Mohon tunggu...
asni asueb
asni asueb Mohon Tunggu... Penjahit - Mencoba kembali di dunia menulis

menyukai dunia menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tiang Kehidupanku Telah Pergi

26 November 2020   23:10 Diperbarui: 26 November 2020   23:17 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memberanikan diri masuk ke dalam rumah yang penuh kenangan. Lama sekali tak pernah dikunjungi sejak kepergianmu. Ada rasa dan goresan luka yang teramat perih karena kita bukan hanya hubungan anak dan ayah, kita juga bersahabat, terkadang sebagai pacar.

Aku ulurkan tangan untuk menggapainya, potret kehidupanmu telah berpindah ke tangan. Usapan lembut menyentuh goresan di wajahmu. Keletihan yang kau beri terlihat jelas, masih membayang dalam ingatan dengan sepeda unta, kau kayuh kehidupan untuk menghidupi keenam anakmu. Tanpa kau hiraukan hujan atau pun panas. Tubuhmu pun terlihat menghitam karena sengatan matahari yang tak bersahabat.

Saat  kau buka  capitmu di kening jelas terlihat perubahan warna, ternyata kau dulu putih dan sekarang tubuhmu berwarna kecoklatan terbakar sinar matahari. Kehidupan keras yang kau jalani membuat sikapmu bak militer namun penuh cinta. Kau ajarkan segala hal padaku. Dari hal yang terkecil hingga hal yang menurutku tak pantas dilakukan bagi seorang wanita. Tapi bagimu pantas atau tidaknya tergantung hati yang ingin melaksanakannya.

Kau tak ubahnya mentari bagiku, rembulan kala malam menyapa. Dendang yang keluar dari bibir tipis mu adalah dendang kebahagiaan. Karena kau pernah bilang

"Sebuah kehidupan itu tak usah dipersulit atau mempersulit diri, ikutin arus yang mengalir yang akan membawa kita pada muaranya." 

Jemariku kembali menyentuh pigura yang termakan usia, entah sejak kapan semua terbingkai. Seperti bingkai kenangan yang selalu kau beri dan tancapkan pada otakku dan  kau bilang

"Agar kenangan kita tak keluar dari kehidupan namun bukan berarti tenggelam  dan jangan pernah berjalan di atas kenangan."

Garis-garis di wajahmu menggambarkan lika-liku kehidupanmu, dangkal dan dalamnya realita yang kau hadapi. Hanya kau yang tahu. Satu sulutan rokok menemanimu kala lelah itu terpapar, menghembuskan kepulan asap sebagai isyarat melepaskan kepenatan dan permasalahan yang mendera.

Aku rindu dendang, belaian sayang, tertidur di pangkuan bahkan merindukan kecupan kecil darimu. Kerinduan itu semakin bercokol di hati, saat kutatap tatapan matamu yang penuh kasih sayang. Andai waktu dapat berulang, kuingin menyusuri kota dingin ini bersamamu lagi seperti dulu saat usiaku belia. Menemanimu menyusuri jalan-jalan setapak untuk mencari sesuap nasi.

Mengembalikan pigura ini pada tempatnya, membiarkannya tergantung di mana asalnya. Seperti permintaanmu dulu. Tetap menjadikannya kenangan yang terindah dalam kehidupan 

 bersamamu. Satu kenangan yang tak pernah terlupakan  saat aku selalu merawat jenggot dan kumis mu serta kuku kuku jari tangan dan kaki. Kau bilang

"Kalau aan yang bersihkan pasti bersih dan rapi."

Namun karena rasa yang berbeda, kepergian membuatmu tak terurus. Andai waktu dapat kupeluk kembali akan kupeluk dirimu dan berjanji tak akan meninggalkanmu lagi. 

Walau di sela waktu, aku mengurusmu, meninggalkan suami di seberang, demi bakti anak terhadap ayahnya. 

Waktu setengah bulan tidak mampu menebus segala kasih sayang dan cinta serta perhatian, pengajaran hidup yang kau sematkan pada aku anak tengah yang kau beri tanggung jawab yang besar untuk melindungi kakak kakak dan adikku.

Saat detik detik kepergian dirimu, aku masih sempat membersihkan semua anggota tubuhmu, hingga bersih sampai di ujung jari kakimu, hariku berdetak, bukankah dulu kuku jarimu rusak dan sekarang kuku kaki itu bagus tanpa terlihat rusak.

Namun hatiku berkata, tanda kepergiannya telah dekat inilah saatnya aku bersiap diri atas apa yang terjadi. Di pelukan istri yang kau cinta dan sayang dengan caramu. Kau pergi selama lamanya. Meninggalkan kami dalam duka yang panjang terlebih diriku.

Kebiasaan tiap bulan mengirim uang lewat kantor pos, masih sering aku lakukan hingga lima bulan kepergian mu. Aku baru menyadari bahwa kau telah tiada. 

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Selamat jalan papa sayang, semoga kau berkumpul dengan kekasih hatimu dan permata jiwamu untuk menemani dirimu di surga. Aamiin

Palembang, 27120

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun