Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kecemasan dan Perubahan

4 Juli 2020   17:48 Diperbarui: 4 Juli 2020   17:49 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mari kita hadapi situasi yang bertubi-tubi, simultan, dan sungguh pengalaman diri tak terelakkan itu. Kita justru harus berani undur sejenak, menarik diri sementara dan kembali ke diri sendiri yang sungguhnya dalam "ketelanjangan", melepas semua atribut dan jabatan. Menemukan diri seperti ada adanya baru membangun niat untuk bangkit. Dengan tenang melihat merinci menganalisa situasi, karena kita harus percaya, semua masalah akan dapat diharapkan terselesaikan. Bangkitkan Harapan..

Berfikirlah positip Jangan berfikir negatip, dengan melihat negatip tak ada yang bisa diharapkan. Lihatlah peristiwa sebagai peristiwa bukan kesalahan kita.

Ada beberapa hal yang bukan menjadi tanggung jawab kita  sendiri, melainkan tanggung jawab bersama. Maka prioritaskan yang utamanya menjadi tanggung jawab kita.

Ada beberapa hal yang tidak bisa kita selesaikan, atau kita temukan solusinya sendiri, karena harus dikonsultasikan pada orang lan. Maka pilih dahulukan apa yang kita bisa selesaikan sendiri.

Ada situasi yang sungguh muskil dan dalam kesendirian, ada yang harus kita temukan dulu teman untuk konsultasi, seperti isteri, atau sahabat, atau tetangga,dokter. Kerjakan dahulu apa yang bisa kerjakan sendiri.

Akan tetapi saya mempunyai pengalaman yang nyata yaitu ketika menghadapi bencana Gempa bumi di kawasan Yogyakarta selatan tahun 2006.  Gempa yang berkepanjangan, setelah jam 06.00, berukuran 5,6 skala Richter. Disusul jam 08 disusul  jam 10 pagi. Pertama kali kuterkurung dalam rumah tak bisa buka pintu, rumah terasa seperti kapal kena ombak, plafon terayun 50 cm kekanan 50 cm kekiri. Ngeri.

Rumah kami tinggalkan, bersama anak dan isteri pergi ke gereja.melalui 150mt reruntuhan tembok pagar, dan 200mt melewat halaman rumah sakit. Di jalanan bertemu orang membawa korban reruntuhan rumah, dan digereja kami sekeluarga dengan dua orang lain berupaya mengeluarkan 4 orang korban runtuhnya menara lonceng dan bagian depan gereja.

Sedianya mau berdoa, tetapi justru harus berbuat sesuatu yang lain untuk orang lain. Rumah rusak berat, dan malam tidur di emperan kehujanan. Esoknya beranda rumahku masih harus menampung tetangga. Sementara kami tidur dalam tenda bantuan yang dikirim anak dari perantauan.

Apa yang mau saya katakan ? Saya membiarkan Peristiwa berjalan dan tentu akan berproses berkelanjutan. Dan sejak saat itu perhatian saya justru tertuju siang malam kepada Rukun Tetangga, bersama ketua RT membagi rata bantuan sembako. Dan dari teman lewat saya datang bantuan, 12 rumah darurat bambu, 400 zak semen biru untuk perbaikan rumah warga. Dan 4 bulan belakangan rumah saya sendiri direnovasi perlahan lahan diantaranya dengan bantuan Pemerintah 15 juta.

Memang kerusakan, ketidak nyamanan, perubahan itu pasti terjadi, dan kecemasan itu suasana batin yang wajar. Perubahan selalu berproses, dan suasana batin itu sebaiknya dikelola. Tidak baru saat dibutuhkan tetapi diedukasi menjadi sikap batin yang matang, siap menghadapi segala peristiwa.

Kebersamaan adalah peringan beban dan tanggung jawab, dan pada saat darurat menjadi harapan dan penyalur kebaikan hati yang terpuji..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun