Ada suara-suara yang tidak hanya terdengar di telinga, tapi masuk jauh ke dalam dada. Suara yang, ketika melafalkan ayat-ayat suci, membuat hati terasa disapu pelan oleh kelembutan dan kekhusyukan. Itulah suara Ukhty Binti Ikmalatus Sholihah yang biasa dipanggil Ukhty Ikmal--- suara yang tak hanya merdu, tapi membawa ketenangan.
Ukhty Ikmal berasal dari Jawa Timur. Jauh dari rumah, ia memutuskan untuk mondok di Pangandaran demi satu tujuan besar: menjaga Kalam Allah dalam hatinya. Dari luar, ia terlihat tenang dan penuh semangat. Tapi hanya orang-orang terdekat yang tahu, perjuangannya lebih dalam dari sekadar setoran hafalan.
Ia punya satu teman setia: kopi. Bukan karena hobi, tapi karena memang itulah cara ia bisa terus terjaga untuk muroja'ah dan setoran. Hampir setiap hari ia minum kopi agar tidak tertidur, agar hafalannya bisa terus terulang, agar hatinya tetap terhubung dengan Al-Qur'an. Tapi teman setianya itu juga menjadi penyebab luka: lambungnya bermasalah, cukup parah.
Rasa sakit datang, tapi Ukhty Ikmal tetap bertahan. Ia tak pernah menjadikan kondisinya sebagai alasan untuk mundur. Ia tetap menyetor, tetap tersenyum, tetap duduk dengan mushaf di tangannya. Ia belajar menghadapi kelemahan tubuhnya dengan keikhlasan yang luar biasa.
Suatu malam, kami berbincang lewat WhatsApp. Waktu itu kami sama-sama sibuk, di tempat yang berbeda, tapi kalimat-kalimatnya masih terasa seolah disampaikan langsung dari hatinya:
"Kita nggak akan pernah bisa nyalahin kesibukan. Emang nggak ada yang perlu disalahin. Semua yang kita jalani itu hal baik. Kasih haknya masing-masing, jangan ada yang dianaktirikan. Semuanya penting. Menuntut ilmu juga kan amal shalih... insyaAllah nggak ada istilahnya amal shalih yang merusak ngaji kita. Bismillah, tata lagi hatinya. Mari berjuang bersama-sama, di tempat dan kesibukan yang berbeda. Allahu ma'ana."
Kalimat itu tidak hanya bijak, tapi juga menenangkan. Ia tidak pernah memaksa orang lain untuk menjadi sepertinya. Ia hanya mengingatkan dengan lembut: bahwa hidup adalah tentang menata, bukan memilih satu dan mengabaikan yang lain.
Hingga hari itu datang.
Hari ketika ia menyelesaikan hafalan 30 juz. Hari ketika tangisnya bukan karena lelah, tapi karena haru. Kami semua tahu betul, ayat-ayat itu bukan hanya ia hafalkan---tapi ia rawat, ia perjuangkan, ia perjuangkan meski tubuhnya menolak, ia ingat meski kepala berat oleh rasa sakit dan kurang tidur.
Dan seolah Allah telah menyusun semuanya dengan begitu rapi, di hari ia menyelesaikan hafalan Qur'annya, jodohnya pun datang. Ia dipinang dan dinikahkan. Dua kebahagiaan besar dalam satu hari yang sama. Seakan Allah berkata:
"Engkau telah menjaga firman-Ku, kini Aku menjaga hidupmu."
Ukhty Ikmal bukan hanya hafizhah. Ia adalah pejuang, penyayang, dan penenang. Ia adalah sahabat yang mengajarkan kami bahwa tak perlu membandingkan amal shalih satu dengan yang lain, tak perlu merasa bersalah atas pilihan-pilihan baik. Yang perlu kita lakukan hanyalah menata, memberi hak pada tiap tanggung jawab, dan tetap melibatkan Allah dalam setiap langkah.
Ukhty Ikmal, mungkin kini lantunanmu tak lagi terdengar di ruang setoran kami. Tapi percayalah, suaramu masih bergema di hati kami yang pernah menyimaknya.
Semoga rumah tanggamu menjadi taman Al-Qur'an, tempat ayat-ayat itu tumbuh dalam cinta, bukan hanya di hafalan, tapi dalam hidup sehari-hari. Terima kasih sudah menunjukkan pada kami bahwa jalan menjadi hafizhah bukan jalan yang mulus---tapi jalan yang indah, karena penuh perjuangan, keikhlasan, dan cinta yang tulus.
Semoga Allah menjagamu, seperti engkau telah menjaga firman-Nya.
Semoga setiap huruf yang kau hafal menjadi pelindungmu di dunia dan akhirat.
Dan semoga tulisan ini, meski tak seberapa, menjadi hadiah kecil yang layak untuk perjuangan besarmu.
Allahu ma'ana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI