Kisah kita akan tertulis di dalam sejarah. Tentang perempuan yang menunggu kedatangan lelaki yang dicintainya. Perempuan yang dengan kesabaran tiada batas, selalu berdoa agar lelakinya datang membawa  kebahagiaan. Perempuan dengan semua kepahitan ditelannya. Ini kisah kita, Dimas. Â
Sudah habis banyak tinta melukiskan bagaimana perasaanku kepadamu, Lelakiku. Tiada pernah terlintas dalam pikiranku untuk menggantikanmu dengan lelaki lain. Meskipun aku paham, mungkin rasa cinta membelenggu setiap gerakku untuk beranjak darimu. Rasa cinta atau kebodohan, aku pun tidak paham.
Suatu hari, aku bertandang ke rumahmu. Rumah yang dulu pernah menjadi saksi begitu bahagianya aku bisa memilikimu. Sungguh, ini keinginanku yang telah lama.
Ibumu menyambutku dengan amat dingin. Adakah yang salah dari sikap dan kata-kataku, Dimas? Adakah yang begitu menyakiti perasaannya? Hingga bertegur sapa pun enggan dilakukannya. Aku cukup terluka.
Kubawa kembali anak-anak rinduku pulang ke rumahku, rumah kita. Sejak itu aku berjanji, untuk tidak lagi mendatangi kediaman ibumu. Bukan karena aku tidak menyayanginya, tetapi sikapnya yang dingin membuat aku tidak sanggup untuk sekadar menatap matanya. Aku takut untuk terluka lagi, Dimas.
"Kenangan tentang kita akan abadi, Indira," ucapmu sehari sebelum kita berpisah. Perasaan bahagia yang bergemuruh itu membenamkan lautan nestapa. Aku berusaha untuk bersuka cita.
"Ingatlah selalu ketika aku membelai rambutmu saat kita menyaksikan bagaimana matahari pulang ke peraduannya. Amat cantik, bukan?" ujarmu lagi.
Aku terdiam. Lelakiku, bagaimana akan kulalui semua cerita kita jika engkau tidak lagi kembali ke rumah kita. Rumah dengan warna pastel yang dihiasi tanaman kaktus. Engkau sedikit curang, ketika aku ingin menghias rumah dengan bunga lavender, lembut kata kau tolak keinginanku dengan berbagai macam alasan. Hingga hanya kaktus dan scullent yang menjadi hiasan di depan rumah mungil kita.
Dimas, rumah ini menjadi asing bagiku. Rumah dengan warna pastel yang sudah memudar. Rumah dengan segala ingatan tentangmu dan anak-anak rindu yang selalu cemburu meminta perhatianmu. Rumah yang menjadi tempatku berhenti berduka. Rumah yang kini senyap tanpa suara dan senyumanmu.
"Indira, jangan pernah melupakanku. Berjanjilah untuk selalu melukis wajahku di antara mega saat ufuk timur memancarkan cahaya keemasan," pintamu.
Sudah khatam kulakukan, Dimas. Ribuan hari telah kulakukan semua permintaanmu. Kini aku hanya ingin engkau kembali.
Sementara itu, sang lelaki tidak pernah ada kabar beritanya. Entah bersembunyi atau sudah berpindah alam, tiada yang tahu keberadaannya. Sang lelaki tidak juga mengerti jalan pulang. Ia hanya berjalan mengikuti arah mata angin. Bagi Dimas, perpisahan dengan perempuannya amat menyakitkan.
Perpisahan yang sengaja dibuat oleh ibu kandungnya sendiri. Seorang ibu yang tidak ingin anaknya menikah dengan perempuan lain. Seorang ibu yang menyalahgunakan kasih sayang yang terlalu berlebihan. Ia tidak menginginkan anak lelaki satu-satunya menikah dan jatuh cinta pada seorang perempuan selain dirinya.
Kini, Dimas terpasung di sebuah rumah sakit jiwa. Hatinya lelah menanggung kerinduan yang teramat kepada Indira. Perempuan yang sangat dicintainya.
Bogor, 30 April 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI