Aku menanam pohon Mahoni itu pada tahun 2015. Tingginya kira-kira satu meter kala itu---rapuh, tegak, dan penuh kemungkinan. Kini, sepuluh tahun berlalu, ia tumbuh miring ke arah utara. Bukan karena kesalahan, bukan karena kelalaian, tapi karena sesuatu yang tak bisa kutentukan: mungkin angin, mungkin cahaya, mungkin tanah yang perlahan bergeser.
Utara bukan arah yang hangat. Ia bukan tempat matahari terbit, bukan tempat matahari tenggelam. Tapi pohon itu condong ke sana, seolah memilih arah yang tak dijanjikan kenyamanan. Setiap pagi, bayangannya menyilang jalan setapak di depan rumah. Tidak sejajar, tidak simetris. Tapi justru dari kemiringannya, aku belajar tentang arah yang tidak dipaksakan---tentang bentuk yang lahir dari tekanan, bukan dari rencana.
Kini, pohon itu menjulang sekitar enam hingga sembilan meter. Tingginya bukan hasil dari garis lurus, tapi dari garis yang condong ke utara. Ia tumbuh sambil melawan gravitasi, menyesuaikan diri dengan angin, cahaya, dan mungkin juga bayangan rumahku sendiri. Setiap meter yang ia capai adalah tahun yang berlalu---dan setiap kemiringan yang ia pilih adalah keputusan yang tak pernah kuambil, tapi tetap kuizinkan.
Di hadapannya, aku belajar bahwa pertumbuhan tidak selalu berarti naik. Kadang ia berarti condong. Kadang ia berarti memilih arah yang tidak populer, tidak nyaman, tapi tetap dijalani. Dan barangkali, dalam kemiringan itu, ada estetika yang tak bisa dijelaskan oleh simetri.
Simetri sebagai Norma, Miring sebagai Tafsir
Dalam banyak kebudayaan, simetri dianggap sebagai tanda keteraturan. Arsitektur klasik dibangun dengan poros tengah yang seimbang; tubuh manusia dinilai ideal jika proporsional; bahkan dalam bahasa, kita cenderung menyukai kalimat yang berimbang. Simetri memberi rasa aman, seolah dunia bisa dikendalikan jika bentuknya teratur.
Namun, kemiringan mengganggu kenyamanan itu. Ia menolak garis tengah, menolak keseimbangan yang dipaksakan. Dalam seni rupa kontemporer, kemiringan menjadi bahasa ekspresi: lukisan yang tidak sejajar, instalasi yang menggantung miring, atau bangunan yang tampak oleng tapi tetap berdiri. Dalam pertanian, ladang di lereng bukit tidak bisa ditanami dengan pola simetris---ia menuntut adaptasi, bukan keseragaman.
Kemiringan bukan cacat. Ia adalah tafsir. Ia menunjukkan bahwa bentuk bisa lahir dari tekanan, bukan dari rencana. Bahwa arah bisa dipilih bukan karena nyaman, tapi karena perlu. Seperti pohon Mahoni di depan rumahku, yang tumbuh miring ke utara bukan karena ingin, tapi karena harus.
Dan barangkali, dalam kemiringan itu, ada keberanian yang tak terlihat: keberanian untuk tetap tumbuh meski tidak lurus, untuk tetap berdiri meski tidak seimbang, untuk tetap menjadi meski tidak sesuai.
Ketidakseimbangan sebagai Proses
Tidak ada kemiringan yang terjadi seketika. Ia lahir perlahan, dari tekanan yang terus-menerus, dari arah angin yang tak selalu sama, dari cahaya yang datang sepihak. Seperti batang pohon yang mencari ruang di antara bayang-bayang, atau akar yang menghindari batu di dalam tanah---ketidakseimbangan adalah hasil dari adaptasi, bukan dari kesalahan.
Dalam hidup, kita pun sering tumbuh miring. Keputusan yang kita ambil tidak selalu lurus. Jalan yang kita tempuh tidak selalu rata. Ada masa ketika kita condong ke arah yang tak kita rencanakan, karena tuntutan, karena kehilangan, atau karena harapan yang berubah bentuk.
Tapi justru di sanalah proses itu menjadi nyata. Ketidakseimbangan memaksa kita untuk menyesuaikan, untuk merakit ulang, untuk menemukan bentuk baru yang tidak diajarkan oleh simetri. Ia bukan gangguan, tapi dinamika. Ia bukan cacat, tapi jejak waktu.
Pohon Mahoni itu tidak tumbuh miring karena lemah. Ia tumbuh miring karena kuat. Karena ia memilih bertahan, bukan roboh. Dan barangkali, dalam hidup pun begitu: kita tidak selalu tumbuh ke atas, tapi kita tetap tumbuh.
Estetika Miring dan Penutup
Dalam dunia yang mengagungkan kesempurnaan, kemiringan sering dianggap sebagai gangguan. Tapi dalam seni, dalam alam, dan dalam hidup, justru bentuk-bentuk yang tidak simetris itulah yang paling jujur. Kain tenun yang tidak rata, lukisan yang tidak sejajar, narasi yang tidak kronologis---semuanya menyimpan karakter yang tidak bisa ditiru oleh pola yang sempurna.
Kemiringan adalah estetika dari ketidaksesuaian. Ia menunjukkan bahwa keindahan bisa lahir dari tekanan, dari adaptasi, dari keberanian untuk tidak menyerupai. Ia bukan bentuk yang gagal, tapi bentuk yang bertahan.
Pohon Mahoni di depan rumahku adalah bukti itu. Ia tidak tumbuh seperti yang kubayangkan, tapi ia tetap tumbuh. Ia tidak lurus, tapi ia tetap menjulang. Dan setiap kali aku memandangnya, aku diingatkan bahwa hidup tidak harus simetris untuk menjadi bermakna.
Barangkali, kita semua adalah pohon-pohon yang tumbuh miring.
Bukan karena lemah, tapi karena kita memilih arah yang tak dijanjikan kenyamanan---dan tetap bertahan di sana.
Kemiringan bukan kelemahan. Ia adalah jejak waktu, arah yang dipilih, dan bentuk yang lahir dari tekanan. Dalam dunia yang tergesa menilai, tumbuh miring adalah bentuk keberanian yang sunyi. Dan barangkali, dalam kemiringan itulah kita menemukan versi paling jujur dari diri kita sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI