Pagi itu, sekitar jam 5 pagi, saya tinggalkan Makassar dengan hati penuh doa dan semangat baru. Ada momen penting dalam hidup seorang ayah mengantar anaknya kuliah untuk pertama kali. Bukan sekadar melepas, tetapi sekaligus merelakan. Kali ini, langkah kaki saya membawa saya dari Bandara Sultan Hasanuddin ke Pulau Dewata, Bali, untuk mengantar sang anak memulai perjalanannya sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Saya memilih penerbangan dengan Batik Air. Tiketnya hanya sekitar 700 ribu rupiah, dan dalam waktu satu jam kemudian, saya sudah tiba di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Waktu terasa begitu singkat, namun hati terasa panjang karena momen ini bukan sekadar perjalanan fisik, tapi perjalanan batin sebagai orang tua.
Begitu keluar dari pesawat, nuansa Bali langsung menyambut. Umbul-umbul khas Bali, gerbang batu penuh ukiran, dan aroma harum dupa yang menenangkan jiwa seolah menyapa, "Selamat datang." Bandara ini bukan hanya tempat transit, tapi juga ruang rasa yang dibungkus budaya. Ornamen kupu-kupu, kebersihan yang terjaga, dan ketenangan suasananya membuat saya sejenak lupa bahwa ini perjalanan singkat. Rasanya seperti pulang, meskipun bukan kampung halaman.
Dari saran istri. Saya memesan taksi Blue Bird lewat aplikasi, dan tak disangka tarifnya justru lebih murah hampir setengah harga dibandingkan Grab atau Gojek. Sebuah hal yang patut dicatat bagi siapa saja yang baru datang ke Bali.
Sesampainya di kawasan kampus Udayana, saya sempat mendengar keluhan orang-orang lokal:
"Di Bali, mencari kos murah itu lebih sulit daripada mencari kerja."
Namun, alhamdulillah, anak saya mendapatkan kos Erlangga yang nyaman, milik bapak Rendy seorang pengusaha muda asal Jakarta yang dekat dari kampus, strategis untuk makan dan belanja kebutuhan harian. Rezeki memang tak pernah salah alamat, apalagi jika disertai niat baik dan restu orang tua.
Di lingkungan kos tersebut, saya berkesempatan berkenalan dengan Pak Wayan Suweta, seorang Ketua RT setempat yang ramah dan terbuka. Kami berbincang hangat tentang budaya Bali, toleransi, dan kehidupan sosial yang saling menghormati. Dalam perbincangan itu, saya pun menitipkan anak saya dengan harapan:
"Semoga dalam bimbingan lingkungan yang baik ini, anak saya dapat belajar, tumbuh, dan mencapai impiannya sebagai sarjana hukum yang baik dan benar."