Mohon tunggu...
Asmiati Malik
Asmiati Malik Mohon Tunggu... Ilmuwan - Political Economic Analist

Political Economist|Fascinated with Science and Physics |Twitter: AsmiatiMalik

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pelemahan Daya Beli Masyarakat yang Dipersepsikan Berbeda-beda

20 April 2018   03:26 Diperbarui: 20 April 2018   03:35 1081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: ANT/Aditya Pradana Putra).

Persepsi Pemerintah

Menyusul buruknya kinerja beberapa toko riteail makanan, pakaian dan otomotif yang beroperasi di Indonesia seperti 7Eleven, Lotus, Matahari dan Debenhams karena disebabkan pendapatan perusahaan yang buruk dalam beberapa tahun belakangan ini. Hal tersebut tak ayal memberikan beban keuangan yang luar biasa bagi perusahaan.

Pada kesempatan yang sama Presiden Jokowi menanggapi bahwa tidak ada yang salah dengan daya beli masyarakat Indonesia dengan alasan bahwa terdapat peningkatan pendapatan PPN 12,2%, yang lebih besar dari tahun lalu. Jokowi juga menolak gagasan pelemahan daya beli Indonesia dengan menyatakan bahwa terdapat peningkatan pendapatan di sektor industri perhotelan dan restoran sebesar 1,44%.

Sebelumnya, pada bulan Agustus 2017, Menteri Pembangunan Perencanaan Nasional Bambang Brodjonegoro menanggapi bahwa kasus ini adalah "kasus misterius". Hal itu terasa agak aneh untuk seorang pejabat yang bertanggung jawab untuk merancang dan merencanakan pengembangan ekonomi tetapi meninggalkan kesan bahwa dia tidak tahu apa yang sedang terjadi pada pasar domestik Indonesia.

Pada saat yang sama juga, kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia, Thomas Lembong, mengatakan hal ini aga aneh mengingat tingkat inflasi agak terkendala pada tingkat 3% di Januari-Juli 2017. Selain itu, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menolak pendapat yang mengatakan bahwa terdapat pelemahan daya beli di masyarakat. Malah sebaliknya, beliau mengaku itu adalah faktor daya beli musiman.

Setelah itu pada bulan Oktober 2017, Jokowi mengklaim bahwa tidak ada penurunan daya beli, tetapi ada kecenderungan pergeseran kebiasaan belanja dari offline ke online yang ditunjukkan dari peningkatan sewa gudang sebesar 14,7%, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Di kesempatan yang sama, Biro Pusat Statistik Indonesia juga mengklaim tidak ada penurunan daya beli, karena konsumsi rumah tangga meningkat dari 0.01% pada kuartal pertama sampai kuartal dua 2017.

Persepsi Masyarakat

Namun hal ini sangat berbeda dengan persepsi masyarakat dan pengecer kecil-menengah, yang saya temukan lewat survei (200 responden) yang saya lakukan pada tanggal 8-29 Oktober, 2017.

Semua responden berpendapat bahwa hampir semua harga barang dan jasa meningkat. 48,2% dari responden mengatakan bahwa harga barang 5-10% lebih mahal, dan 31,1% dari total responden menganggap 11-15% lebih mahal. 14,5% responden berpikir harga barang menjadi lebih mahal sebesar 16-25%, dan hanya 6,2% pikir dua kali lipat dalam kurung waktu 3 tahun. (Lihat selanjutnya pada Grafik 1)

Grafik 1 Respon Responden atas Kenaikan Harga Barang (foto pribadi)
Grafik 1 Respon Responden atas Kenaikan Harga Barang (foto pribadi)
Dari 58,5% dari total responden menyalahkan inflasi dan depresiasi nilai tukar rupiah dalam beberapa tahun sebagai penyebab utama dari penurunan daya beli. 24% berpikir harga bensin (BBM) yang tidak menentu dan mengikuti harga pasar menyebabkan harga barang dan jasa ikut berubah-ubah. Tapi hal tersebut tidak diikuti oleh peningkatan pendapatan mereka (Lihatlah Bagan 2).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun