Mohon tunggu...
Asyuara Rakareswara
Asyuara Rakareswara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Maraknya Kasus Revenge Porn di Media Sosial

8 Juni 2021   14:58 Diperbarui: 8 Juni 2021   15:11 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Revenge porn merupakan salah satu dari bentuk kekerasan seksual. Korban dari revenge porn kebanyakan adalah perempuan dimana pelaku akan mengancam akan menyebarkan foto ataupun video intim yang dibuat oleh pasangan tersebut tanpa sepengetahuan pihak wanita ke media sosial. Pelaku melakukan ini dengan unsur paksaan jikalau kemauanya tidak dituruti maka pelaku akan mengancam akan melakukan Tindakan tersebut. Awalnya pelaku akan membujuk pasangan untujk membuat dan mau mengirim konten asusila tersebut dengan cara bisa di bujuk dan dirayu atapun diancam tentang hubungan mereka. Tindakan revenge porn sangat berpengaruh buruh kepada korban mereka akan merasa dipermalukan, dikucilkan, dan itu bisa menghancurkan hidup dari korban revenge porn. Biasanya hal ini terjadi karena pelaku kecewa dan sakit hati karena hubungan mereka berakhir.

Mayoritas korban disini adalah perempuan fenomena ini tidak lepas dari kondisi sosial masyarakat kita, di mana para perepuan dijadikan sebagai objek dalam suatu hubungan. Seperti bagaimana yang dibilang di atas pelaku mula mula akan memberi bualan bualan ataupun rayuan yang akan membuat korban mau untuk mengirim "privasi" mereka, seperti halnya yang dikatakan oleh Wahyudi Djaffar dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) "Korban pada mulanya consent (setuju) dengan tindakan itu (seks), tapi justru mengalami pelakuan begini (video diunggah tanpa izin), Dari kejahatan semacam ini, korban akan mengalami yang dikatakan penyiksaan batin. Dia akan mengalami tekanan terus-menerus yang akan berdampak secara mental maupun fisik,''

Situasi seperti ini, biasanya terjadi pada hubungan yang tidak sehat. Salah satu pihak adalah pihak yang lemah dan pihak yang dominan di hubungan tersebut. Pihak dominan biasanya telah menunjukkan kecenderungan melakukan kekerasan, seperti memiliki emosi yang meledak-ledak, pemarah, pencemburu, maupun melakukan kekerasan verbal terhadap pasanngan, namun hal seperti ini biasanya di selesaikan dengan alasan cinta atau sayang dan korban pun percaya bahwa bentuk kekerasan itu merupakan bentuk perhatian pelaku tetapi aslinya korban sedang terjebak di Toxic relationship

Sesuai dengan namanya toxic relationship yang berarti 'hubungan racun" adalah hubungan yang dapat berdampak buruk pada harmonisme di dalam hubungan. Sayangnya, banyak orang tidak menyadari bahwa mereka sedang terjebak dalam kondisi ini, toxic relationship sangat berdampak buruk untuk Kesehatan fisik ataupun mental korban.

Kembali ke revenge porn, Menurut Arinta Dea Dini Singgi, analis gender LBH Masyarakat,tidak ada yang salah dengan hubungan intim yang didasari kesepakatan bersama, lalu kemudian memutuskan untuk merekam kegiatan tersebut. ''Semua orang punya hak atas privasi mereka, untuk melakukan seks konsensual dan untuk merekam.''

Sebuah gerakan untuk memberhentikan revenge porn di internet sudah mulai di oleh perhatikan oleh perusahaan seperti Google yang berjanji mencegah hal semacam itu muncul dalam pencarian mesin pencari mereka, khususnya yang terkait dengan foto telanjang tanpa ada persetujuan. Di inggris sendiri mulau dari April 2015 lalu revenge porn sudah di kategorikan sebagai Tindakan kejahatan.

Sedangkan menurut hasil rekapan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) dari 35 kasus pelaporan pidana terhadap perempuan yang mereka rekam, kebanyakan adalah kasus penghinaan (83%), penyebaran kebencian (8%), kesusilaan (6%), dan ancaman (3%).

Bagaimana hukumnya kasus revenge porn ? Kasus revenge porn sendiri, menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), sudah termasuk dalam kategori pelecehan seksual. Karena itu, tindakan menyebarkan konten pornografi ini, dapat dikenai sanksi hukum. Payung hukum yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku adalah pasal 45 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), atau Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi).Pasal 45 UU ITE akan menyentuh pihak yang mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan.

Sementara itu, Pasal 29 UU Pornografi adalah landasan hukum untuk menjerat tindakan memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi. Sayangnya, UU ITE ini memandang kasus revenge porn dari konteks penyebaran konten seksualnya, namun belum melindungi korban dari tindakan kekerasan yang dialaminya. Meski begitu, KemenPPPA menyatakan bahwa pelaku bisa dijerat dengan UU Perlindungan Anak, jika korbannya masih termasuk kategori usia anak-anak.

Bagaimana Saksi pidana untuk pelaku revenge porn? Sebagaimana pembuatannya, penggandaan dan penyebarluasan pornografi juga dapat dijerat dengan Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 29 UU Pornografi.

Dikarena tindakan tersebut dilakukan melalui internet atau media sosial, pelaku juga telah melakukan perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang menyatakan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun