Oleh :
Aslamuddin  Lasawedy CFP
Perencana Keuangan Independen
KITA sering mengira uang adalah soal angka, seperti yang tertera pada ; penghasilan, pengeluaran, tabungan, investasi, dan seterusnya. Namun di balik angka itu, ada emosi. Di balik keputusan keuangan itu, ada cerita. Sebagai misal, seorang pria yang memborong barang diskon bisa saja bukan karena butuh, tapi karena takut dianggap ketinggalan. Atau contoh lainnya, seorang  ibu yang tak mau menyentuh dana daruratnya, meski sedang mengalami krisis keuangan. Alasannya sederhana, karena itu warisan "rasa aman" dari masa kecilnya yang miskin.
Inilah yang disebut perilaku finansial. Sebuah perjalanan batin yang tak terlihat, namun menggerakkan seluruh kehidupan seseorang. Perilaku finansial sejatinya bukan soal pengetahuan, tapi kebiasaan dan keyakinan yang berakar pada pengalaman masa lalu. Ia dibentuk dari pengalaman, trauma, lingkungan keluarga, bahkan bahasa. Maka keputusan finansial tak pernah netral. ia selalu membawa warna dari masa lalu. Rasa dari masa kini. Dan bayangan dari masa depan. Perilaku finansial menentukan arah, bagaimana kita memperlakukan uang, mengambil keputusan keuangan, dan merespons godaan-godaan duniawi
Bayangkan misalnya dompet kita itu, bukan tempat menyimpan uang, tapi justru menjadi kompas perasaan kita. Tatkala kita takut kehilangan uang, maka arah kompas itu bergerak ke arah penimbunan uang. Ketika kita sedang euforia, kompas itu menunjuk ke arah pemborosan uang. Nah, Perilaku finansial ini adalah arah yang kita ambil dalam kondisi emosi tertentu. Kadang kita belok ke jalan logika. Kadang kita masuk ke lorong impulsif yang gelap tapi menggoda.
Inilah mengapa banyak orang tahu bahwa menabung itu penting, namun ia tak melakukannya. Atau, sadar bahwa investasi jangka panjang itu lebih baik, namun tetap tergoda cara cuan instan. Inilah bukti nyata bahwa keputusan finansial bukan hanya soal rasio, tapi reaksi.
Dalam dunia kontemporer yang dipenuhi aplikasi dompet digital dan platform investasi, memahami perilaku finansial diri sendiri menjadi kunci. Memahaminya tidak hanya dalam bentuk strategi, tapi refleksi:
Ambil contoh, bagaimana menyusun anggaran berdasarkan perilaku finansial. Contohnya, anggaran yang baik itu, bukan hanya anggaran yang tersusun rapi. Tapi yang realistis terhadap kebiasaan kita. Jika kita tahu bahwa kebiasaan kita suka 'healing.' Maka anggarkan untuk itu, jangan sekadar berharap kita akan berubah jadi pertapa, yang bakal jadi hemat secara tiba-tiba.
Sehingga penting mengenali trigger emosi kita, lantaran setiap orang pasti punya titik lemah. Ada yang berbelanja saat stres,. Ada yang berjudi karena ingin cepat kaya. Nah, melalui praktek perilaku finansial, kita akan mengenali perilaku finansial kita, lalu menatanya bukan mengabaikannya.Â
Dalam praktek menata perilaku finansial ini, melakukan otomatisasi penting untuk melawan diri sendiri. Seperti menyisihkan tabungan secara otomatis. Mengunci dana darurat. Atau, membuat batas pengeluaran harian. Semua itu adalah bentuk desain keuangan yang membantu kita menghadapi diri sendiri.
Membuat jurnal finansial juga penting. Seperti menulis diary emosi. Jurnal keuangan ini tidak hanya mencatat nominal, pun alasan di balik keputusan keuangan kita. Ini bukan untuk menghukum diri sendiri, melainkan untuk memahami, mengapa kita menghabiskan uang untuk sesuatu. Dan apa yang sebenarnya yang sedang kita cari ?