Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Neng

17 Oktober 2025   12:49 Diperbarui: 17 Oktober 2025   12:49 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ia berdiri di bawah langit senja,
 garis tubuhnya melengkung seperti doa yang tak selesai.
 Cahaya menelusuri kulit sunda-nya pelan---
 bukan memantul, tapi berbisik.

Aku menatap, terlalu lama,
 sampai waktu terasa malu lewat di antara kami.
 Setiap inci lekuk itu berkata,
 "lihat, tapi jangan sentuh."

Ia bukan cuma cinta, bukan pula hanya estetika, tapi sakral. Ia adalah rahasia yang bersinar.
 Seindah dosa pertama yang tak ingin ditebus,
 sehalus keheningan antara napas dan nadi.

Aku hanya bisa berdiri,
 terpaku di tepi garis sempurna itu---
 karena menyentuhnya terasa tabu,
 tapi tidak melihatnya adalah penderitaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun