Mohon tunggu...
Aslamuddin Lasawedy
Aslamuddin Lasawedy Mohon Tunggu... Pemerhati Masalah Ekonomi, Budaya dan Politik

Open minded and easy going

Selanjutnya

Tutup

Music

Sejarah Royalty Musik Dari Patronase Istana Hingga Algoritma Digital

16 Agustus 2025   06:54 Diperbarui: 29 Agustus 2025   09:21 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Aslamuddin Lasawedy

Memasuki abad ke-20, teknologi rekaman menciptakan paradoks baru. Lagu yang dahulu hanya hidup di panggung kini bisa abadi di piringan hitam, radio, lalu kaset. Beatles adalah contoh nyatanya. Musik mereka mendunia. Namun ironisnya, kontrak awalnya dengan label ternama menghasilkan royalti yang jauh lebih kecil dibanding nilai karya mereka. Tak heran, sebagian besar keuntungan awal mereka justru mengalir ke industri rekaman, bukan ke pencipta lagu.

Di Amerika Serikat, lembaga seperti ASCAP (1914) dan BMI (1939) lahir sebagai benteng untuk memperjuangkan hak musisi. Mereka memungut royalti dari penggunaan musik di radio, konser, hingga televisi. Perjuangan ini bersuara lantang seputar keadilan distributif. Karya musik tak boleh hanya menguntungkan pemilik modal. Ia harus memberi manfaat dan keuntungan sebesar-besarnya kepada penciptanya

Kini, musik hidup dalam bentuk data. Spotify, Apple Music, YouTube, serta semua platform streaming yang menjanjikan akses tak terbatas. Di balik kemudahan itu, muncul realitas getir. Meski sebuah lagu bisa diputar jutaan kali, musisinya hanya mendapat royalti yang sangat kecil. Ambil contoh Spotify yang membayar rata-rata sekitar $0,003--$0,005 per stream. Ini artinya bila sebuah lagu diputar satu juta kali, itu setara hanya beberapa ribu dolar saja. 

Kasus Taylor Swift yang sempat menarik lagunya dari Spotify pada 2014 menjadi simbol perlawanan. Ia menolak logika bahwa karya seni hanya dihargai dengan uang receh per sekali putar. Begitu pula Radiohead, yang merilis album In Rainbows dengan sistem "bayar seikhlasnya" di internet pada 2007. Kenyataan ini menguji: apakah musik masih dihargai secara etis atau semata-mata dipandang sebagai data yang harganya murah?

Filosofi di Balik Royalti

Sejarah royalti adalah refleksi tentang nilai. Apakah musik sekadar komoditas, ataukah ia hanya suara yang dibungkus angka? Royalti adalah metafora. Ia bukan hanya penghargaan, melainkan pengakuan bahwa setiap nada lahir dari jerih payah. Seperti kata filsuf Theodor Adorno, industri musik sering mengubah seni menjadi barang konsumsi massal. Namun royalti tetap menjadi pagar agar kreativitas tak seluruhnya dicuri pasar.

Kini, kita hidup di persimpangan jalan. Teknologi memberi kebebasan distribusi, pun mengikis penghargaan finansial. Royalti menjadi seperti bayangan. Ada, tapi semakin tipis. Tantangannya adalah bagaimana menyeimbangkan estetika dan ekonomi, pun kebebasan berbagi dan keadilan bagi pemilik hak cipta. 

Nada yang Tak Pernah Padam

Dari gua purba hingga Spotify, musik selalu menemukan jalannya untuk bertahan hidup. Royalti hanyalah upaya manusia memberi "nilai duniawi" pada sesuatu yang lahir dari "nilai surgawi." Ia adalah simbol keadilan. Sebuah cara dunia berkata bahwa "suara yang engkau titipkan pada udara tidak hilang begitu saja. Kami justru menghargaimu."

Selama manusia masih bernyanyi, sejarah royalti musik akan terus ditulis. Bukan hanya di lembar kontrak, tetapi di hati setiap pendengar yang memilih untuk tidak hanya mendengar, tetapi juga menghargai.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun