Mohon tunggu...
Moh. Ashari Mardjoeki
Moh. Ashari Mardjoeki Mohon Tunggu... Freelancer - Senang baca dan tulis

Memelajari tentang berketuhanan yang nyata. Berfikir pada ruang hakiki dan realitas kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kunci Penutup Kontroversi Pelanggaran HAM Berat, pada Keluarga Besar Pak Harto?

7 Oktober 2017   18:00 Diperbarui: 7 Oktober 2017   18:30 1364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

REVOLUSI SPIRITUAL

Pelanggaran HAM berat

Dunia internasional tahu bahwa korban peristiwa pengkhianatan G30S/PKI luar biasa banyak dan sadis. Termasuk seperti ada perlakuan "diskriminasi" negara terhadap mereka yang dicurigai sebagai pengikut orde lama. Bahkan kemudian banyak korban berikutnya yang jelas sangat tidak berkaitan dengan kegiatan PKI. Apa lagi dengan  gestapu?

Mungkin hal demikian bisa terjadi sebagai akibat orba memperlakukan hukum bukan lagi sebagai aturan yang mengikat---harus ditaati, melainkan menjadikan hukum sebagai panglima yang memberi komando untuk menghancurkan dan mematikan semua musuh.

Misalnya saja tentang "misteri" terbunuhnya Marsinah 1992. "Lenyapnya" Wiji Thukul. Peristiwa Kudatuli--27 Juli 1996.

Yang mengerikan adalah pejarahan di pusat-pusat perbelanjaan yang membawa korban-korban hangus terbakar.  Berjatuhan  korban Trisakti dan Semanggi pada reformasi 1998.

Meskipun demikian dengan berbagai argumentasi "Bangsa Indonesia" tampak sangat keberatan disebutan ada pelanggaran HAM berat di negaranya.

Dilema dalam penegakan hukum

Memang sih. "Penguasa" berusaha keras untuk bisa menentukan siapa yang layak harus bertanggung jawab atas setiap tindak kekerasan lewat pengadilan. Karena di N.K.R.I. tidak boleh sembarangan menghukum seseorang. Sehingga pada praktiknya memang pengadilan terpaksa harus benar-benar seperti bisa diatur.

Agaknya seperti ada yang dilematis dalam penegakan hukum. Ada pandangan picik sementara pihak terkait dengan penggunaan kekuasaan pengadilan. Bahwa mengorbankan kepentingan---kebenaran, yang kecil dianggap tidak masalah, jika demi kepentingan yang lebih besar?

Barangkali pandangan demikian berlawanan dengan pandangan yang berkeadilan dalam bernegara. Bahwa kebenaran sekecil apapun tidak boleh diabaikan oleh kepentingan besar mana pun. Dan kepentingan yang besar adalah demi kepentingan orang kecil.

Tindak sewenang-wenang orla dan orba

Tak perlu disangkal bahwa sejak "orla" tindak sewenang-wenang pun sudah dilakukan terhadap mereka yang sangat "usil" atas kebijakan yang ditempuh pemerintah.

Muhtar Lubis pernah di penjara. Begitu pula yang dialami Syahrir, Hamka, Moh. Roem dan yang lain.

Bahkan ada juga seorang Otto Iskandar Dinata tokoh pejuang yang tewas dibunuh oleh preman yang tidak pernah bisa ditangkap. Yang waktu itu mungkin diisukan sebagai sebagai kelompok pasukan hitam.

Mungkin Muhtar Lubis, Syahrir, Hamka, Moh. Roem dan yang lain terpaksa dipenjara karena dianggap sangat mengganggu kewibawaan pemerintah. Dan yang punya ide menangkap pun belum tentu Bung Karno; bisa saja mereka yang dekat dengan Bung Karno yang merasa tidak senang terhadap pandangan dan kritikannya terhadap pemerintah.

Para jenderal negarawan

Hendaknya bisa dimaklumi boleh jadi yang sangat berkepentingan menumpas PKI, DII-TII dan PRRI-PERMESTA adalah para jenderal negarawan yang menyayangi Bung Karno dan mencintai negaranya. Karena para jenderal itu sangat menyadari bahwa Bung Karno adalah sosok putera bangsa yang sangat langka dimiliki oleh bangsa lain di dunia.

PKI, DII-TII dan PRRI-PERMESTA adalah kelompok-kelompok yang berkepentingan merebut kekuasaan dari Bung Karno. Sama seperti halnya dengan negara kolonial yang sangat berkepentingan menjatuhkan Bung Karno.

Para jenderal yang negarawan tersebut juga sangat mengetahui bahwa di kalangan prajuritnya ada yang dipengaruhi oleh PKI, DII-TII maupun PRRI-PERMESTA.

Tindakan sewenang-wenang zaman orla dan orba tidak sama

Tindakan sewenang-wenang yang terpaksa dilakukan negara demi kepentingan negara pada zaman orla; tidak bisa serta merta disamakan untuk kepentingan yang lebih besar seperti di zaman orde baru.

Harus disadari dan diakui bahwa tindak kekerasan yang luar biasa keji memang pernah ada di negeri ini. Dan yang demikian memang perlu diuji bersama oleh segenap elemen bangsa untuk menentukan kelayakan boleh disebut sebagai pelanggaran berat HAM.

Tidak ada salahnya Bangsa Indonesia mawas diri. Menemukan kesalahan diri sendiri. Sehingga presiden bisa makin percaya diri sebagai kepala negara dari bangsa yang jujur karena berani mengakui kesalahan-kesalahan yang disebabkan oleh "kebodohannya" sendiri dalam bernegara.

Minta maaf atas peristiwa G30S/PKI 1965

Sejak Pak Harto melengserkan diri. Di negeri ini mulai diramaikan dengan perdebatan tentang negara sebaiknya minta maaf atas peristiwa G30S/PKI 1965.

Ada pihak yang marah dan ada pihak-pihak yang seperti saling mempojokkan karena permintaan maaf oleh negara dikesankan seperti hanya kepada bekas orang PKI yang merasa tak bersalah tetapi telah dihukum secara kejam tanpa pengadilan.

Kenyataannya. Peristiwa Gestapu---G30S/PKI menyebabkan pengikut PKI, juga pendukung orla dan penentang Pak Harto dibunuh dan disengsarakan oleh orba secara berkepanjangan. Apa lagi PKI juga dikenal jelas sebagai pihak yang selalu memulai bikin onar dengan tidak segan membunuh rakyat, tokoh masyarakat dan pejabat negara di negeri ini.

Barangkali perdebatan mengenai pengakuan bersalah dan permintaan maaf negara atas pelanggaran HAM berat terkait dengan peristiwa Gestapu---G30S/PKI 1965 akan terus menjadi beban sejarah bagi Bangsa Indonesia. Meskipun tidak akan mengganggu langkah bangsa ini membangun masa depan yang tetap menyatu dalam kebangsaan yang bhinneka tunggal ika.

Yang pasti akan selalu menjadi pertanyaan generasi-generasi yang akan datang dalam membaca sejarah dirinya sebagai suatu bangsa: "Siapa yang bersalah dan harus bertanggung  jawab atas terjadinya pelanggaran HAM berat selama orba?" Pantaskah negara atau pemerintah berikutnya tidak bisa menjawab permasalahan yang belum lagi lewat seabad ini?

Negara dan pemerintah tidak perlu harus bertanggung jawab.

Menurut penulis pemerintah atau negara memang tidak perlu harus bertanggung jawab atas semua kejadian yang tidak pantas diulang tersebut yang hanya bisa terjadi pada masa orba.

Dan sangat wajar bila tabiat buruk masa orba untuk sementara masih berpengaruh dan berdampak buruk pada pemerintahan pasca reformasi 1998.

Jangan lupa bahwa selama orba, pemerintah dan juga negara saja sangat takut kepada Pak Harto.

Buktinya? Jangankan parpol. Maaf, para jenderal dan seluruh pejabat negara pun takut terhadap Pak Harto.

Negara-negara tetangga, termasuk AS pun tidak mau bikin Pak Harto marah. Karena boleh dibilang semua punya kepentingan ekonomi dengan Indonesia.

Dan semua negara tahu bahwa Pak Harto ahli membasmi komunis di Indonesia.

Pak Harto dan "kesaktian" supersemar

Di zaman orba. Pak Harto menguasai kekuasaan negara bisa jadi berkat "kesaktian" supersemar yang diberikan oleh Bung Karno;  bukan karena membangun Monumen Kesatian Pancasila dan karena membuat buku Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

MPRS bubar. Maka selesailah MPRS membawa legalitas pembubaran PKI dan menghilangkannya secara abadi. Sehingga secara alami surat ketetapan MPRS No.25 tahun 1966 sudah berlaku abadi yang tidak mungkin bisa dicabut oleh lembaga manapun yang bukan MPRS.

Dalam hal ini yang mungkin perlu direnungkan, siapa sebenarnya yang "sakti?" Supersemar? Yang lahirkan supersemar? Atau yang terima supersemar? Supersemar pun tidak bisa dicabut. Kecuali diserahkan kembali oleh yang menerima kepada yang menurunkan surat sakti itu.

Semua terjadi dengan ulah manusia yang nyata-nyata tak bisa dihindari untuk tidak terjadi. Dan "penyimpangan" pelaksanaan supersemar pun tidak bisa dicegah siapa pun.

Pada zamannya, Pak Harto mungkin saja bisa menyerahkan supersemar kepada MPR RI. Tetapi bisa saja MPR RI menolaknya karena dianggap tidak ada gunanya. Supersemar pemberian Bung Karno sudah menjadi jimat pribadi Pak Harto.

Dengan supersemar ternyata Pak Harto boleh dibilang jadi presiden yang paling hebat di seluruh dunia.

Tidak ada musuh yang berani memusuhi Indonesia---Pak Harto.

Musuh dari dalam pun dibuat tak berkutik. Tidak ada pihak mana pun yang perlu ditakuti Pak Harto.

Pak Harto hanya takut kepada mahasiswa.

Satu-satunya kaum yang mungkin paling ditakuti Pak Harto hanya kaum mahasiswa.

Mahasiswa adalah elemen bangsa yang pernah "membantu" Pak Harto menyingkirkan Bung Karno.

Kekuatan mahasiswa pun pernah dicoba untuk pertama kali melawan orba dengan menggelar peristiwa "malari"---malapetaka 15 Januari 1974, yang membuat Jakarta membara dan memaksa Pak Harto membuat kebijakan-kebijakan khusus diantaranya kawasan kampus harus bebas politik.

Impian Pak Harto untuk masa depan

Yang mungkin perlu direnungkan juga adalah masa depan yang mungkin diimpikan Pak Harto dengan kepemimpinannya yang seperti dipaksakan berlarut-larut. Sehingga mahasiswa dengan dukungan rakyat harus mendemonya secara besar-besaran yang memaksanya untuk turun.

Dengan pikiran secara sederhana penulis menduga bahwa Pak Harto punya hasrat kuat bila tiba saatnya harus lengser. Sebisanya kekuasaan yang digenggam bisa diwariskan paling tidak kepada Mbak Tutut atau kepada Pak Prabowo sang menantu yang seorang perwira tinggi ABRI.

Sayang putra-putri Pak Harto tidak atau kurang dipersiapkan. Dan keburu mahasiswa hilang kesabarannya.

Pelanggaran HAM berat hanya pada zaman orba

Kembali ke persoalan ada atau tidak ada pelanggaran HAM berat di Indonesia. Harus diakui bahwa masalah tersebut hanya terjadi pada masa-masa Pak Harto berkuasa.

Sedang kebrutalan orang PKI terhadap para kyai dan kepada pejabat negara sebelum zaman orba adalah tindak kriminal biasa yang bisa ditangani oleh negara.

Meskipun demikian Pak Jokowi memang harus bersikap tegas, tepat dan pasti adil agar tidak ikut-ikutan sebagai presiden yang terus-terusan digugat oleh para arwah korban bersama sanak keluarganya yang masih hidup dan kabarnya terus "demo" di depan istana setiap hari.

Sangat bisa dipastikan bahwa kebijakan Pak Jokowi dalam masalah ada pelanggaran HAM berat ini akan bertele-tele, ruwet dan menguras tenaga, memerlukan banyak uang dan membuang waktu sia-sia hanya untuk adu argumentasi mencari siapa yang salah dan siapa saja yang menjadi korban.

Pelanggaran HAM bisa tidak membebani negara

Masalah pelanggaran HAM berat di negeri ini bisa tidak menjadi beban negara.

Bila saja putera-puteri Pak Harto atas nama keluarga besar Pak Harto merasa wajib dan harus menjaga kebesaran jiwa dan nama baik Pak Harto sebagai seorang pelaku sejarah yang sangat menentukan warna sejarah negeri ini. Dan yang pasti mereka tidak diragukan bahwa keluarga besar Pak Harto sangat cinta negeri ini.

Maksudnya. Putera-puteri Pak Harto harus bisa menyadari dan mengakui bahwa Pak Harto adalah manusia biasa yang bisa berbuat salah dalam hal apa saja kepada siapa saja. Bahkan berbuat salah kepada keluarga maupun kepada dirinya sendiri.

Apa lagi Pak Harto sebagai seorang presiden pasti sangat bisa berbuat salah kepada rakyatnya. Hal yang demikian adalah yang sangat wajar dalam kehidupan bernegara yang langgeng.

Kesalahan terakhir Pak Harto yang sangat fatal

Menurut penulis. Kesalahan terakhir Pak Harto yang sangat fatal sebagai presiden adalah keputusan untuk mengundurkan diri sebagai presiden mandataris MPR. Pada hal beliau puluhan tahun berpengalaman sebagai presiden dan sudah tahu dengan pasti bahwa pengunduran dirinya sangat berisiko "jangan-jangan akan menimbulkan kerusuhan" kata beliau.

Dan memang benar terjadi kerusuhan luar biasa  di Jakarta dan hampir saja meluas ke kota-kota lain. Karena rakyat seperti tidak rela dengan Pak Harto mundur begitu saja.

Kepada Presiden Jokowi selaku kepala negara. Keluarga besar Pak Harto sebaiknya dengan jiwa besar seperti Pak Harto. Dengan tulus dan rendah hati disertai penyesalan yang dalam. Mengakui bahwa almarhum Pak Harto pribadi sebagai seorang presiden sengaja atau pun tidak sengaja disamping melakukan kewajibannya dengan baik ternyata juga telah banyak kesalahan yang membawa kesusahan bagi rakyat.

Sebagai keluarga muslim yang ditinggalkan, sangat lazim jika harus memikul tanggung jawab atas segala "utang piutang" almarhum yang harus diselesaikan oleh keluarganya. Keluarga besar Pak Harto dipastikan tidak akan berprasangka buruk kepada Presiden Jokowi atas ketulusan hati mereka.

Atas ketulusan hati putera-puteri keluarga besar Pak Harto; Komnas HAM tinggal menindak lanjuti seluruh laporannya dan sangat mungkin Kejaksaan Agung tak perlu repot membawa laporan ke pengadilan. Cukup ke Presiden saja. 

Dan presiden bersama DPR atau MPR RI pasti bisa dengan mudah mengambil putusan negara mengenai pelanggaran HAM berat yang terus digugat dari dalam dan luar negeri.

Di Indonesia. Segala pelanggaran HAM berat masa lalu, pasti bisa selesai dengan benar dan adil karena diselesaikan dengan cara khas Indonesia.

Demikian. Terimakasih kepada yang telah sempat membaca tulisan ini.  Diiringi salam bahagia sejahtera bagi kita semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun