Mohon tunggu...
Asmaul Husna
Asmaul Husna Mohon Tunggu... Penulis - Penulis muda dari Aceh yang kerap menulis artikel di media cetak Serambi Indonesia dengan tema sosial-budaya, politik, dan lingkungan.

- Alumnus Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara (USU) - Koordinator Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Lhokseumawe - Pegiat di Indonesia Climate Tracker - Alumnus Young South East Asian Leaders Initiative (YSEALI) 2015

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Petani Berhak Sejahtera

22 Mei 2019   16:24 Diperbarui: 22 Mei 2019   17:02 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melihat ketidaktertarikan generasi muda untuk menjadi petani karena alasan suramnya masa depan, maka salah satu cara untuk regenerasi adalah pemerintah perlu menjanjikan kehidupan sejahtera bagi petani. Memberikan pinjaman modal, kredit kepemilikan lahan, menyediakan bibit unggul, dan inovasi di bidang pertanian perlu digalakkan dan merata bagi seluruh petani. 

Hal ini menjadi penting karena di antara kendala yang dihadapi petani yaitu sempitnya lahan dan minimnya modal sehingga sulit menghasilkan produk pertanian dalam jumlah besar. Di sisi lain, konversi lahan terus menggerus, di mana sejumlah sentra produksi pertanian, lahan produktif beralih fungsi menjadi lahan perumahan dan industri.

Dalam hal ini, maka upaya pemerintah untuk regenerasi petani terkait kebijakan anggaran, patut diapresiasi. Pada 2018, kebijakan anggaran difokuskan untuk bantuan prasarana dan sarana pertanian yang dapat digunakan oleh petani untuk berproduksi. 

Dalam rentan waktu empat tahun terakhir, anggaran operasional untuk biaya seminar, perbaikan kantor, hingga biaya membeli kendaraan telah dipangkas. Anggaran operasional yang awalnya 48 persen, saat ini menjadi tinggal 8 persen.

Sejalan dengan hal tersebut, berdasarkan Surat Menteri PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan RI, pagu anggaran Kementerian Pertanian (Kementan) Tahun Anggaran 2019 yaitu sebesar Rp 21,7 triliun. Adapun alokasi anggaran terbesar diberikan untuk Program Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Hasil Tanaman Pangan di Direktorat Jenderal  Tanaman pangan, yaitu sebesar Rp 6 triliun. Selanjutnya, Program Penyediaan dan Pengembangan Prasarana dan Sarana yaitu sebesar Rp 5,1 triliun (Kompas.com, 31/10/2018). Sebuah angka fantastis untuk regenerasi petani.

Tidak hanya anggaran, Kementerian Pertanian (Kementan) juga telah melakukan sejumlah upaya untuk mengatasi kurangnya minat generasi muda terjun ke sektor pertanian. Kementan mempunyai enam strategi untuk regenerasi petani. 

Pertama, inisiasi program penumbuhan wirausaha muda pertanian yang bekerja sama dengan 16 Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Kedua, penumbuhan kelompok usaha bersama (KUB) yang difokuskan di bidang pertanian bagi pemuda tani. Ketiga, transformasi pendidikan tinggi vokasi pertanian. Keempat, pelatihan dan magang bagi pemuda tani dalam bidang pertanian. 

Kelima, optimalisasi penyuluh untuk mendorong dan menumbuhkembangkan pemuda tani. Keenam, pelibatan mahasiswa, alumni, atau pemuda tani untuk mengintensifkan pendampingan program Kementerian pertanian (Kompas.com, 27/11/2017).

Jika strategi tersebut berhasil dijalankan, saya yakin, akan banyak generasi muda yang beralih ke dunia pertanian dibandingkan harus bersaing dengan puluhan ribu calon pegawai negeri sipil hanya untuk merebut dua, tiga, atau bahkan satu lowongan pekerjaan.

Namun terlepas dari itu semua, regenerasi petani adalah tanggung jawab kita bersama. Karena sebanyak apapun anggaran yang dialiri, sehebat apapun program dan teknologi, seluas apapun bumi untuk bertani, jika tak ada yang mau jadi petani dan didukung oleh kemampuan yang mumpuni, maka cita-cita kedaulatan pangan akan jauh panggang dari api. Karena jika ingin tetap makan, petani perlu diperhatikan. Jangan sampai kita mengonsumsi pangan sintesis yang diproduksi dari bahan kimia sebagai alternatif kelangkaan pangan sebab petani tak lagi mau turun tangan.

Jika regenerasi petani dilakukan dengan baik, maka visi Indonesia untuk menjadi lumbung pangan dunia pada 2045 bukanlah sebuah hal mustahil. Seperti yang pernah dikatakan oleh penulis Belanda, Eduard Douwes Dekker (1820-1887) bahwa kita bergembira bukan karena memotong padi, tapi kita bergembira karena memotong padi yang kita tanam sendiri.

Asmaul Husna, Alumnus Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara (USU) dan Koordinator Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Lhokseumawe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun