ADA sebuah irama yang lebih tua daripada waktu. Sebuah simfoni yang tak pernah ditulis dalam partitur manusia. Namun, ia selalu dimainkan dalam denyut semesta. Irama itu adalah pengaturan Tuhan. Sebuah komposisi tak terlihat yang menyatukan keteraturan bintang di langit, detak jantung makhluk hidup, hingga jatuhnya sehelai daun yang terlepas dari tangkainya.Â
Hidup selaras dengan pengaturan Tuhan bukanlah soal menaklukkan takdir. Ibaratnya seperti menari mengikuti irama kosmik yang sudah lebih dahulu ada sebelum kita belajar mengeja arti kehidupan.
Manusia memang sering merasa dirinya pusat dari segalanya. Semisal merancang, memproyeksikan, bahkan memprediksi masa depan dengan angka-angka, grafik, dan model matematis. Namun, sejarah pengetahuan memperlihatkan keterbatasan manusia dalam banyak hal. Ambil contoh ; menghadapi bencana alam yang tak terduga, perubahan iklim yang melampaui skenario, atau peristiwa pribadi yang meruntuhkan semua rencana yang tampak sempurna. Filosof Yunani, Heraclitus, pernah berujar bahwa "semuanya mengalir." Sementara  pandangan teologis menganggap arus kehidupan itu bukanlah chaos. Ia justru mencerminkan sebuah desain yang menuntun kita ke arah tertentu, yaitu arah yang ditentukan oleh Kehendak Ilahi.
Hidup selaras dengan pengaturan Tuhan berarti mengakui bahwa manusia bukanlah pengendali utama. Manusia tak lebih hanya sebagai navigator di samudra takdir. Manusia diberikan akal sebagai kompas. Usaha sebagai layar. Doa sebagai jangkar. Namun arah angin tetaplah menjadi hak Tuhan. Hidup itu ibarat sebuah perahu kecil yang berlayar di lautan luas. Manusia boleh mengatur tali layarnya, tetapi tidak bisa memerintah ombak atau menahan badai.
Ilmu psikologi modern menyebutnya acceptance atau sebuah sikap menerima realitas tanpa kehilangan daya juang. Sedangkan dalam sufisme, ia disebut tawakal atau kepercayaan penuh kepada Tuhan setelah ikhtiar. Dua disiplin ilmu berbeda ini berjumpa dalam satu simpul, bahwa ada kebijaksanaan dalam pasrah. Ada kekuatan dalam menerima keterbatasan.
Tak heran, Kierkegaard menekankan pentingnya leap of faith atau lompatan iman yang membawa manusia melampaui absurditas hidupnya. Sementara ajaran Islam, berkeyakinan pada qadarullah, yang bukan berarti pasif, tetapi memahami bahwa segala sesuatu berada dalam genggaman-Nya. Dengan kata lain, hidup selaras dengan pengaturan Tuhan adalah seni menyeimbangkan usaha dengan penerimaan. Keberanian dengan kerendahan hati. Dan perencanaan dengan kepasrahan.
Ketika manusia mencoba hidup di luar pengaturan Tuhan, ia ibarat ikan yang ingin hidup di daratan. Nafasnya tersengal. Langkahnya tertatih-tatih, dan ia kehilangan jati dirinya. Sebaliknya, ketika ia selaras dengan aturan ilahi, ia menemukan harmoni disana. Bukan harmoni yang selalu mudah untuk dijalani, melainkan harmoni yang menumbuhkan kedewasaan spiritual. Melalui pengalaman hidupnya, manusia belajar bahwa kegagalan bukan sekadar musibah. Ia hanya jeda dalam komposisi simfoni kehidupan. Keterlambatan bukan sebuah kerugian, melainkan tempo yang diatur Tuhan agar kita tidak salah masuk pada melodinya.Â
Pada akhirnya, kita bukanlah pengarang naskah. Kita hanyalah aktor yang memainkan peran dalam panggung kehidupan. Sementara Tuhan adalah sutradara agung yang telah menyiapkan alur ceritanya. Lengkap dengan konflik, klimaks, dan resolusinya. Selaras dengan pengaturan-Nya berarti menjalani peran itu dengan kesungguhan, tanpa merampas kendali yang bukan milik kita.
Sebab hidup bukan sekadar tentang apa yang kita rencanakan. Hidup itu tidak lain tentang bagaimana kita berdamai dengan apa yang ditentukan Tuhan. Dan di sanalah kita menemukan kebebasan sejati. Kebebasan yang di luar kendali kita. Kebebasan dari kegelisahan. Kebebasan untuk hidup sepenuhnya dalam harmoni dengan Tuhan yang mengatur segalanya.(*)Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI