Namanya Arka. Usianya tiga puluh. Tubuhnya sehat, wajahnya bersahaja, dan langkahnya selalu mantap menuju masjid saat azan maghrib bergema dari langit desa. Ia punya seorang istri—Alya, wanita yang lembut dan sabar, dan seorang anak lelaki berusia lima tahun yang setiap malam tidur memeluk bahunya.
Dari luar, hidup Arka seperti taman kecil yang tak pernah kering oleh hujan. Tapi di dalam dadanya, hujan itu justru tak kunjung reda.
Gadis Bermata Senja
Ia bertemu gadis itu di sore hari, saat langit seperti kapas tua yang lembut. Gadis berseragam putih-abu itu berdiri di halte sambil membaca buku puisi. Rambutnya dikepang dua, dan mata beningnya seolah menyimpan perih dari kehidupan yang belum sempat ia ceritakan pada siapa pun.
Arka hanya lewat. Tapi sejak itu, ia tak pernah benar-benar pulang.
Hari-hari berikutnya, ia sengaja memperlambat langkah, memperpanjang waktu menunggu angkot, dan memperbanyak alasan untuk sekadar duduk di warung kopi dekat halte itu.
Gadis itu tidak tahu. Dunia tidak tahu. Tapi malam tahu. Dan rembulan tahu segalanya.
Cinta yang Tak Bernama
Arka tidak pernah bicara. Tidak pernah menyapa. Hanya mengagumi. Hanya mencintai. Dalam diam yang lebih sunyi dari nisan.
Cintanya bukan nafsu. Ia tidak ingin menggenggam tubuh. Ia hanya ingin menggenggam waktu—andaikata waktu bisa disimpan di saku baju, lalu dikeluarkan pelan-pelan setiap malam, hanya untuk melihat gadis itu tersenyum sekali lagi.