Suci: "Tidurlah. Tapi biarkan kulitmu bicara dulu."
Ia mendekat. Memeluknya dengan dada, bukan tangan. Bibirnya menyentuh leher Raka seperti mencari denyut memo lama yang masih hangat. Mereka berbaring. Tidak seperti pasangan, tapi seperti dua garis yang akhirnya berani bertemu di tengah---di kamar hotel yang diam-diam menyimpan suara langkah tamu tahun '96 dan aroma kimchi dari teknisi Korea.
Lampu kamar tidak dimatikan. Seprai menyerap kehangatan, bukan deskripsi. Mereka tidak bercinta sebagai aksi, tapi sebagai tubuh memo yang akhirnya diberi ruang. Dalam diam, gerakan terjadi: bukan goyangan, tapi perpindahan napas. Bantal berganti tempat. Parfum kayu manis terbuka tanpa dipakai.
Suci: "Kita jangan bicara tentang esok. Biarkan malam ini jadi tempat terakhir napas kita bertanya."
Raka: "Esok selalu ada. Tapi tubuh kita hanya di sini malam ini."
Waktu berjalan pelan. Pukul tiga pagi, Suci tertidur di sisi kiri ranjang. Rambutnya menyentuh bahu Raka. Ia tidak bergerak, hanya mengusap memo lama yang kini terlipat di antara dua bantal.
Cahaya kamar belum mati. Di luar, Serayu mengalir tanpa suara. Tapi tubuh mereka sudah menyatu dalam sejarah baru.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI