Mohon tunggu...
Asyrof FajarFarisudin
Asyrof FajarFarisudin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

dont waste our time

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku: Hukum Perdata Islam di Indonesia

11 Maret 2023   22:29 Diperbarui: 11 Maret 2023   23:10 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dalam UUP, peminangan ini tidak dikenal. Alasannya mungkin karena peminangan tidak dapat disebut sebagai peristiwa hukum. Kendatipun UUP tidak mengaturnya, para pengkaji hukum Islam menyebut syarat perkawinan yang ada di pasal 6 dan 7 sebenarnya secara implisit mengatur peminangan tersebut. Salah satu syarat perkawinan adalah adanya persetujuan kedua calon mempelai.

Berbeda dengan UU No 1/1974, Kompilasi Hukum Islam tampakya mengapresiasi dengan cukup luas peminangan in. Seperti yang terlihat dalam pasal 1 bab 1 huruf a, peminangan didefinisikan sebagai kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan wanita dengan cara-cara yang baik (ma'ruf).

Pencegahan dan pembatalan perkawinan menurut Perspektif Fikih. Fikih Islam tidak mengenal adanya pencegahan dalam perkawinan. Berbeda dengan pembatalan, istilah ini telah dikenal dalam fikih Islam dan kata batal itu sendiri berasal dari bahasa Arab. Di dalam fikih sebenarnya dikenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya sama yaitu nikah al-fasid dan nikah al-batil. Al-Jaziry ada menyatakan bahwa nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil ialah apabila tidak terpenuhinya rukun. Hukum nikah al-fasid dan batil adalah sama-sama tidak sah. Baik pencegahan dan pembatalan tetap saja berakibat tidak sahnya sebuah perkawinan.

Jika dianalisis diaturnya masalah pencegahan dan pembatalan dalam UU perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam merupakan sebuah upaya efektif untuk menghindarkan terjadinya perkawinan yang terlarang karena melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan oleh agama. Pencegahan perkawinan diatur dalam UU No 1/1974 dalam pasal 13 yang bunyinya:

Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk me-langsungkan perkawinan. Tidak memenuhi persyaratan seperti yang dimaskud di dalam ayat di atas mengacu kepada dua hal; syarat administratif dan syarat materiil.

Perspektif KHI berkenaan dengan pencegahan ini, agaknya KHI mengikut rumusan-rumusan UUP walaupun dalam bagian tertentu ada beberapa penambahan dan modifikasi. Secara eksplisit KHI menyatakan perkawinan dapat dicegah jika terdapat syarat-syarat yang tidak terpenuhi, baik yang berkenaan dengan syarat administratif ataupun syarat materiil. Tujuannya adalah untuk menghindari perkawinan yang terlarang.


Berkaitan dengan pencatatan perkawinan yang dalam fikih tidak dicantumkan secara jelas tentang pencatatan perkawinan, dalam Al-Quran hanya ada dalil tentang anjuran mencatat segala bentuk transaksi muamalah. Dalil inilah yang dijadikan acuan tentang pencatatan perkawinan. Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan UUP perkawinan yang sebagai-mana terlihat nanti, tidak saja menempatkan pencatatan perkawinan sebagai sesuatu yang penting, tetapi juga menjelaskan mekanisme bagaimana pencatatan per-kawinan itu dilaksanakan.

Di dalam UU No 1/1974 pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa:

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 Dalam KHI dimuat masalah pencatatan perkawinan pada pasal 5 dan pasal 6. Aturan-aturan di dalam KHI ini sudah melangkah lebih jauh dan tidak hanya bicara masalah administratif. Pertama, di dalam pasal 5 ada klausul yang menyatakan "agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam." Ketertiban disini menyangkut tujuan hukum Islam yaitu menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat. Kedua, pasal 6 ayat 2 ada klausul "tidak mempunyai kekuatan hukum". Apa makna tidak memiliki mempunyai kekuatan hukum ini, tetapi sayangnya KHI tidak memiliki penjelasan.

Buku ini juga membahas tentang tata cara atau prosedur melaksanakan perkawinan yang sesuai, yang dijelaskan cukup lengkap dan runtut mulai dari pemberitahuan, penelitian, pengumuman hingga pelaksanaan perkawinan yang dibahas menggunakan pandangan hukum seperti mencamtumkan pasal-pasal yang terkait dengan pembahasan. Sehingga pembaca dapat melaksanakan urutan pelaksanaan perkawinan tanpa harus melanggar hukum yang sedang berlaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun