Mohon tunggu...
Asmiati Malik
Asmiati Malik Mohon Tunggu... Ilmuwan - Political Economic Analist

Political Economist|Fascinated with Science and Physics |Twitter: AsmiatiMalik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apa Pesan Politik di Balik Perjanjian Damai antara Korut dan Korsel?

30 April 2018   17:55 Diperbarui: 2 Mei 2018   09:51 1411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selain itu, Perang juga akan menghancurkan fasilitas dan kemegahan yang diberikan pemerintahan Kim Jong Un untuk para elit partai dengan cara  mengeksploitasi rakyat mereka sendiri, agar ia bisa tetap mempertahankan kekuasaannya.

Ini berbeda dengan orang-orang Korea Utara sendiri, di mana mereka sudah siap berperang. Terutama setelah tiga generasi di bawah kepemimpinan Kim, tidak ada peningkatan kesejahtraan untuk mereka. Apalagi menyusul informasi dari pemerintah Korea Utara sendiri yang memperingati warganya akan bencana kelaparan yang akan melanda Korea Utara.

Hal ini seolah-olah tidak memberikan pilihan yang banyak untuk warga Korut, mereka memilih lebih baik berperang dari pada mati kelaparan.

Menurut Ji Seong-Ho, seorang pembelot dari Utara yang sekarang tinggal di Korea Selatan menyatakan bahwa Kim Jong-Un menghadapi tekanan luar biasa dari penduduknya sendiri, karena sanksi ekonomi yang melarang semua negara untuk melakukan aktifitas dagang dengan Korea Utara, yang disebabkan oleh aktifitas uji coba misilnya sendiri.Sanksi dagang ini sangat memperburuk kondisi perekonomian Korut.

Sanksi juga membuat orang-orang mereka sangat kecewa dan tidak percaya kepemimpinan Kim lagi. Obsesi Kim Jong Un untuk mengembangan senjata Nuklir membuat orang-orangnya bertanya-tanya, mengapa pemerintah menghabiskan begitu banyak uang untuk program nuklir tetapi di sisi lain membiarkan warganya sendiri menderita kelaparan.

Di sisi lain, Kim juga menghadapi tekanan yang sangat besar dari internal elitnya sendiri, di mana sejauh ini, ia dapat membuat mereka mendukungnya dengan cara suap. Akan tetapi sanksi perdagangan dari PBB, memberi tekanan keuangan yang sangat besar untuk Korut.

Satu-satunya harapan untuk Kim adalah ekspor batu bara ke Tiongkok. Tetapi, Cina sudah memangkas konsumsi mereka terhadap Batubara karena dampak kerusakan lingkungan yang begitu parah parah, disusul melemahnya ekonomi global dan perubahan pola konsumsi energi mereka ke energi terbarukan membuat permintaan baru bara mereka terhadap Korea Utara menurun dari tahun ke tahun.

Kebijakan Tionkok untuk menghentikan impor produk Korea Utara menyumbang defisit 86,1 persen dari nilai ekonomi Korea Utara di 2017. Tidak hanya itu, Tiongkok juga terpaksa harus membekukan ekspor minyak dan produk lainnya ke Pyongyang mengikuti sanksi PBB pada program pengujian Nuklir Korea Utara, kalau tidak Tiongkok juga harus berhadapan dengan perang dagang dengan negara lain.

Sepertinya Kim tidak memiliki banyak pilihan. Inilah yang memaksanya berkunjung ke Beijing pada 28 Maret 2018. Dan itu juga memaksanya untuk membuka negosiasi dengan AS. Beruntung bagi Korea Utara, Trump secara positif menanggapi undangan dari Utara untuk bertemu, tentu saja setelah dibujuk oleh Jepang dan Korea Selatan agar jangan sampai terjadi perang di semanjung Asia Passifik.

Tanggapan dari AS membuka peluang bagi Korea Utara dan Selatan untuk membuka pembicaraan damai antara dua negara.

Tanpa restu AS, Korea Selatan tidak mungkin akan melakukan langkah apapun, karena sejauh ini, mereka juga sangat bergantung pada dukungan militer AS.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun