Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Membongkar Fenomena Keterbatasan dan Doa

18 Mei 2015   07:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:52 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Membongkar sebatas memahami bukan memporak perandakan sebenarnya adalah menganalisa saja. Fenomena adalah realita yang dapat ditangkap oleh indera dan budi manusia pada awal mula sebelum ada analisa. Maka mungkin saja fenomena itu hanya bagian dari realita yang lebih besar atau sekedar indicator dari fakta yang belum nyata. Membongkar fenomena “doa” sebenarnya merupakan upaya pemahaman tentang doa tanpa membedakan agama.

Mengapa manusia berdoa, merupakan pertanyaan pertama untuk melihat apa itu berdoa. Dari kenyataan yang bisa diamati dimana-mana ada “tempat ibadat”, masjit, mushola, pura, gereja, dimana orag berdoa. Dalam tayangan sinetron setiap hari ditayangkan orang berdoa. Dalam perjalanan jauh dengan kendaraan sendiri dengan mudah diamati setiap waktu tertentu umat muslim berhenti di masjit untuk berdoa. Dihari Id’ul Fitri, umat Islam berdoa berjamaah meriah (besar-besaran) di tempat terbuka. Dihari hari besar bagi umat beragama, umat yang bersangkutan berdoa secara meriah, sehingga dikatakan mereka “merayakan” hari besar itu.

Melihat “rantai peristiwa” dengan mudah bila kita menonton Tv dalam sinetron. Orang berdoa dalam kehimpitan duka, kesulitan hidup, seperti bencana, kecelakaan, menderita ketidak adilan dsb. Disitu orang yang menderita itu berdoa “memohon” ampun, dan “pertolongan” dari Tuhan. Sangat jelas dalam adegan sinetron itu seorang muslim bersujud dan melafalkan rumusan doanya setelah itu dilanjutkan dengan doa bebas kata mencurahkan isi hatinya dihadapan Tuhannya. Ada beda rasa sholat dan doa sepulang naik haji (umroh) dimana perasaan syukur dan bahagia disiratkan pada setiap langkah dan senyumnya.

Betapapun beda makna perjalanan naik haji bagi umat Islam, ada bentuk dan motivasi doa dengan perjalanan, yaitu dengan ‘langkah’ panjang peziarahan oleh umat lain. Misalnya umat Katholik pada bulan Mei atau Oktober banyak yang mengadakan doa dalam bentuk “wisata rohani” kesuatu tempat yang sebenarnya tidak terlalu penting sejarah dan latar belakang tempatnya itu, tetapi tempat tertentu itu “serasi untuk berdoa” dari banyak segi. Dalam doa dengan wisata seringkali motivasi kuat untuk suatu ujub atau intensi tertentu dari syukur saja atau permohonan tertentu. Disamping itu peziarahan juga dimaknai sebagai symbol peziarahan menuju ke hidup abadi nanti. Semua doa baik cara yang manapun memuat sebuah harapan. Harapan untuk hari depan baik diharap segera terlaksana maupun untuk hari depan jauh setelah kehidupan sekarang.

Pada hari Minggu tanggal 17 Mei 2015 ini, saya dihadapkan pada sebuah doa syukur yang sangat istimewa. Istimewa karena banyak hal. ”Perayaan Syukur” dari sepupu saya yang telah genap 60 tahun menjalani “hidup doa dan bhakti” dalam sebuah tarekat hidup bakti biarawati Ordo St. Fransiskus di Semarang. “Perayaan syukur”, atas 60 th sudah hidup “berdoa-berbakti”. Saat itu kami diajak berdoa syukur. Doa syukur atas orang yang sudah 60 th melakukan hidup berdoa. Dalam perayaan doa syukur itu pastor pemimpin ibadat menyatakan ajakan berterima kasih kepada biarawati tersebut karena dia sudah berdoa untuk semua orang termasuk para hadirin perayaan itu dan perdamaian dunia. Ada pemahaman bahwa biarawati itu hidupnya berdoa untuk kepentingan besar, umum, dan kedepannya.

Apabila kita renungkan Manusia itu disaat awal-awal dilahirkan menyentuh realita yang belum dikenal maka ia menangis, setelah merasa aman baru mejadi tenang, tidur. Itulah naluri. Semakin dewasa dapat berfikir, bergerak merespon dan bergerak bebas atas inisiatipnya dan dengan tujuan yang dipilihnya. Akan tetapi ternyata manusia merasakan keterbatasan. Kebebasan kehendak yang luas, seluas perkembangan dirinya dan juga keterbatasan. Keterbatasan dirinya kemampuannya dan situasinya yang terikat oleh waktu dan tempat.

Hanya dengan imannya manusia menyadari ada pintu keluar dari keterbatasannya itu, yaitu lewat doa. Dengan iman dan doa manusia samar-samar melihat disana ada Tuhannya, kepada siapa manusia berdoa memohon agar terlepas dari keterbatasannya dan bisa menggapai kebebasan abadi dalam kepenuhan sejati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun