Mohon tunggu...
Aslamuddin Lasawedy
Aslamuddin Lasawedy Mohon Tunggu... Pemerhati Masalah Ekonomi, Budaya dan Politik

Open minded and easy going

Selanjutnya

Tutup

Music

Sejarah Royalty Musik Dari Patronase Istana Hingga Algoritma Digital

16 Agustus 2025   06:54 Diperbarui: 29 Agustus 2025   09:21 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Aslamuddin Lasawedy

Oleh : 

Aslamuddin Lasawedy

Mantan Pimpinan Perusahaan Koran Slank

SEJARAH royalti musik bukan hanya catatan hukum dan angka. Ia adalah kisah  tentang bagaimana manusia menghargai suara. Ia adalah perjalanan panjang dari gumaman purba yang bebas mengalun di udara. Hingga nada digital itu, kini dihitung algoritma.

Pada masa Bach dan Mozart, musik hidup dalam bayang-bayang patronase. Seorang komponis bisa menggubah simfoni abadi, namun hidupnya tergantung kemurahan hati bangsawan atau gereja. Mozart, misalnya, meski karyanya abadi, kerap dililit kesulitan finansial karena sistem royalti belum mapan. Musik pada masa itu adalah pesanan, bukan kepemilikan.

Saat mesin cetak ditemukan oleh Johannes Gutenberg pada abad ke-15, tepatnya sekitar tahun 1440. Inilah tonggak penting dalam sejarah manusia, khususnya dalam hal penyebaran informasi dan pengetahuan. Dunia musik pun berubah drastis. Lembaran musik cetak menjadi populer. 

Pada tahun 1473  seorang pencetak dari Venesia bernama Ottaviano Petrucci,  menemukan cara untuk mencetak musik polifonik. Hal inilah yang memungkinkan pembuatan dan pendistribusian banyak partitur musik. Sehingga gagasan baru ini memungkinkan penjualan karya musik, yang kemudian mendorong perlunya perlindungan hak-hak komposer. Pada akhir tahun 1400-an, untuk pertama kalinya royalti musik dibayarkan. 

Tahun 1710, Inggris mengesahkan Statute of Anne, undang-undang hak cipta pertama yang menjadi fondasi pengaturan royalti di seluruh dunia. Prancis pada tahun 1777, mengesahkan undang-undang hak cipta  yang secara khusus mengatur musik. Di tahun yang sama, Société des Auteurs et Compositeurs Dramatiques (SACD) dibentuk untuk mengumpulkan royalti atas karya musik dan teater. Inilah momen penting yang menjadi pengakuan resmi pertama bahwa pencipta musik berhak mendapatkan bayaran atas karyanya.

Awalnya Undang-Undang Hak Cipta tahun 1790 di Amerika Serikat dimaksudkan untuk melindungi karya cetak seperti peta dan buku. Undang-Undang tersebut tidak secara langsung mengatur soal musik. Nah  karya musik pertama yang didaftarkan sebagai buku berdasarkan undang-undang ini adalah "The Kentucky Volunteer" pada tahun 1820. Setelah itu, lahir Undang-Undang Hak Cipta tahun 1831, yang secara resmi mengakui karya musik sebagai jenis karya terpisah yang dapat dilindungi oleh hak cipta. 

Saat Konvensi Berne digelar tahun 1886, ditanda tanganilah perjanjian internasional mengenai perlindungan hak cipta atas karya seni dan sastra, termasuk musik. Tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan hak cipta yang sama bagi warga negara asing dan warga negaranya sendiri. Pun menetapkan masa perlindungan hak cipta.

Memasuki abad ke-20, teknologi rekaman menciptakan paradoks baru. Lagu yang dahulu hanya hidup di panggung kini bisa abadi di piringan hitam, radio, lalu kaset. Beatles adalah contoh nyatanya. Musik mereka mendunia. Namun ironisnya, kontrak awalnya dengan label ternama menghasilkan royalti yang jauh lebih kecil dibanding nilai karya mereka. Tak heran, sebagian besar keuntungan awal mereka justru mengalir ke industri rekaman, bukan ke pencipta lagu.

Di Amerika Serikat, lembaga seperti ASCAP (1914) dan BMI (1939) lahir sebagai benteng untuk memperjuangkan hak musisi. Mereka memungut royalti dari penggunaan musik di radio, konser, hingga televisi. Perjuangan ini bersuara lantang seputar keadilan distributif. Karya musik tak boleh hanya menguntungkan pemilik modal. Ia harus memberi manfaat dan keuntungan sebesar-besarnya kepada penciptanya

Kini, musik hidup dalam bentuk data. Spotify, Apple Music, YouTube, serta semua platform streaming yang menjanjikan akses tak terbatas. Di balik kemudahan itu, muncul realitas getir. Meski sebuah lagu bisa diputar jutaan kali, musisinya hanya mendapat royalti yang sangat kecil. Ambil contoh Spotify yang membayar rata-rata sekitar $0,003--$0,005 per stream. Ini artinya bila sebuah lagu diputar satu juta kali, itu setara hanya beberapa ribu dolar saja. 

Kasus Taylor Swift yang sempat menarik lagunya dari Spotify pada 2014 menjadi simbol perlawanan. Ia menolak logika bahwa karya seni hanya dihargai dengan uang receh per sekali putar. Begitu pula Radiohead, yang merilis album In Rainbows dengan sistem "bayar seikhlasnya" di internet pada 2007. Kenyataan ini menguji: apakah musik masih dihargai secara etis atau semata-mata dipandang sebagai data yang harganya murah?

Filosofi di Balik Royalti

Sejarah royalti adalah refleksi tentang nilai. Apakah musik sekadar komoditas, ataukah ia hanya suara yang dibungkus angka? Royalti adalah metafora. Ia bukan hanya penghargaan, melainkan pengakuan bahwa setiap nada lahir dari jerih payah. Seperti kata filsuf Theodor Adorno, industri musik sering mengubah seni menjadi barang konsumsi massal. Namun royalti tetap menjadi pagar agar kreativitas tak seluruhnya dicuri pasar.

Kini, kita hidup di persimpangan jalan. Teknologi memberi kebebasan distribusi, pun mengikis penghargaan finansial. Royalti menjadi seperti bayangan. Ada, tapi semakin tipis. Tantangannya adalah bagaimana menyeimbangkan estetika dan ekonomi, pun kebebasan berbagi dan keadilan bagi pemilik hak cipta. 

Nada yang Tak Pernah Padam

Dari gua purba hingga Spotify, musik selalu menemukan jalannya untuk bertahan hidup. Royalti hanyalah upaya manusia memberi "nilai duniawi" pada sesuatu yang lahir dari "nilai surgawi." Ia adalah simbol keadilan. Sebuah cara dunia berkata bahwa "suara yang engkau titipkan pada udara tidak hilang begitu saja. Kami justru menghargaimu."

Selama manusia masih bernyanyi, sejarah royalti musik akan terus ditulis. Bukan hanya di lembar kontrak, tetapi di hati setiap pendengar yang memilih untuk tidak hanya mendengar, tetapi juga menghargai.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun