Dalam dunia pendidikan modern, deep learning menjadi istilah yang kian sering disebut, bukan sekadar sebagai strategi mengajar, melainkan sebagai filosofi belajar yang mengakar. Lebih dari sekadar transfer informasi, deep learning menuntut keterlibatan utuh siswa secara intelektual, emosional, dan reflektif dalam proses pembelajaran. Dengan pendekatan ini, belajar tidak lagi bersifat permukaan atau menghafal, tetapi menyentuh cara berpikir, membentuk pemaknaan, serta membangun kepedulian terhadap konteks nyata kehidupan.
Namun, ketika berbicara tentang penerapannya dalam mata pelajaran, muncul kenyataan yang tidak bisa diabaikan: terdapat perbedaan tantangan dan peluang antara pelajaran eksakta dan noneksakta. Mata pelajaran eksakta seperti Matematika, Fisika, dan Kimia memiliki struktur berpikir yang kuat dan sistematis. Tapi justru karena kekakuan itulah, pelajaran ini seringkali menimbulkan tekanan bagi siswa. Banyak dari mereka hanya berfokus pada rumus dan prosedur tanpa memahami hakikat konsep yang dipelajari. Di sinilah mindful learning mengambil peran penting. Dengan membiasakan siswa untuk menyadari proses berpikir mereka, bukan hanya hasil akhir, guru eksakta bisa menanamkan kesadaran logis dan reflektif pada setiap penyelesaian soal.
Di sisi lain, pelajaran noneksakta seperti Bahasa Indonesia, Sejarah, Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan Agama justru menyimpan kekayaan makna yang lebih luas. Sifatnya yang kontekstual dan dekat dengan kehidupan sehari-hari memberikan ruang ideal bagi penerapan meaningful learning. Ketika siswa diajak untuk mengaitkan peristiwa sejarah dengan kondisi sosial terkini, atau merefleksikan nilai-nilai moral dalam kehidupan nyata, mereka tidak hanya memahami isi pelajaran, tetapi juga membentuk perspektif hidup yang lebih matang. Di ruang inilah pula joyful learning sering lebih mudah tercapai: suasana diskusi yang terbuka, teknik bermain peran, dan pembelajaran berbasis narasi membuat pengalaman belajar menjadi lebih menyenangkan dan emosional.
Meskipun demikian, penerapan deep learning dalam kedua jenis mata pelajaran tersebut tetap menghadapi tantangan serupa. Banyak guru belum mendapat pelatihan memadai untuk mengelola pembelajaran yang menuntut refleksi mendalam. Kurikulum yang padat dan sistem penilaian yang masih menekankan angka juga menjadi kendala besar. Tidak semua sekolah memiliki kebebasan atau sumber daya untuk mengeksplorasi strategi pembelajaran yang berorientasi proses. Namun, hadirnya Kurikulum Merdeka menjadi angin segar. Kurikulum ini memberikan ruang yang lebih fleksibel bagi guru untuk berinovasi dalam pembelajaran bermakna, termasuk melalui proyek lintas disiplin, asesmen formatif, dan pendekatan personalisasi.
Di tengah semua dinamika ini, penting bagi kita untuk menyadari bahwa deep learning  bukan sekadar metode. Ia adalah kebudayaan belajar yang harus dibangun bersama, antara guru dan siswa, antara sekolah dan lingkungan. Ketika pelajaran eksakta dan noneksakta sama-sama dilandasi oleh kesadaran belajar (mindful), keterkaitan makna (meaningful), dan pengalaman yang menyenangkan (joyful), maka pendidikan bukan lagi tempat menjejalkan pengetahuan, melainkan ruang bagi tumbuhnya manusia seutuhnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI