Mohon tunggu...
Aslamuddin Lasawedy
Aslamuddin Lasawedy Mohon Tunggu... Pemerhati Masalah Ekonomi, Budaya dan Politik

Open minded and easy going

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menanggung Beban Bersama antara Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter melalui Burden Sharing

14 September 2025   18:34 Diperbarui: 14 September 2025   19:35 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Aslamuddin Lasawedy

AMBIL contoh sebuah keluarga besar yang tengah menghadapi musim paceklik. Ayah yang biasanya bekerja keras (pemerintah) tiba-tiba kehilangan pemasukan besar. Ibu yang biasanya menjaga tabungan keluarga (bank sentral) akhirnya turun tangan, lantaran anak-anak  butuh makan. Akhirnya, ibu membuka celengan rahasia, agar dapur terus berasap. Begitulah perumpamaan burden sharing dalam makna paling sederhana yaitu bagaimana berbagi beban agar kehidupan perekonomian negara tidak terhenti.

Dalam literatur ekonomi makro dan kebijakan publik, terdapat perdebatan panjang mengenai bagaimana fiskal dan moneter harus berinteraksi, terutama dalam situasi krisis, defisit besar, atau kebutuhan mendesak (seperti pandemi). Lalu muncullah instrumen burden sharing, yang menjadi salah satu instrument mengatasi krisis ekonomi. Burden sharing tidak lain adalah pembagian tanggung jawab atau beban antara pemerintah (fiskal) dan bank sentral (moneter),  Implementasinya membawa manfaat sekaligus risiko yang perlu dikaji secara serius dari sisi teori dan empiris.

Tahun 1998, Indonesia pernah menari di panggung krisis. Badai moneter Asia menghantam keras. Nilai rupiah runtuh seperti daun kering diterpa angin. Sejumlah bank berguguran. Rakyat mengantri minyak goreng seperti mencari setetes cahaya di tengah gelap. Saat itu, burden sharing belum hadir sebagai konsep formal. Bank sentral masih terseret dalam tarikan fiskal yang kacau. Hasilnya, inflasi melonjak. Kepercayaan runtuh. Pengalaman ini memberi pelajaran, betapa mahal harga yang harus dibayar jika dinding pemisah moneter dan fiskal runtuh tanpa kendali.

Lalu tibalah pandemi 2020, sebuah badai yang tak kasat mata. Kali ini Indonesia mencoba jalur berbeda. Pemerintah dan Bank Indonesia duduk satu meja, merundingkan cara terbaik, agar ekonomi tidak tenggelam dalam keterpurukan. Maka lahirlah kesepakatan burden sharing, dimana bank sentral membeli obligasi pemerintah untuk membiayai kesehatan, bantuan sosial, dan pemulihan perekonomian negara. Dalam sekejap, kebijakan ini menjadi pelampung di samudera perekonomian yang mendadak ganas. Bedanya dengan 1998, kali ini tali tambatan dipasang dengan aturan yang jelas, seperti ; transparansi, batasan, dan kesadaran bahwa ini hanya jalan darurat, bukan jalan permanen.

Manfaat dari kebijakan ini begitu terasa, terutama ketika badai krisis ekonomi menerpa. Seperti payung besar yang terbuka di tengah hujan deras. Burden sharing melindungi rakyat dari derasnya keterpurukan. Pemerintah mendapat ruang fiskal untuk memberi subsidi, menjaga dunia usaha, dan memastikan rakyat kecil tetap bisa membeli beras meski harga-harga  bergejolak.

Filosofi burden sharing ini begitu sederhana bahwa hidup bersama berarti berbagi. Burden sharing menjadi penting, lantaran apalah artinya sebuah bank sentral menjaga nilai uang bila rakyatnya tidak mampu membeli makanan? Apa gunanya pemerintah berhutang ke pasar modal dengan bunga mencekik bila di dalam negeri ada tangan yang bisa menopang? Burden sharing menyelamatkan bangsa dengan solidaritas kelembagaan. Sebuah cermin bahwa akal sehat dan nurani bisa berjalan beriringan.

Meski burden sharing ini sangat bermanfaat, pun menyimpan potensi bahaya. Ibaratnya seperti lilin yang terlalu lama dibiarkan menyala. Ia memang memberi terang. Namun, bila lupa diawasi, ia bisa membakar rumah.

Selain itu, risiko inflasi selalu mengintai. Likuiditas yang melimpah dari dukungan moneter bisa membuat nilai uang terkikis. Bagi rakyat kecil, kenaikan harga kebutuhan pokok lebih menyakitkan daripada angka defisit yang tertulis di laporan keuangan negara. Di sinilah nampak paradoksnya bahwa kebijakan yang dirancang untuk melindungi rakyat, bisa berbalik melukai rakyat  bila tidak dijalankan dengan hati-hati.

Risiko lainnya lebih halus tapi tak kalah berbahaya yaitu erosi disiplin. Bila pemerintah terlalu sering ditolong bank sentral, ia bisa terlena, lantaran merasa selalu ada bahu yang siap memikul beban, yang bisa berakibat pada kehilangan keberanian untuk mengendalikan defisit dan utang. Ibaratnya seperti sebuah perahu yang tak pernah belajar menantang ombak karena tahu selalu ada kapal penyelamat yang siap menolong. Pada akhirnya, jiwa kemandirian bisa terkikis oleh kebiasaan bergantung.

Nah, apa pun itu, burden sharing mengajarkan kita tentang keseimbangan. Ia bukanlah tongkat ajaib yang bisa selamanya menopang ekonomi. Ia hanya sekadar penopang darurat ketika jalan terjal. Ada saatnya perahu memang butuh tali tambatan, tetapi tambatan itu harus dilepas kembali begitu badai reda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun