingga kami sekeluarga sudah terbiasa mendengar nyanyian malam itu.

Kembali bersiap siap di depan laptop. Kurasa dengan heningnya suasana ini, maka semakin mudah pula otak ini berpikir menyusun kata kata. Mencoba pula hendak menulis kisah fabel. Dongeng ikan keli akar yang selalu bercerita pilu di dalam aquarium. Yang hendak hidup bebas di alam hutan gambut namun terkurung waktu menjadi hewan peliharaan. Ikan keli itu tak banyak, hanya dua ekor saling berenang di dalam aquarium tak cukup besar.

Memang kemarin salah seekor ikan itu pernah bertanya kepadaku mengapa ia dipilih sebagai hewan peliharaan di aquarium penghias ruang tamu ketimbang dipotong dan dijadikan sajian pengunggah selera dikala makan siang. Ia pun pernah bertanya kenapa aku memilih memelihara ikan keli akar dari pada ikan hias lainnya yang lebih cantik dari pada dirinya. Namun dari sekian banyak pertanyaan itu tak satupun aku jawab. Aku hanya melontarkan senyum kepadanya. Sebab apapun jawabanku nanti, akan membuat ia menangis dan meratapi nasib di sela sela bebatuan karang hiasan. Bukannya tak sanggup untuk menjawab, hanya rasa kasihan bersembari di hati. Ikan itu didapati dari anak anak yang memasang lukah di lopak parit tanah gambut. Anak anak itu datang menjajakan hasil tangkapannya dan kubeli dengan harga yang layak. Tapi pilihanku tidak untuk mengkomsumsinya, justru meletakkan ke dalam aquarium hias di ruang keluarga menonton televisi.

Aku dan ikan itu punya kimestri yang mengagumkan. Biasanya, ketika pulang kerja, saat melepas sepatu, pandangan ini selalu mengarah ke aquarium. Lenggak lenggok tubuh ikan saat berenang menghilangkan letih sejenak. kami selalu bercerita dan bertanya tentang berbagai pengalaman. Terlebih lagi ketika badan ini lelah seusai bekerja dan beraktifitas di luar rumah. Cerita tentang nasib keluarganya yang ditinggal, atau kami selalu bercerita tentang pasangan kami masing masing. Gelak tawa mengikat pertemanan antara aku dan ikan keli.

Lagi, kisah fabel pun tak sanggup memberikan imajinasiku malam ini. Layar komputerku pun masih berwarna putih hingga aku lelah dan tertidur di atas papan keyboard laptop hingga pagi tiba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun