Mohon tunggu...
Aswin
Aswin Mohon Tunggu... Lainnya - Setiap waktu adalah kata

Berusaha menjadi penulis yang baik

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Idul Fitri Kembali pada Kehidupan Primitif

2 Mei 2022   09:51 Diperbarui: 2 Mei 2022   10:05 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dewan Pembina Yayasan Masjid Sukamulia, Jukiyana, menyampaikan pesan Iedul Fitri 1443 Hijriyah. Foto : As12/Ilustrasi

Setiap waktu yang kita lalui adalah kisah, cerita, dan atau peristiwa. Tak ada ruang dan waktu yang hampa, kosong dan tanpa makna. Kisah atau peristiwa senantiasa hadir dan mengisi dalam ruang ruang kehidupan kita manusia, tanpa terkecuali. 

Dan kita manusia dihimbau oleh Nya agar dapat mengelola setiap peristiwa yang lahir dalam kehidupan  itu menjadi suatu ibadah atau amal kebaikan. Hal ini, tercermin jelas dalam Surat Cinta-Nya,  Demi Waktu, Wal Ashr : "Demi waktu!  Sesungguhnya manusia itu benar benar dalam kerugian, terkecuali orang orang yang beriman, beramal sholeh, dan saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran". (Quran). 

Bagaimana kita mampu mengelola ruang dan waktu agar menjadi suatu kekuatan yang mampu melahirkan kebaikan? Bukan perkerjaan mudah menjawabnya. Apalagi jika berusaha menyederhanakan dalam memberikan jawabannya. 

Dan mengingat diyakini adalah suatu upaya yang mampu memberikan suatu jawaban atas persoalan tersebut. Mengingat adalah suatu aktifitas yang sangat penting yang dapat kita lakukan untuk dapat kembali membangun struktur kehidupan kita manusia menjadi lebih baik di alam semesta ini. 


Karena manusia,  menurut para antropolog, memiliki Engram dikepalanya. Yakni suatu alat kemampuan yang mampu membaca dan mengingat segala peristiwa yang melimpah dalam menuntun kehidupannya. Sehingga tidak mengherankan jika Tuhan ber-Tutur dalam Surat Cinta-Nya : "Sebaik baik mengingat ialah mengingat-Ku (mengingat Allah). 

Peristiwa yang telah berlalu bertahun tahun lamanya, mampu kita temukan kembali struktur kehidupannya dengan jelas dalam suatu media musik, film, ruang rekreasi, bangunan, dan seterusnya. Sebagai contoh : "Jika kita pergi ke suatu pantai, kita akan teringat dengan seseorang yang kita sayangi, meskipun kekasih yang kita sayangi telah pergi selamanya, meninggal. 

Dengan kata lain, banyak cara untuk memasuki lorong lorong waktu kehidupan masa lalu dan mengingatnya kembali untuk dapat memberikan suatu hiburan ataupun pencerahan dalam kehidupan kita manusia modern yang serba materialis, hedonis, permisis,  dan seterusnya, jika saja kita mau berusaha melakukannya.

Demikian pula dengan diri saya saat pergi menggunakan angkutan publik, Busway Transjakarta. Sepanjang perjalanan itu, saya menyaksikan kuantitas aktifitas manusia modern dan struktur bangunan gedung gedung perkantoran, perhotelan, restoran, dan seterusnya. 

Saya merasakan asing sepanjang perjalanan. Namun seketika (tersergap ruang), saya mengalami suatu hal yang intim dan tidak asing sejauh dan sedalam kedua fiksasi bola mata memandangnya. Yakni sebuah bangunan Toko Buku yang masih kokoh berdiri dipinggir badan jalan raya. 

Saya dapat melihat dan mengingatnya dengan jelas dan terang, saat saya masuk kedalam toko buku itu bersama seorang kawan sebelum reformasi politik terjadi di negeri ini, tahun 1998.

Kemampuan membangun struktur waktu itu pun menjelma serupa sebuah film-audio visual. Saya masuk kedalam ruang toko buku itu sewaktu puasa Ramadhan akhir, malam Iedul Fitri. Entah makhluk apa yang telah merasuki jiwa saya dan juga jiwa seorang kawan masuk kedalam sebuah toko buku tersebut. 

Sementara banyak warga masyarakat-ummat Islam berduyun duyun memasuki toko Ramayana dan Matahari untuk membeli baju dan celana baru untuk dipakai di Hari Raya Iedul Fitri. Entah sudah yang keberapa kali saya memasuki Hari Raya Iedul Fitri. Demikian pula dengan ummat Islam di Indonesia khususnya, dan ummat Islam didunia pada umumnya. 

AURAT PRIMITIF 

Jama'ah Shalat Iedul Fitri 1443 H di Sukamulia Raya. Foto : As12
Jama'ah Shalat Iedul Fitri 1443 H di Sukamulia Raya. Foto : As12
Pertanyaan pun muncul ke permukaan : Apa itu Iedul Fitri?  Makna apa yang tersimpan didalamnya? Dan apa pula pengaruh Iedul Fitri dalam kehidupan kita ummat Islam di Indonesia selanjutnya? Apakah Iedul Fitri mampu memberikan pencerahan dalam kehidupan kita,  baik dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, hukum dan seterusnya?

Menurut Ahmad Sarwat, peneliti rumah fikih Indonesia, makna Ied bukan kembali, melainkan Hari Raya. Demikian pula dengan makna kata Fitri. Kata fitri bukan bermakna suci, melainkan makan atau makanan. Sehingga makna Iedul Fitri ialah Selamat Hari Raya Makan. Sejatinya pada hari itu ummat Islam diwajibkan makan dan haram hukumnya berpuasa. Berpuasa pada tanggal 1 Sayawal adalah haram dan berdosa jika dilakukan. 

Terlepas dari definisi tersebut, adalah sangat menarik dan juga sangat penting untuk kita renungkan ialah mengenai suatu pesan dari Kanjeng Rasulullah saw : " Berapa banyak orang yang berpuasa di Bulan Ramadhan, namun hanya lapar dan haus yang didapatkannya". 

Pertanyaan sederhana pun kembali lahir kepermukaan : Mengapa hal itu bisa terjadi? Dan menurut Kanjeng Rasul, mereka berpuasanya tidak dikarenakan iman dan ihtisab. Sebagaimana tercermin dalam salah satu pesannya : " Barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan ihtisabnya niscaya akan dihapuskan dosa dosanya yang telah lalu" (HR. Bukhari dan Muslim). 

Dengan kata lain, Diterima dan tidaknya orang orang yang berpuasa di Bulan Ramadhan akan tampak usai melaksanakannya (pasca puasa Ramadhan). Apakah kehidupannya mampu mencerminkan sebagai kehidupan orang orang yang beriman. Atau sebaliknya, mengembalikan dirinya pada kehidupan awal, primitif (suatu kehidupan yang lebih memuja dan mengabadikannya dirinya pada kehidupan jasmaniah). 

Dan hal itu, relevan dengan pembentukan kata dasar fitri menjadi ifthar buka, berbuka-puasa

Membuka kembali kehidupan primitif pada diri kita manusia, maka akan memberikan ruang untuk membuka aurat jiwa kita manusia, yang sempat kita tutup dan kendalikan selama berpuasa Ramadhan sebulan penuh. Yakni 'rasa malu'. Rasa malu mencerminkan iman seseorang dalam kehidupan di alam semesta ini. 

Dan jika rasa malu tidak lagi mampu menghiasi kehidupan kita ummat Islam yang beriman, maka ummat Islam akan terjebak pada kehidupan yang materialis, hedonis, permisis dan seterusnya. Hanya mementingkan kesenangan dan kenikmatan hidup dirinya semata. Dan menolak keras kehidupan tanpa kenikmatan dan kesenangan dirinya, bukan diri-Nya. 

Prinsip kenikmatan (pleasure principle) . Begitu nyanyian Sigmund Freud, seorang pendiri aliran psikoanalisis. Prinsip ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kecenderungan kuat untuk selalu menginginkan kesenangan dan mencari kenikmatan, dan sebaliknya menolak hal hal yang tidak menyenangkan dan menyakitkan. 

Tanpa kenikmatan dan kesenangan serupa itu kehidupan akan mereka hayati sebagai hampa, kosong dan tidak bermakna. Kehidupan individualistik, seks bebas, menggunakan narkoba, memperkaya diri sendiri, dan seterusnya. 

Kesemuanya itu merupakan gejala gejala telah disingkapnya aurat jiwa manusia. Manusia tak lagi memiliki rasa malu-serupa pelacur pelacur yang mengisi ruang ruang publik secara terbuka. Jual-beli kenikmatan dan kesenangan dunia ansich. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun