Infografis yang dirilis Kompas.com tentang praktik curang di kampus dan sekolah mengundang keprihatinan yang tak bisa diabaikan begitu saja. Data tersebut menyebutkan bahwa 98% warga kampus terbiasa mencontek, 96% mahasiswa dan dosen sering terlambat, 96% dosen absen tanpa alasan yang jelas, dan 43% terindikasi melakukan plagiarisme. Sementara itu, warga sekolah menunjukkan angka pelanggaran yang lebih rendah: 78% kebiasaan mencontek, 69% keterlambatan siswa dan guru, 64% guru absen tanpa alasan jelas, dan hanya 6% plagiarisme.
Angka-angka ini memunculkan pertanyaan besar tentang bagaimana institusi yang seharusnya menjadi tempat tertinggi dalam jenjang pendidikan justru menunjukkan gejala degradasi integritas yang lebih serius. Di sinilah kita perlu melakukan refleksi, bukan hanya mengarahkan kritik ke luar, tetapi bercermin pada nilai-nilai yang dijalankan dalam keseharian sivitas akademika kampus.
Dalam salah satu pengajiannya, Gus Baha menceritakan kisah Gus Dur yang suatu kali ditanya seseorang yang terlalu mengultuskan kiai, "Gus, Kiai itu orang suci, kok bisa berbuat dosa?" Gus Dur menjawab ringan namun tajam, "Kiai itu boleh dosa karena tahu caranya tobat. Kalau kamu, tidak boleh, karena kamu tidak tahu caranya tobat." Ungkapan ini bisa dimaknai sebagai kritik satir yang mengandung kedalaman: bahwa orang yang berilmu seharusnya sadar akan konsekuensi dan tahu jalan perbaikan, bukan justru terlena dalam pembenaran.
Dalam konteks dunia kampus, justru muncul ironi. Dengan level pendidikan yang lebih tinggi dan akses terhadap sumber-sumber ilmu yang luas, seharusnya warga kampus menjadi teladan dalam menjaga integritas, kedisiplinan, dan tanggung jawab. Namun berbagai penelitian menunjukkan gejala sebaliknya. Laporan Retraction Watch (2021) Â mengungkapkan bahwa plagiarisme di kalangan mahasiswa dan bahkan dosen masih menjadi masalah serius. Kesadaran terhadap etika akademik belum mengakar kuat, bahkan di lingkungan yang menyandang gelar dan status akademik tinggi. Komisi Pemberantasan Korupsi melalui Survei Penilaian Integritas (SPI) 2023 pun mencatat adanya praktik curang dan pelanggaran integritas di sektor pendidikan, termasuk perguruan tinggi, dalam berbagai bentuk: manipulasi nilai, absensi fiktif, hingga perilaku administratif yang tidak transparan.
Realitas ini menuntut kampus untuk tidak lagi sekadar menjadikan integritas sebagai jargon promosi, tetapi sebagai nilai yang sungguh-sungguh diterapkan dalam keseharian akademik. Kesalahan bukanlah aib selama diiringi dengan kesadaran dan proses perbaikan. Namun jika kesalahan dibiarkan dan bahkan menjadi kebiasaan, maka yang muncul adalah pembusukan nilai, bukan pembelajaran.
Menarik jika kita membandingkan sikap sebagian dosen dan guru. Dalam berbagai forum maya, seringkali muncul kesan bahwa dosen merasa lebih tinggi dari guru. Padahal, dalam praktik, banyak guru di sekolah yang justru lebih konsisten dalam mendidik dengan etika dan keteladanan. Saat mahasiswa dulu, bercanda dengan dosen adalah hal biasa. Namun ketika profesi sudah berbeda, relasi menjadi kaku dan penuh pencitraan. Apakah gelar akademik membuat kita kehilangan sikap bersahaja dan terbuka?
Sosok seperti Gus Baha menjadi contoh bahwa ilmu tinggi bisa berjalan seiring dengan kerendahan hati. Ilmu tidak selalu harus ditunjukkan dengan gelar dan jabatan, tapi dengan sikap yang membumi dan menghargai siapa pun lawan bicara. Seandainya lebih banyak dosen dan akademisi meneladani kepribadian seperti itu, dunia kampus akan menjadi lebih manusiawi dan otentik.
Integritas adalah sesuatu yang tidak bisa diajarkan hanya lewat ceramah. Ia perlu diteladankan, dirawat, dan ditumbuhkan melalui kebiasaan baik setiap hari. Kampus yang ideal bukanlah kampus yang bebas dari kesalahan, tetapi kampus yang terbuka pada koreksi dan jujur dalam memperbaiki. Jika dunia akademik ingin dihormati, maka hormatilah nilai-nilai yang menjadi pondasinya---tanpa perlu menunggu survei atau sorotan media.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI