Mohon tunggu...
InnerTalks.co
InnerTalks.co Mohon Tunggu... Mahasiswa

InnerTalks.co Ruang untuk berbicara dengan diri sendiri secara sadar dan penuh kasih.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cantik Menurut Siapa? Ketika Standar Kecantikan Menjadi Beban Generasi Muda

19 Oktober 2025   21:11 Diperbarui: 19 Oktober 2025   21:11 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di balik senyum cerah dan unggahan foto "glowing" di media sosial, banyak remaja perempuan menyimpan perasaan yang tak terlihat: insecure. Mereka membandingkan diri dengan wajah mulus di layar ponsel, tubuh ideal di iklan skincare, dan standar "cantik" yang seolah harus mereka kejar setiap hari. Isu standar kecantikan kini bukan sekedar soal penampilan, ia telah menjadi fenomena sosial yang menyentuh kesehatan mental, rasa percaya diri, dan identitas diri generasi muda.

Isu tentang standar kecantikan penting untuk dibahas karena sudah menyentuh banyak sisi kehidupan generasi muda. Media sosial seperti Instagram dan TikTok kini menjadi tempat utama untuk membentuk citra diri. Menurut Wati dalam Jurnal INNOVATIVE: Journal Of Social Science Research remaja perempuan di Indonesia pernah merasa tidak percaya diri karena membandingkan penampilan mereka dengan apa yang dilihat di media sosial. Mereka melihat kulit mulus tanpa pori, tubuh langsing sempurna, dan wajah yang tirus, semua seolah menjadi ukuran kecantikan yang harus dicapai.

Padahal, Indonesia dikenal dengan keberagaman fisik yang indah justru karena perbedaannya. Namun, iklan dan media masih banyak menonjolkan sosok dengan kulit cerah, tubuh proporsional, dan hidung mancung sebagai simbol ideal. Akibatnya, muncul budaya komentar yang tanpa sadar memperkuat stigma, seperti "kok kamu iteman sih?" atau "kamu gemukan ya?". Kalimat yang terdengar sepele itu bisa menimbulkan luka pada rasa percaya diri seseorang, membuat mereka berpikir bahwa nilai dirinya hanya sebatas pada penampilan.

Tekanan sosial ini juga terlihat dari kebiasaan konsumsi produk kecantikan di kalangan remaja. Banyak dari mereka membeli bukan karena kebutuhan, tetapi karena rasa takut dianggap tidak menarik oleh lingkungan sekitarnya. Kecantikan akhirnya berubah menjadi kewajiban, bukan pilihan.

Fenomena ini melahirkan "beauty anxiety" rasa cemas terhadap penampilan sendiri. Banyak remaja mulai menutupi jerawat dengan filter, membandingkan tubuhnya dengan influencer, bahkan menunda tampil di depan umum karena merasa "belum cukup cantik".

Tekanan untuk tampil sempurna juga berdampak langsung pada kesehatan mental. Remaja yang terlalu sering membandingkan diri dengan standar yang tidak realistis berisiko mengalami gangguan seperti body dysmorphic disorder, rendah diri, hingga depresi ringan. Tak sedikit yang kemudian menarik diri dari lingkungan sosial, menolak difoto, atau merasa tidak pantas tampil di depan umum. Di titik ini, cermin bukan lagi tempat bercermin, tetapi menjadi sumber kecemasan.

Masalah ini bukan hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada masyarakat secara luas. Ketika standar kecantikan dibuat sempit, ruang untuk menerima keberagaman menjadi semakin kecil. Orang-orang dengan kulit gelap, tubuh besar, atau rambut alami seringkali dipandang berbeda dan bahkan menjadi bahan ejekan. Lama-kelamaan, terbentuk budaya yang menilai perempuan bukan dari kepribadian atau kemampuan, tetapi dari seberapa "cantik" mereka terlihat di mata orang lain.

Karena itu, membahas isu standar kecantikan bukan hanya soal kosmetik atau tren gaya hidup, tetapi soal bagaimana masyarakat memperlakukan perempuan dan bagaimana perempuan memandang nilai dirinya sendiri. Dengan memahami dan menghargai keberagaman kecantikan, kita bisa membantu generasi muda tumbuh dengan rasa percaya diri yang lebih kuat dan kesehatan mental yang lebih baik.

Pada akhirnya, cantik bukan tentang siapa yang paling sempurna, tetapi tentang siapa yang paling berani menjadi dirinya sendiri tanpa filter, tanpa perbandingan, dan tanpa rasa takut untuk diterima apa adanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun