Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Otopsi Sebuah Bangsa Pintar yang Tidak Cerdas

5 Juni 2025   11:58 Diperbarui: 5 Juni 2025   11:58 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Otopsi Sebuah Bangsa Pintar yang Tidak Cerdas

Abstrak

Indonesia dikenal sebagai negeri yang kaya sumber daya alam, berlimpah penduduk muda, dan memiliki sistem pendidikan formal yang menjangkau hingga pelosok. Namun, di balik gemerlap statistik tersebut, terdapat ironi struktural: ribuan sarjana, magister, bahkan lulusan luar negeri justru menjadi pengemudi ojek daring, pedagang kaki lima, atau menganggur sepenuhnya. Lagu Sarjana Muda karya Iwan Fals pada tahun 1981 menjadi epitaf awal dari masalah klasik yang hingga kini belum terpecahkan.

Esai ini menyajikan kritik tajam dan refleksi sistemik terhadap kegagalan Indonesia dalam menyinkronkan pendidikan, pembangunan ekonomi, dan tata kelola negara. Dengan pendekatan interdisipliner dan berbasis data, tulisan ini menelusuri akar masalah dan membandingkan variabel-variabel kunci yang menyebabkan Indonesia tertinggal dari negara-negara seperti RRC, UEA, Singapura, dan India---negara-negara yang pada dekade 60--80an memiliki kondisi awal relatif serupa. Esai ini sekaligus mengajak pembaca untuk memahami bahwa kecerdasan bangsa tidak diukur dari seberapa banyak ijazah yang dicetak, tetapi dari seberapa mampu bangsa itu memetakan realitas, merancang masa depan, dan mewujudkannya.

Latar Belakang: Bangsa Sarjana, Negara Banyak Pengangguran

"Engkau sarjana muda

Resah mencari kerja

Mengandalkan ijasahmu

Empat tahun lamanya

Bergelut dengan buku

'Tuk jaminan masa depan

Langkah kakimu terhenti

Di depan halaman sebuah Jawatan"
 --- Iwan Fals, Sarjana Muda (1981)

Empat dekade berlalu sejak lagu itu dirilis, namun kenyataannya masih stagnan---bahkan mungkin memburuk. Tahun 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat lebih dari 1 juta lulusan pendidikan tinggi menganggur, sebagian besar dari mereka berasal dari kelompok usia produktif. Sebuah survei daring oleh Katadata (2023) menunjukkan bahwa 42% dari lulusan S2 di Indonesia tidak bekerja sesuai bidang keahliannya, dan sebagian terpaksa bekerja di sektor informal seperti pengemudi ojol, penjual daring, atau pekerja lepas dengan upah rendah.

Ironisnya, Indonesia terus membanggakan indeks pendidikan, program beasiswa, dan gelar akademik tanpa mempertanyakan mengapa sistem ini gagal menciptakan ekosistem produktif dan mandiri. Kita hidup di negara yang bangga dengan jumlah profesor, tapi gagap membuat inovasi berdampak; bangga punya banyak perguruan tinggi, tapi tidak memiliki arah industrialisasi yang jelas.

Lalu, mengapa negara sebesar dan sekompleks Indonesia masih tampak jalan di tempat, sementara Tiongkok menciptakan Shenzhen sebagai pusat teknologi dunia, India mengekspor insinyur dan teknolog ke Silicon Valley, UEA membangun kota masa depan di padang pasir, dan Singapura mengubah keterbatasan lahannya menjadi keunggulan global?

Esai ini akan menguliti dengan pisau analisis sistemik dan komparatif. Kita akan mencari otot, saraf, bahkan luka dalam dari sistem Indonesia: mengapa bangsa pintar ini tak kunjung menjadi cerdas?

OUTLINE

I. Pendahuluan

Kutipan dan refleksi dari Sarjana Muda sebagai pembuka historis.

Statistik pengangguran lulusan pendidikan tinggi.

Pernyataan tesis: Indonesia menderita "cacat desain sistemik" yang menyebabkan disparitas antara pendidikan, lapangan kerja, dan arah pembangunan nasional.

II. Pendidikan Tinggi: Mencetak Ijazah, Bukan Solusi

Evolusi sistem pendidikan dari Orde Baru ke Reformasi: kuantitas versus kualitas.

Kurikulum kaku dan tidak adaptif terhadap zaman.

Kesaksian alumni: "Belajar 5 tahun, bekerja serabutan."

Data: Rasio ketidaksesuaian lulusan dan kebutuhan kerja (data BPS dan World Bank).

III. Negara Tanpa Desain: Kebijakan Tak Tersinergi

Fragmentasi lembaga dan disharmoni antar-kementerian.

Ketidakhadiran masterplan lintas rezim.

Studi kasus: Kementerian Pendidikan vs Dunia Industri.

Kutipan: Yuval Noah Harari, soal pentingnya sistem lintas waktu dan keberlanjutan visi.

IV. Komparasi Internasional: Belajar dari Negara yang Serius

RRC: Kebijakan 100 tahun, industrialisasi berbasis pendidikan teknis.

India: Ekspor SDM berbasis STEM dan digitalisasi.

UEA: Transformasi ekonomi dari minyak ke inovasi.

Singapura: Pendidikan vokasional berkualitas tinggi + arah industri jelas.

Variabel pembeda: konsistensi, meritokrasi, dan kejelasan arah nasional.

V. Variabel Penentu Kemacetan Kemajuan Indonesia

Budaya simbolik, bukan substantif.

Korupsi dan feodalisme dalam birokrasi dan kampus.

Absennya riset, evaluasi sistem, dan kebijakan berbasis data.

Kegagalan membangun ekosistem: pendidikan, industri, dan inovasi berjalan sendiri.

VI. Rekomendasi Sistemik: Menciptakan Bangsa yang Cerdas, Bukan Sekadar Pintar

Desain ulang ekosistem pendidikan-kerja-inovasi.

Pendidikan berbasis problem solving dan adaptif.

Kebijakan berbasis evidence dan kajian lintas sektor.

Roadmap 100 tahun pembangunan SDM dan ekonomi inklusif.

VII. Penutup: Indonesia Harus Belajar dari Cermin Retaknya Sendiri

Refleksi akhir: jika Indonesia ingin keluar dari status "gap sistemik" antara pendidikan dan industri, ia harus belajar bukan hanya dari negara lain, tapi dari kejujuran pada kegagalan dirinya sendiri.

Kutipan penutup: "Kecerdasan sejati bukan terletak pada seberapa tinggi nilai ujian, tapi pada seberapa mampu menghadapi realitas."

I. Pendahuluan

A. "Empat tahun lamanya jadi sarjana..."---Refleksi dari Lagu Sarjana Muda

Dalam senyapnya arus sejarah Indonesia yang konon sedang menuju "emas 2045", ada satu bait lagu yang tak lekang oleh waktu. Iwan Fals, dengan suara seraknya yang khas, menggambarkan sosok muda dengan jaket lusuh berjalan menyusuri jalan dengan langkah gontai. Ia bukan gelandangan, melainkan sarjana muda---simbol ironi dari negeri yang memuliakan ijazah namun menelantarkan pemiliknya. Lagu Sarjana Muda bukan sekadar karya seni, melainkan saksi zaman---pengingat kolektif bahwa problem pengangguran lulusan pendidikan tinggi bukan masalah baru, melainkan penyakit kronis yang diwariskan dari rezim ke rezim.

Kita kerap merayakan wisuda dengan gegap gempita. Kamera-kamera ponsel menyorot toga dan selempang cumlaude, sementara senyum orang tua tumpah dalam kebanggaan. Namun apa yang terjadi setelah itu? Ribuan lulusan berakhir bukan di ruang konferensi atau laboratorium penelitian, melainkan di balik kemudi ojek online, kasir toko ritel, atau malah duduk menganggur di rumah dengan gelar master. Dalam diam mereka membawa luka yang tak terlihat: harapan yang dikubur hidup-hidup oleh sistem yang tak pernah sungguh-sungguh merancang masa depan mereka.

B. Statistik: Potret Kelam Bangsa Berpendidikan Tapi Tak Bekerja

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menyebutkan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada lulusan diploma dan sarjana mencapai 8,6% dan 6,2%, jauh lebih tinggi dibanding lulusan SD yang hanya sekitar 2,5%. Bahkan ironisnya, ada lebih dari 800.000 lulusan S1 dan S2 yang belum bekerja atau bekerja tidak sesuai bidangnya. Sebagian dari mereka lulusan luar negeri dengan predikat tinggi, namun kembali ke tanah air hanya untuk disambut dengan kalimat klasik: "Belum ada lowongan yang sesuai." Apakah mereka tidak cukup pintar? Atau memang sistem yang terlalu dangkal untuk menampung kecerdasan yang dilahirkannya sendiri?

Lebih menyakitkan lagi, World Bank dalam laporan tahun 2022 menyoroti bahwa Indonesia adalah negara dengan salah satu mismatch (ketidaksesuaian) tertinggi antara skill lulusan dan kebutuhan industri di Asia Tenggara. Lulusan sarjana teknik bekerja sebagai customer service, lulusan pendidikan menjadi tenaga marketing, dan para pemegang gelar ekonomi justru sibuk membuka warung kopi. Ini bukan sekadar pengangguran, melainkan gejala disorientasi nasional.

C. Tesis: Cacat Desain Sistemik dalam Bangsa Berijazah Tinggi

Indonesia tidak kekurangan orang pintar, tetapi terjebak dalam cacat desain sistemik yang membuatnya gagal menjadi bangsa yang cerdas. Pendidikan berjalan sendiri, ketenagakerjaan berlari ke arah yang lain, sementara pembangunan nasional lebih sibuk mengejar pertumbuhan PDB ketimbang kesejahteraan manusia. Disparitas antara institusi pendidikan, realitas pasar kerja, dan arah pembangunan nasional merupakan bukti nyata dari dislokasi kebijakan. Ini bukan soal ketidaktahuan, tetapi soal ketidakmauan untuk menyelaraskan kebijakan secara integral dan berorientasi jangka panjang.

Esai ini akan membedah secara kritis bagaimana cacat desain itu terbentuk, mengapa ia dipertahankan, dan bagaimana dampaknya merusak generasi muda serta memperlambat laju kemajuan bangsa. Jika Tiongkok melompat lewat integrasi riset dan industri, Singapura melesat dengan meritokrasi yang terarah, dan India bangkit dengan ekosistem teknologi dan pendidikan yang terhubung, Indonesia justru tersendat dalam pusaran birokrasi, politisasi pendidikan, dan deviasi arah pembangunan.

Melalui otopsi sistemik ini, kita tidak sekadar mengkritik, tetapi menuntut perubahan paradigma: bahwa bangsa yang mencetak sarjana seharusnya juga menciptakan jalan bagi kecerdasannya untuk hidup, bukan sekadar untuk bertahan.

II. Pendidikan Tinggi: Mencetak Ijazah, Bukan Solusi

A. Evolusi Sistem Pendidikan dari Orde Baru ke Reformasi: Kuantitas versus Kualitas

Sejarah pendidikan Indonesia modern, terutama sejak era Orde Baru, bagaikan pabrik besar yang sibuk mencetak produk bernama ijazah. Di masa itu, pendidikan dijadikan alat legitimasi kemajuan. Pembangunan sarana fisik sekolah digenjot, kampus negeri dan swasta menjamur, dan jargon "manusia pembangunan" menjadi semacam mantra resmi negara. Namun di balik kemegahan statistik itu, sebuah persoalan serius mulai tumbuh diam-diam: produksi manusia terdidik yang tidak dibarengi dengan pendalaman makna pendidikan itu sendiri.

Di bawah komando teknokratis Orde Baru, pendidikan dijalankan dengan pendekatan sentralistik dan mekanistik. Siswa dan mahasiswa dilatih untuk menghafal, patuh, dan mengejar nilai, bukan untuk berpikir kritis, mandiri, atau menciptakan solusi. Kurikulum bersifat normatif dan ideologis; guru menjadi kepanjangan tangan negara, bukan fasilitator kemandirian intelektual. Maka tak heran jika banyak lulusan yang, meskipun memiliki gelar akademik, gugup ketika dihadapkan pada dunia nyata---terutama ketika dunia itu menuntut kreativitas, kolaborasi lintas disiplin, dan adaptasi cepat terhadap perubahan.

Memasuki era Reformasi, euforia demokratisasi membuka ruang desentralisasi pendidikan. Otonomi kampus diperluas, dan peluang pendirian universitas swasta dibuka selebar-lebarnya. Namun perubahan ini, alih-alih meningkatkan mutu, justru melahirkan ledakan kuantitas tanpa pengawasan kualitas yang memadai. Menurut data Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) tahun 2023, Indonesia memiliki lebih dari 4.600 perguruan tinggi, menjadikannya salah satu negara dengan jumlah institusi pendidikan tinggi terbanyak di dunia---tetapi tanpa korelasi langsung dengan kualitas output-nya.

Banyak kampus berdiri lebih karena kepentingan bisnis dan politik lokal daripada misi keilmuan. Di beberapa daerah, universitas bahkan menjadi proyek dinasti: ijazah dijual secara implisit, penelitian hanya formalitas, dan akreditasi bisa dinegosiasikan. Mahasiswa tak lagi dibentuk untuk berpikir, tapi dilatih untuk lulus cepat, cari kerja, dan masuk sistem---yang sayangnya, sistem itu sendiri tidak siap menerima mereka. Maka pendidikan tinggi berubah menjadi ritual tahunan: daftar, kuliah, skripsi, wisuda, lalu frustrasi.

Lebih menyedihkan, pergeseran orientasi pendidikan dari "membentuk manusia" menjadi "mencetak tenaga kerja" membuat ilmu kehilangan dimensi filosofis dan etikanya. Sains diajarkan tanpa kesadaran akan tanggung jawab sosialnya, teknologi tanpa konteks kemanusiaannya, dan ekonomi tanpa kritik terhadap ketimpangan struktural. Maka jadilah kita bangsa dengan banyak sarjana tapi sedikit pemikir, banyak lulusan tapi minim pemimpin transformasional.

Inilah akar dari paradoks pendidikan Indonesia: semakin banyak yang bersekolah tinggi, tapi semakin banyak pula yang terjebak dalam kekecewaan sistemik. Negara menganggap pendidikan sebagai investasi, tapi gagal membangun sistem yang bisa mengembalikan dividen dari investasi itu. Kita telah mengubah pendidikan menjadi ritual prestise sosial, bukan jalur pembebasan struktural. Di sinilah awal mula dodolisme sistemik itu---ketika kita mendidik demi peta jalan yang tak pernah kita siapkan.

"Pendidikan bukan sekadar mencetak manusia untuk bekerja. Ia harus membentuk manusia yang mampu menciptakan pekerjaan, dan lebih dari itu, menciptakan makna."
 ---Prof. Anies Baswedan, dalam orasi ilmiah, 2010.

B. Kurikulum Kaku dan Tidak Adaptif terhadap Zaman

Jika pendidikan adalah kapal yang membawa generasi ke masa depan, maka kurikulum adalah kompasnya. Sayangnya, kompas pendidikan Indonesia selama puluhan tahun ini seperti rusak --- berputar di tempat, tidak menunjuk ke arah zaman yang berubah dengan radikal.

Kurikulum di Indonesia lebih sering lahir dari meja birokrasi ketimbang dari pergulatan pemikiran lintas bidang. Ia dikendalikan oleh regulasi pusat yang cenderung melihat pendidikan sebagai alat stabilisasi sosial-politik, bukan alat transformasi sosial-ekonomi. Alhasil, setiap perubahan kurikulum bukan berangkat dari perubahan kebutuhan zaman, melainkan dari pergantian menteri atau orientasi politik sesaat. Kurikulum 1994, KBK 2004, KTSP 2006, Kurikulum 2013, Merdeka Belajar---semuanya seperti tambalan pada kain tua yang sobeknya terus melebar.

Kekakuan ini nyata dalam banyak hal. Kurikulum masih sangat berbasis pada konten, bukan kompetensi. Anak-anak dijejali materi yang sering kali tak relevan dengan realitas hidup mereka. Siswa SMP masih harus menghafal jenis batuan sedimen dan metamorf, sementara dunia luar bicara tentang AI, iklim ekstrem, dan quantum computing. Mahasiswa masih harus menulis skripsi teoretis yang tidak dibaca siapa pun, alih-alih membuat proyek nyata yang berdampak bagi masyarakat. Dunia kerja menuntut literasi digital, kemampuan berpikir kritis, dan komunikasi lintas budaya---sementara sekolah mengajarkan rumus luas permukaan tabung dengan hafalan kosong.

Keterputusan antara isi kurikulum dan kebutuhan riil ini ditegaskan dalam laporan World Economic Forum 2023, yang menyebutkan bahwa lebih dari 55% lulusan pendidikan tinggi di Indonesia tidak siap menghadapi pekerjaan masa depan karena rendahnya kompetensi abad ke-21: critical thinking, problem solving, dan collaboration. Dalam laporan McKinsey Indonesia 2020, ditemukan pula bahwa mayoritas lulusan universitas masih memiliki skill gap signifikan dalam bidang digital, komunikasi, dan inovasi.

Parahnya, pendekatan pedagogis pun masih cenderung satu arah. Siswa pasif menerima; guru aktif mendikte. Kelas bukan ruang dialog, tapi panggung penghafalan. Tak heran jika kreativitas anak muda Indonesia kerap membuncah di luar sekolah---di komunitas, media sosial, atau bahkan jalanan---karena ruang sekolah terlalu sempit untuk imajinasi mereka.

Seorang mahasiswa alumni S1 teknik dari kampus negeri ternama yang kini menjadi pengemudi ojol menyatakan dalam wawancara anonim:

"Saya bisa bikin model termodinamika, tapi nggak tahu cara menjual diri di dunia kerja. Nggak ada yang ngajarin kami bagaimana menghadapi kenyataan. Semua soal ujian, bukan soal hidup."

Testimoni ini bukan kasus tunggal. Ia mewakili puluhan ribu suara senyap yang telah dijebak oleh sistem yang tidak memberi mereka alat untuk berenang di lautan disrupsi. Pendidikan kita terlalu lama menjadikan masa depan sebagai ceramah, bukan sebagai realitas yang harus dijinakkan sejak dini.

Lebih tragis lagi, ketika kurikulum akhirnya mencoba berubah melalui program Merdeka Belajar, banyak guru yang justru kebingungan tanpa pelatihan yang memadai. Inovasi berhenti di PowerPoint, bukan di kelas nyata. Zaman berubah cepat; sekolah masih menunggu juknis.

Di sinilah benih ketertinggalan struktural Indonesia dari bangsa-bangsa seperti Singapura, Tiongkok, atau India yang sudah menanamkan kurikulum berbasis masa depan sejak satu dekade lalu. Mereka merancang pendidikan untuk menumbuhkan pencipta teknologi dan pemimpin global; kita masih berkutat pada definisi klasik tentang "berprestasi" versi UN dan ranking rapor.

"Kurikulum yang tidak adaptif adalah seperti jam tua yang tetap berdetak, tapi tak lagi menunjukkan waktu yang benar."

C. AI Semakin Membantai Lulusan S1 dan S2 dari Landscape Industri

Artificial Intelligence (AI) tak lagi sekadar jargon futuristik, melainkan kini menjadi rekruter, analis, akuntan, bahkan penulis yang tak tidur, tak protes, dan tak digaji. Menurut laporan McKinsey Global Institute (2017), lebih dari 600 juta pekerjaan di dunia akan terdampak otomatisasi hingga 2030, dan Indonesia termasuk 10 besar negara dengan risiko tertinggi bagi lulusan berpendidikan menengah ke atas.

Pekerjaan seperti data entry, akuntansi dasar, analis laporan, hingga pengajaran standar mulai diambil alih oleh sistem otomatis. Bahkan posisi yang dahulu dianggap aman oleh lulusan S2 seperti peneliti, dosen, dan staf ahli, kini mulai dilibas oleh sistem berbasis large language models dan AI multimodal.

Studi World Bank tahun 2022 mencatat bahwa hanya 12% lulusan S1 di Indonesia yang bekerja sesuai bidang studinya dalam 2 tahun pertama pasca kelulusan. Sementara sisanya terombang-ambing: menjadi freelancer, admin medsos, atau pekerja serabutan, bersaing dengan sistem otomatis yang lebih murah dan presisi.

Contoh nyata dapat kita temui di lapangan. Seorang lulusan S2 Manajemen dari universitas ternama, kini menjadi guru honorer bergaji 3 juta rupiah di kota kabupaten, mengaku kalah cepat dari platform analitik otomatis. Sementara itu, seorang lulusan S1 Teknik Informatika justru memilih mengojek online karena kalah bersaing dengan generasi bootcamp yang lebih lincah, murah, dan pragmatis.

Ironi ini menunjukkan bahwa gelar akademik tak lagi menjamin keunggulan kompetitif, jika sistem pendidikan tidak adaptif terhadap perubahan teknologi. Dunia kerja tidak menunggu gelar; ia memilih solusi yang paling efisien. Dan AI, dengan kecepatan belajar eksponensial, telah menjadi "lulusan abadi" yang tak bisa ditandingi hanya dengan transkrip dan toga.

Inilah saatnya untuk berhenti meninabobokan bangsa dengan ijazah. Karena dunia kerja hari ini tidak peduli pada nilai IPK-mu, tapi pada kemampuanmu bertahan di lanskap yang terus berubah---dan semakin dikuasai mesin.

D. Kesaksian Alumni: "Belajar 5 Tahun, Bekerja Serabutan"

Jika diibaratkan pohon, pendidikan tinggi adalah cabang tertinggi dari sistem pendidikan, tempat harapan rakyat digantungkan. Orang tua membanting tulang, berutang, bahkan menjual sawah demi satu ijazah anaknya. Ijazah itu, katanya, adalah tiket menuju mobilitas sosial. Namun, ribuan lulusan hari ini mendapati bahwa tiket itu sudah tidak berlaku di gerbang kehidupan nyata.

"Saya kuliah 5 tahun, ambil teknik industri. IPK saya 3,65. Tapi sekarang saya kerja serabutan. Pagi jadi ojek online, sore ngajar les privat. Kerja tetap nggak ada. Lowongan yang relevan selalu butuh pengalaman, padahal saya fresh graduate. Yang lebih nyesek, rekruternya lebih muda dari saya." --- Adit, 27 tahun, lulusan universitas negeri ternama, Jakarta

Testimoni seperti Adit bukanlah anomali, melainkan fenomena struktural. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2023, tingkat pengangguran terbuka (TPT) untuk lulusan diploma dan sarjana mencapai 6,15%, lebih tinggi dibanding lulusan SMA (5,76%) dan SMP (5,05%). Ironi ini memukul logika awam: semakin tinggi sekolah, semakin besar risiko menganggur.

Mengapa bisa begini? Karena sistem kita tidak membekali mahasiswa dengan daya saing sejati, hanya dengan tumpukan teori. Mereka tamat kuliah sebagai teknokrat tanpa pasar, akademisi tanpa lapangan, intelektual tanpa jejaring. Di ruang kuliah, mereka dihargai karena mampu menjawab soal; di luar sana, mereka ditolak karena tak tahu cara menyusun portofolio, menyampaikan ide, atau sekadar menjawab wawancara dengan percaya diri.

"Saya S2 dari Australia. Balik ke Indonesia, melamar ke banyak perusahaan, ditolak semua. Akhirnya saya buka jasa penulisan CV online. Miris, saya yang menulis lamaran kerja orang lain, tapi lamaran saya sendiri tidak pernah dibalas." --- Nina, 31 tahun, lulusan luar negeri, kini freelancer

Kisah seperti Nina dan Adit mengungkap "paradoks kemajuan" dalam pendidikan Indonesia: produksi intelektual meningkat, tetapi utilisasinya stagnan. Negara terus mencetak lulusan, tapi tidak menumbuhkan ekosistem produktif yang bisa menyerap mereka. Industri malas merekrut karena merasa lulusan tidak siap. Lulusan kecewa karena merasa negara tidak menyediakan ruang. Di tengah kekosongan itu, banyak yang menyulap kecerdasan menjadi bertahan hidup.

Dari sudut pandang sosiologis, fenomena ini menimbulkan kekecewaan kelas menengah yang sangat rawan berubah menjadi apatisme sosial, bahkan radikalisasi politik. Ini bukan sekadar soal ekonomi, tapi juga psikologi kolektif bangsa yang kehilangan orientasi.

"Kami ini generasi pasca-reformasi. Dulu kami diajari, rajin belajar akan membuat hidup kami lebih baik dari orang tua kami. Tapi sekarang kami tahu, itu semua bohong."
 --- Yulia, 25 tahun, lulusan Ilmu Sosial, kini penjual kue online

Pendidikan seharusnya membuka masa depan, bukan menggemboknya. Namun dalam sistem kita yang cacat desain, pendidikan justru menciptakan generasi sarjana yang terasing dari pasar kerja, dan lebih buruk lagi, terasing dari dirinya sendiri.

"Engkau sarjana muda, Resah tak dapat kerja, Tak berguna ijazahmu..." --- Iwan Fals, "Sarjana Muda" (1981)

Lagu ini tetap relevan, bahkan 43 tahun setelah pertama kali dirilis. Bukankah itu ironi sejarah yang pahit, bahwa sistem yang sama masih mengulang luka yang sama, pada generasi yang berbeda?

E. Data: Rasio Ketidaksesuaian Lulusan dan Kebutuhan Kerja

"Indonesia adalah pabrik ijazah, tapi bukan pabrik lapangan kerja."

Ungkapan itu bukan sekadar satire, tapi cerminan statistik. Dalam dunia ketenagakerjaan, terdapat istilah teknis yang semakin mengganggu fondasi pembangunan bangsa: mismatch -- atau ketidaksesuaian antara kompetensi lulusan dan kebutuhan dunia kerja. Dan Indonesia mencatat angka mismatch tertinggi di kawasan ASEAN.

Menurut data World Bank (2023), lebih dari 55% lulusan pendidikan tinggi di Indonesia bekerja di sektor yang tidak sesuai dengan bidang studi mereka. Bahkan, laporan itu menyebutkan bahwa hanya 13% lulusan perguruan tinggi yang bekerja di bidang yang benar-benar relevan dengan kompetensi akademik yang mereka pelajari. Ini artinya, hampir 9 dari 10 sarjana di Indonesia tidak menggunakan secara langsung ilmu yang dipelajarinya selama bertahun-tahun.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengkonfirmasi ini. Pada laporan Profil Angkatan Kerja Indonesia 2023, disebutkan bahwa:

Tingkat ketidaksesuaian pendidikan dan jenis pekerjaan mencapai 62,54%.
Di sektor informal seperti perdagangan dan jasa transportasi, lulusan perguruan tinggi mendominasi pekerjaan non-kognitif, seperti kasir, pengemudi, penjaga toko, bahkan admin media sosial freelance.
Sementara itu, industri manufaktur dan teknologi---yang seharusnya menjadi penopang utama sektor produktif---justru kekurangan talenta terampil yang sesuai kebutuhan.
Lebih mencengangkan lagi, studi dari McKinsey & Company (2022) menyebut bahwa Indonesia akan kekurangan 9 juta tenaga kerja terampil digital hingga 2030, meskipun setiap tahun Indonesia meluluskan lebih dari 1 juta sarjana baru. Ini bukan hanya soal jumlah, tapi soal jenis keterampilan: kita mencetak lulusan, tapi tidak dengan kompetensi yang dibutuhkan industri masa depan.

"Kami sering kesulitan merekrut talenta lokal karena lulusan universitas belum siap kerja. Mereka bisa menjelaskan teori dengan baik, tapi tidak bisa menerapkannya. Maka kami rekrut dari luar negeri, meski biayanya lebih mahal." --- HR Manager, perusahaan teknologi nasional (dalam survei World Bank, 2023)

Inilah bentuk paradoks akut yang menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia dan dunia kerja seperti dua rel kereta yang tidak pernah bertemu. Mahasiswa dididik dalam ekosistem kampus yang bercorak teoritis, linear, dan konservatif, sementara industri bergerak dalam ritme cepat, adaptif, dan penuh disrupsi. Hasilnya adalah jurang dalam antara "yang bisa" dan "yang dibutuhkan".

"Kalau dulu sekolah supaya tidak jadi kuli. Sekarang sarjana pun jadi kuli." --- Ungkapan satir yang viral di media sosial

Di sinilah letak kegagalan desain sistemik: negara membangun institusi pendidikan tanpa membangun ekosistem pasca-pendidikan. Perguruan tinggi berdiri megah, tetapi hilang arah. Jurusan-jurusan eksotis terus dibuka tanpa riset kebutuhan industri. Sementara perusahaan, alih-alih menunggu lulusan lokal, justru menyiapkan pelatihan internal bagi fresh graduate agar 'dilatih ulang'.

Jika pendidikan adalah jalan tol menuju kemajuan, maka Indonesia sedang membangun jalan yang ujungnya buntu. Dan para lulusannya, tak lebih dari pengemudi yang tersesat di tengah sistem yang tidak tahu ke mana akan pergi.

"Kami dididik menjadi pahlawan pembangunan, tapi saat lulus, kami menjadi penonton dari pembangunan yang tidak melibatkan kami." --- Rino, lulusan Teknik Sipil, bekerja sebagai staf marketing

III. Negara Tanpa Desain: Kebijakan Tak Tersinergi

A. Fragmentasi Lembaga dan Disharmoni Antar-Kementerian

Bayangkan sebuah orkestra besar, terdiri dari puluhan musisi berbakat, masing-masing memegang alat musiknya dengan cemerlang---namun tanpa konduktor, tanpa partitur bersama, dan tanpa satu tujuan musikal yang jelas. Itulah potret kebijakan nasional kita: fragmen-fragmen kebijakan dari berbagai kementerian yang berjalan sendiri-sendiri, sering kali saling tabrak, bahkan saling membatalkan.

Di atas kertas, Indonesia tampak memiliki semua instrumen pembangunan: Kementerian Pendidikan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Investasi, dan sederet badan lainnya. Namun dalam praktiknya, masing-masing lembaga seperti hidup dalam semesta paralel yang jarang bersinggungan. Tidak ada ekosistem yang sungguh-sungguh terintegrasi.

Contoh paling nyata dapat ditemukan dalam hubungan antara dunia pendidikan dan kebutuhan dunia industri. Saat Kementerian Pendidikan sibuk mendorong Merdeka Belajar dengan kurikulum fleksibel, dunia industri di bawah naungan Kementerian Perindustrian atau BKPM masih beroperasi dengan logika efisiensi semata, sering kali lebih memilih tenaga kerja murah daripada mengembangkan SDM lokal. Kementerian Ketenagakerjaan pun kadang berbicara tentang pelatihan vokasional tanpa basis data konkret atas jenis pekerjaan yang akan tumbuh 5--10 tahun ke depan.

Fragmentasi ini menghasilkan program pelatihan yang tidak relevan, lulusan pendidikan tinggi yang tersesat dalam sistem, dan kebijakan ekonomi yang gagal menyerap potensi intelektual bangsa. Misalnya, lulusan politeknik didorong oleh Kemdikbud, tapi tidak ada jaminan dari kementerian lain bahwa mereka akan diprioritaskan dalam transformasi industri. Di saat yang sama, Kementerian Kominfo menggelontorkan dana pelatihan digital, namun tanpa sinergi dengan dunia pendidikan formal dan tanpa integrasi dalam kebijakan jangka panjang SDM nasional.

Akibatnya? Overlapping kebijakan, pemborosan anggaran, dan yang paling tragis: kebingungan rakyat.

Tak jarang satu kementerian meluncurkan program digitalisasi pendidikan, sementara kementerian lain justru mengimpor teknologi dari luar tanpa alih pengetahuan. Institusi riset dimerger, direstrukturisasi, lalu dilepas begitu saja tanpa arah yang jelas. Bahkan dalam sektor strategis seperti transisi energi atau smart farming, terjadi kekacauan antara kementerian teknis, daerah, dan badan usaha milik negara.

Sebagaimana kritik klasik dari para ekonom pembangunan, negara yang gagal bukanlah negara yang miskin sumber daya, melainkan negara yang tidak mampu merancang jalan ke depan. Indonesia hari ini adalah negara yang ramai dengan kebijakan, namun sepi dari desain yang terintegrasi. Setiap kementerian berjalan dengan ego sektoralnya masing-masing, dan bangsa ini pun tak lebih dari deretan program-program tambal sulam.

Jika kita bertanya: siapa yang bertanggung jawab menyatukan semua ini dalam satu kerangka besar pembangunan manusia dan peradaban ekonomi? Maka jawaban itu kerap tenggelam dalam kabut birokrasi dan politik jangka pendek.

Ironisnya, di tengah revolusi industri 4.0 dan tantangan AI yang mengguncang struktur tenaga kerja, Indonesia justru masih berdebat tentang siapa yang berwenang merancang pelatihan, bukan apa yang harus dipelajari. Kita lebih sibuk menyusun nomenklatur baru ketimbang menciptakan strategi bersama. Yang hilang bukan hanya sinergi, tapi juga visi.

Seperti sebuah kapal besar yang berlayar tanpa peta, tanpa koordinasi nahkoda dan awak, bangsa ini bisa jadi bergerak, tapi tidak menuju ke mana-mana.

B. Ketidakhadiran Masterplan Lintas Rezim: Negara Tanpa Ingatan

Dalam negara yang sehat dan beradab, setiap kebijakan besar lahir dari satu visi panjang---visi yang melampaui umur jabatan seorang presiden, melampaui kepentingan politik lima tahunan, dan melintasi generasi. Tetapi Indonesia, sebagaimana cermin retaknya sendiri, tampak seperti negara yang mengidap amnesia institusional: lupa pada apa yang telah dimulai, tak sabar menyelesaikan yang sedang dibangun, dan tergoda untuk memulai hal baru demi popularitas sesaat.

Setiap ganti rezim, ganti pula jargon. Dari Repelita ke Propenas, dari MP3EI ke RPJMN, dari Nawa Cita ke Indonesia Emas 2045. Namun yang terus berganti bukan hanya nama program, melainkan arah pembangunan itu sendiri. Tidak ada satu benang merah yang dijahit konsisten lintas administrasi. Indonesia seperti arsitek yang setiap lima tahun mengganti cetak biru rumahnya, membongkar pondasi lama, lalu membangun ulang tanpa pernah sampai ke atap.

Kita menyaksikan proyek-proyek raksasa yang ditinggalkan di tengah jalan karena rezim baru menganggapnya tak relevan secara politis. Kita melihat transformasi pendidikan dan riset yang dibatalkan, direstrukturisasi, atau bahkan dilenyapkan demi "efisiensi birokrasi"---sebuah istilah manis untuk pembatalan tanpa pertanggungjawaban akademik. Lembaga riset ditutup, kampus diintervensi, dan program jangka panjang dipotong karena tidak menghasilkan suara dalam pemilu.

Padahal, negara-negara seperti RRC, India, dan Singapura yang kini melesat bukan karena program mereka hebat, tapi karena mereka konsisten terhadap masterplan yang ditetapkan bersama, bukan sekadar oleh seorang tokoh. Di RRC, Made in China 2025 bukan sekadar visi Xi Jinping, melainkan kelanjutan terencana dari blueprint sebelumnya sejak 1978. Di India, investasi pada pendidikan STEM dan ekspor SDM digital dimulai sejak 1980-an dan tetap dipelihara lintas administrasi. Bahkan di Singapura, pemimpin baru hanya melanjutkan jalur yang sudah ditentukan bersama melalui konsensus jangka panjang yang kuat.

Sementara itu di Indonesia, visi pendidikan sering kali dipenggal di tengah jalan. Rencana pengembangan 1000 politeknik mati sebelum 100 berdiri. Reformasi kurikulum ditarik kembali karena menteri baru tak ingin "dinilai tidak berperan." Transisi energi dipromosikan tanpa roadmap fiskal yang jelas. Semua tampak "bergerak", tapi seperti roda sepeda yang diputar di tempat.

Hal ini berujung pada konsekuensi sangat mahal: hilangnya trust publik terhadap keberlanjutan kebijakan negara. Investor, pengusaha, akademisi, dan bahkan mahasiswa kehilangan kepercayaan terhadap arah. Mereka tidak tahu: apakah yang mereka pelajari hari ini masih akan relevan dalam lima tahun? Apakah industri yang mereka siapkan akan bertahan, atau akan ditinggalkan oleh regulasi baru?

Sebuah bangsa tanpa masterplan lintas rezim adalah bangsa yang terus belajar, tapi tak pernah lulus. Terus bekerja, tapi tak pernah sampai.

Jika pendidikan, industri, riset, ekonomi digital, pertanian, dan transisi energi semua berjalan dalam lintasan sendiri, maka Indonesia bukanlah negara dengan banyak peta, tetapi negara tanpa kompas.

Maka, jangan heran jika kita menghasilkan lulusan-lulusan cerdas yang bingung mau ke mana. Karena negaranya sendiri tak pernah tahu, sedang menuju ke mana.

C. Studi Kasus: Kementerian Pendidikan vs Dunia Industri --- Dua Rel yang Tak Pernah Bertemu

Bayangkan dua kereta api: satu membawa ribuan lulusan setiap tahun dari gerbong-gerbong perguruan tinggi, sementara satu lagi membawa kebutuhan riil dari dunia industri, teknologi, dan pasar kerja global. Masalahnya: kedua kereta ini tidak berjalan di rel yang sama. Bahkan lebih parah, keduanya tidak pernah berpapasan, seolah berasal dari dua zaman yang berbeda.

Inilah realitas pahit antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan dunia industri di Indonesia---dua entitas yang secara ideal harus berkolaborasi erat, namun pada praktiknya justru bergerak sendiri-sendiri, sering kali bahkan bertabrakan secara kepentingan dan orientasi.

1. Kurikulum vs Kebutuhan

Di kampus, mahasiswa masih dijejali teori lama, buku ajar usang, dan keterampilan generik yang tak pernah dipakai di dunia nyata. Banyak kampus tidak memiliki data tentang kebutuhan industri lima tahun ke depan, dan sedikit sekali yang menjalin kerjasama strategis dengan pelaku industri sebagai mitra perancang kurikulum.
 Sementara itu, pelaku industri mengeluh tentang kualitas lulusan yang minim soft skill, lemah dalam problem solving, dan kaku terhadap perubahan teknologi. Bahkan perusahaan digital besar seperti Tokopedia, Gojek, atau Traveloka cenderung lebih memilih lulusan bootcamp informal atau lulusan otodidak yang terbukti mampu beradaptasi cepat, ketimbang lulusan formal dengan gelar sarjana tapi miskin keterampilan praktis.

2. Praktik Magang: Formalitas yang Tidak Fungsional

Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka sejatinya membuka peluang untuk menjembatani gap antara dunia kampus dan industri. Namun, implementasinya sebagian besar masih kosmetik. Banyak mahasiswa melaksanakan magang di instansi yang tidak relevan, hanya untuk mengejar sertifikat. Sebaliknya, banyak perusahaan masih ragu membuka akses pada mahasiswa karena ketidaksiapan birokrasi kampus dalam menyesuaikan kurikulum dan beban SKS.

3. Ketidakhadiran Badan Penghubung Permanen

Negara-negara maju memiliki badan permanen yang secara aktif menghubungkan universitas dan industri, misalnya Singapore SkillsFuture, UK Higher Education and Industry Partnerships, atau India's AICTE-Industry Connect. Di Indonesia, sinergi seperti itu hanya muncul sebagai proyek temporer, event tahunan, atau program hibah kompetisi. Tidak ada satu lembaga nasional yang secara terstruktur, sistemik, dan berkelanjutan bertugas menjadi jembatan dinamis antara dua dunia yang seharusnya saling menopang.

4. Dampak Langsung

Akibat dari keterputusan ini sangat nyata. Data BPS tahun 2023 menunjukkan bahwa 22,2% lulusan perguruan tinggi di Indonesia bekerja di sektor yang tidak sesuai dengan bidang keahliannya. Bahkan World Bank (2020) menyebut bahwa hanya 11% perusahaan di Indonesia yang menganggap lulusan perguruan tinggi "siap kerja". Ini bukan sekadar angka, tapi potret suram dari sistem pendidikan yang tidak terinformasi dan ekosistem industri yang tidak terlibat.

Selama rel antara pendidikan dan industri tetap paralel tanpa titik temu, maka apa pun yang dilakukan kampus akan selalu tertinggal satu dekade dari kebutuhan nyata. Sementara industri akan terus mencari sumber daya dari luar sistem, atau menambal sendiri kebutuhan SDM mereka melalui pelatihan internal atau program inkubasi pribadi.

Dan pada akhirnya, mahasiswa lah yang menanggung beban keterputusan ini---belajar bertahun-tahun, tapi menganggur, atau bekerja di luar jalur, dengan rasa frustasi yang pelan-pelan menjelma sinisme nasional.

"Kami tidak butuh gelar, kami butuh orang yang bisa bekerja." --- HRD startup teknologi, wawancara 2023

"Saya mengajar programming, tapi saya sendiri tidak bisa coding karena saya hanya mengajar dari modul." --- Testimoni dosen teknik informatika, Universitas swasta di Jawa Tengah

D. Kutipan: Yuval Noah Harari dan Pentingnya Sistem Lintas Waktu

Dalam bukunya 21 Lessons for the 21st Century, Yuval Noah Harari menulis dengan tajam dan penuh peringatan:

"The biggest challenges of the 21st century are global in nature and require long-term thinking. But the current political systems are inherently short-sighted."

Kutipan ini---jika diserap dalam konteks Indonesia---menjadi cermin retak yang menampilkan betapa sistem pemerintahan kita terlalu terjebak dalam "jangka pendek lima tahunan." Setiap menteri, setiap presiden, setiap pejabat daerah seperti berlomba mencetak legacy instan, bahkan bila harus mengorbankan kesinambungan kebijakan dari rezim sebelumnya. Dalam sistem seperti ini, keberlanjutan menjadi barang langka, dan visi jangka panjang hanya menjadi jargon saat kampanye.

Yuval menegaskan bahwa bangsa yang besar bukan hanya diukur dari seberapa cepat mereka membangun, tetapi seberapa dalam mereka berpikir ke depan. Artinya, Indonesia butuh lebih dari sekadar program unggulan sesaat. Kita membutuhkan kerangka pikir dan desain sistem yang melintasi generasi, yang tahan dari perubahan menteri, dan tidak roboh oleh reshuffle.

Namun sayangnya, perencanaan lintas waktu di Indonesia jarang menjadi dasar kebijakan. Rencana pembangunan nasional 20 tahun ke depan ada, namun kerap tak diinternalisasi oleh tiap kementerian atau daerah. Ia hidup di atas kertas, tetapi tidak berdenyut dalam implementasi. Visi Indonesia Emas 2045, misalnya, sering dijadikan alat retoris, tetapi masih lemah dalam kerangka detail: apa indikatornya, siapa penanggung jawab lintas periodenya, dan bagaimana mekanisme evaluasinya?

Dalam diskusi di Forum Ekonomi Dunia 2021, Harari juga mengingatkan bahwa:

"We need institutions that think in terms of centuries, not election cycles."

Sebaliknya, lembaga-lembaga di Indonesia masih terjebak dalam siklus proyek tahunan dan ketakutan anggaran tidak terserap. Akibatnya, pendidikan, teknologi, ekologi, bahkan kebijakan pangan, sering dirombak bukan karena evaluasi objektif, tetapi karena perubahan rezim atau ego sektoral antar kementerian.

Negara yang tak mampu berpikir lintas waktu akan selalu kehabisan nafas di tengah perjalanan. Dan negara yang tak memiliki desain bersama antar lembaga hanyalah kumpulan ego birokratis yang berjalan tanpa kompas.

Maka, jika Indonesia ingin keluar dari kemacetan sistemik ini, ia harus belajar mendesain institusi yang mampu bertahan lebih lama dari usia jabatan presidennya---sebuah sistem yang hidup, bukan karena figur, tapi karena konsistensi visi lintas generasi.

IV. Komparasi Internasional: Belajar dari Negara yang Serius

A. RRC: Kebijakan 100 Tahun, Industrialisasi Berbasis Pendidikan Teknis

"Tidak peduli apakah kucing itu hitam atau putih, yang penting ia menangkap tikus."
 --- Deng Xiaoping, Arsitek Reformasi Tiongkok

Tatkala Indonesia sibuk memperdebatkan kurikulum merdeka dan ijazah sebagai simbol gengsi sosial, Tiongkok sudah sejak lama menempatkan pendidikan sebagai senjata utama industrialisasi dan transformasi nasional. Bukan sebatas slogan atau wacana elit birokrasi, melainkan perencanaan terstruktur lintas generasi yang disebut "Kebijakan 100 Tahun."

Sejak era Deng Xiaoping pascarevolusi budaya, Tiongkok menyadari bahwa tidak ada modernisasi tanpa sains dan teknologi. Maka arah pembangunan pendidikan digeser dari model ideologis-Marxis ke model pragmatis-produktif: menjadikan pendidikan sebagai feeder langsung ke industri. Ini terlihat dari kebijakan vokasi besar-besaran dan penyelarasan kurikulum teknis dengan roadmap industrialisasi nasional.

Beberapa angka berbicara lantang:

Lebih dari 70% siswa SMA di Tiongkok melanjutkan ke pendidikan vokasi atau politeknik, bukan universitas konvensional (World Economic Forum, 2021).
Universitas Teknik seperti Tsinghua dan Zhejiang memiliki kolaborasi langsung dengan Huawei, Alibaba, dan perusahaan manufaktur raksasa, dengan program magang, riset bersama, bahkan skema co-teaching bersama praktisi industri.
Pemerintah Tiongkok menetapkan target untuk melatih 50 juta tenaga teknisi terampil antara 2020--2035 sebagai fondasi Revolusi Industri 4.0 mereka (China's Ministry of Education, 2022).
Bukan hanya kuantitas, tetapi arah dan relevansi yang menjadi kekuatan Tiongkok. Tidak ada jurusan dibuka tanpa proyeksi kebutuhan 10--20 tahun ke depan. Jika Indonesia membuka jurusan karena "passing grade-nya tinggi" atau "populer di masyarakat," maka Tiongkok justru menutup jurusan yang tak relevan meski banyak peminat. Universitas-universitas di sana diminta berkontribusi nyata pada tujuan negara, bukan sekadar mencetak ijazah.

Sementara kita masih terjebak dalam euforia jumlah perguruan tinggi dan pelajar, Tiongkok diam-diam telah menjadikan pabrik-pabriknya sebagai ruang kuliah dan kampusnya sebagai inkubator inovasi teknologi. Inilah yang membuat mereka mampu menyalip negara-negara Barat dalam banyak sektor: dari AI, chip semikonduktor, hingga kendaraan listrik.

"Kami tidak sekadar mendidik siswa untuk ujian. Kami mendidik mereka untuk menguasai masa depan." --- Liu He, ekonom utama Partai Komunis Tiongkok

Perbandingan ini begitu mencolok. Indonesia terlalu sering menganggap pendidikan sebagai urusan Kementerian Pendidikan, padahal pendidikan harus menjadi urusan seluruh kementerian: perindustrian, perdagangan, pertanian, riset, dan investasi. Di Tiongkok, semua kebijakan ekonomi berpangkal dari peta keterampilan nasional. Di Indonesia, kebijakan ekonomi dan pendidikan sering berjalan di dua lorong yang tidak pernah berpapasan.

Jika Tiongkok hari ini menjadi "pabrik dunia," itu karena mereka lebih dahulu membangun pabrik otak. Mereka tidak bertanya, "Berapa banyak lulusan?" tetapi "Apa yang bisa mereka ciptakan?" Dan di situlah perbedaan antara negara yang mendidik untuk bertahan hidup, dan negara yang mendidik untuk memimpin zaman.

B. India: Ekspor SDM Berbasis STEM dan Digitalisasi

"India is not exporting just people. We are exporting intelligence." --- Dr. Shashi Tharoor, Diplomat dan Anggota Parlemen India

Saat Indonesia kebingungan mencari lapangan kerja untuk jutaan lulusan yang tidak sesuai kebutuhan industri, India telah mengubah pendidikan menjadi industri ekspor kecerdasan. Dari Silicon Valley hingga Berlin, dari Dubai hingga London, para insinyur, ahli IT, dan tenaga medis dari India menjadi ujung tombak globalisasi teknologi. Mereka bukan hasil dari kebetulan, tetapi dari sebuah sistem pendidikan yang, meski penuh tantangan, memiliki kejelasan arah dan daya dorong transformasional.

Sejak dekade 1980-an, India menyadari bahwa keterbatasan fisik bisa diimbangi dengan keunggulan kognitif. Maka, investasi besar-besaran dilakukan di bidang pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) melalui pendirian lembaga-lembaga unggulan seperti IIT (Indian Institutes of Technology) dan IIM (Indian Institutes of Management).

Beberapa data dan fakta menegaskan jejak sukses mereka:

India adalah pengekspor tenaga kerja IT terbesar di dunia. Pada tahun 2023, lebih dari 4 juta insinyur perangkat lunak asal India bekerja di luar negeri, dan menghasilkan remitansi senilai lebih dari US$ 100 miliar (World Bank, 2023).
CEO dari Google (Sundar Pichai), Microsoft (Satya Nadella), dan IBM (Arvind Krishna) --- semuanya berasal dari sistem pendidikan tinggi India, terutama IIT.
India juga menempati posisi ke-3 dunia dalam jumlah startup teknologi (Statista, 2023), banyak di antaranya dipimpin oleh alumni universitas teknik India yang berpikir global tapi tetap membumi.
Sementara Indonesia berlomba mencetak gelar sarjana dalam bidang sosial dan administrasi tanpa arah kerja yang pasti, India melatih lulusannya untuk menjadi global problem-solvers. Bahkan ketika sektor domestiknya belum mampu menyerap semua tenaga terampil itu, pemerintah India mendorong diaspora digital untuk bekerja di luar negeri dan membawa pulang pengetahuan, jaringan, serta investasi.

"Kampus adalah tempat mencetak manusia tangguh, bukan hanya pencari kerja."
 --- Dr. A.P.J. Abdul Kalam, Presiden India ke-11 dan ilmuwan rudal

India juga tidak hanya bertumpu pada elite kampus. Gerakan "Digital India" yang diluncurkan pada 2015 menjadi tonggak pemerataan pendidikan digital ke pelosok negeri. Ribuan rural tech hubs dibangun, menghubungkan desa-desa dengan pelatihan coding, AI, dan bahkan blockchain. Pendidikan bukan hanya untuk naik kasta, tapi untuk mengangkat ekonomi komunitas lokal melalui teknologi.

India mengajarkan bahwa tidak perlu menjadi negara kaya dulu untuk melahirkan sistem pendidikan yang visioner. Justru dari krisis dan keterbatasan itulah lahir kebijakan yang memaksa kecerdasan kolektif tumbuh: mendidik rakyat bukan untuk bangga pada gelar, tetapi untuk siap menaklukkan dunia.

Di sinilah ironi Indonesia menganga lebar. Kita mengagumi India dari layar YouTube, tetapi mengabaikan bahwa kita pernah sejajar dalam titik awal. Kini, kita justru mengekspor TKI tanpa pelatihan keterampilan, bukan SDM yang siap memimpin perusahaan global.

C. UEA: Transformasi Ekonomi dari Minyak ke Inovasi

"We do not wait for the future. We build it."
 --- Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum, Perdana Menteri UEA

Dulu, mereka hanya dikenal sebagai negara minyak. Padang pasir yang tandus dan panas, dihuni oleh suku-suku nomaden yang hidup berpindah-pindah. Namun kini, Uni Emirat Arab (UEA) telah menjelma menjadi pusat inovasi futuristik dan kekuatan ekonomi baru di Timur Tengah. Sebuah transisi yang tidak terjadi karena kekayaan semata, melainkan karena visi yang diterjemahkan ke dalam kebijakan pendidikan dan pengembangan manusia yang strategis dan brutal dalam eksekusi.

Saat Indonesia bergulat dengan rasio pengangguran lulusan S1 yang mencapai 5,9% menurut data BPS 2023, UEA justru mengimpor tenaga kerja berpendidikan tinggi dan memfasilitasi sistem pendidikan dalam negeri yang langsung menyambung ke kebutuhan inovasi dan investasi. Di balik gedung-gedung tinggi Dubai dan Abu Dhabi, ada arsitektur pendidikan yang terencana: elit, terkurasi, dan terhubung dengan ekosistem bisnis masa depan.

Beberapa data dan langkah strategis UEA yang mencolok:

Pada tahun 2017, UEA meluncurkan Strategi Inovasi Nasional dengan 7 sektor prioritas, dari transportasi pintar hingga energi terbarukan, yang mewajibkan pendidikan tinggi menyesuaikan kurikulum dan risetnya secara langsung.
UEA menjadi rumah bagi kampus cabang dari universitas terbaik dunia seperti New York University Abu Dhabi, Sorbonne University Abu Dhabi, dan Rochester Institute of Technology. Di sana, tidak ada ruang untuk kampus tanpa kontribusi pada ekonomi pengetahuan.
Pada 2021, UEA mengangkat seorang Menteri Kecerdasan Buatan pertama di dunia, Omar bin Sultan Al Olama, dalam usia 27 tahun --- simbol bahwa inovasi bukan milik mereka yang menua dalam birokrasi, tapi mereka yang siap berpikir melompat.
"Minyak akan habis, tapi tidak dengan ide." --- Sheikh Zayed bin Sultan Al Nahyan

Transformasi UEA bukan hanya tentang mengganti sumber pendapatan. Ini adalah perubahan paradigma pendidikan sebagai poros utama transisi ekonomi. Mereka sadar bahwa pendidikan yang tidak disambungkan dengan orientasi jangka panjang hanyalah konsumsi intelektual tanpa kontribusi. Oleh karena itu, selain membangun kampus internasional, mereka juga mendesain insentif riset dan startup lokal dengan fasilitas, pendanaan, dan kemudahan hukum yang pro-inovasi.

Indonesia? Kita masih berdebat kurikulum merdeka dan P5, sementara banyak dosen yang bahkan belum pernah terjun di dunia industri atau menulis satu pun paten. Kita masih membangun sekolah bertingkat dan memoles akreditasi, tapi lupa menjawab: "Untuk apa semua ini?"

UEA mengajarkan bahwa visi tanpa realisasi adalah mimpi kosong, dan uang tanpa arah adalah kemewahan yang memperpanjang kebodohan. Mereka memilih jalan susah yang disiplin: mendidik rakyatnya agar menjadi pembuat masa depan, bukan sekadar penonton di tribun globalisasi.

Pertanyaannya: apakah Indonesia siap menyusul, atau terus nyaman dalam status "negara berkembang selamanya"?

D. Singapura: Pendidikan Vokasional Berkualitas Tinggi dan Arah Industri yang Tegas

"Kita tidak punya sumber daya alam, jadi kita didik rakyat kita seperti berlian."
 --- Lee Kuan Yew

Singapura adalah anomali geografis, tapi bukan anomali perencanaan. Negara seluas kota kecil dengan nyaris tanpa sumber daya alam, namun mampu membuktikan bahwa dengan arah pendidikan yang presisi dan sinkron dengan strategi industri nasional, sebuah bangsa bisa menyalip mereka yang jauh lebih kaya dalam segala hal --- termasuk Indonesia.

Indonesia suka bangga punya banyak sarjana, tapi Singapura justru bangga punya banyak tenaga vokasional unggulan. Di saat lulusan S1 Indonesia rela antre jadi tukang parkir atau pengantar barang demi bertahan hidup, Singapura membangun Institutes of Technical Education (ITE) dan polytechnic yang lulusannya langsung diserap industri dengan gaji kompetitif. Di sana, menjadi teknisi bukan aib, melainkan kebanggaan profesional --- karena kualitasnya dihargai, bukan gelarnya.

Beberapa kebijakan konkret Singapura yang dapat diteladani:

Pendekatan "SkillsFuture", diluncurkan tahun 2015, memberikan kredit pelatihan (SkillsFuture Credit) kepada semua warga dewasa, agar mereka terus belajar keterampilan yang relevan dengan kebutuhan industri.
Kurikulum ITE dan politeknik diubah setiap 3--5 tahun untuk menyesuaikan tren global seperti AI, green technology, cybersecurity, dan biotechnology.
Pemerintah bermitra dengan industri sejak tahap desain kurikulum, sehingga tidak ada jurusan yang hidup di ruang hampa.
Tracer study secara rutin dilakukan untuk menilai efektivitas pendidikan: dalam laporan 2021, sekitar 92% lulusan politeknik terserap kerja dalam waktu 6 bulan.
"Kami tidak mencetak penghafal, kami mencetak pemecah masalah." --- Ong Ye Kung, Menteri Pendidikan Singapura

Bandingkan dengan Indonesia yang masih menyusun kurikulum berdasarkan rapat birokrat yang belum tentu paham tantangan industri, atau dosen yang menulis diktat sejak 2004 dan belum diperbarui hingga kini. Pendidikan vokasi kita malah sering jadi "jalur buangan", bukan jalur kebanggaan.

Singapura tidak ingin rakyatnya menjadi konsumen teknologi, tapi menjadi bagian dari rantai nilai teknologi global. Maka tidak heran jika startup di bidang deep tech, fintech, bahkan healthtech tumbuh cepat, karena SDM-nya tidak hanya pintar, tapi tepat.

Pendidikan di Singapura adalah kompas industri nasional. Bukan hanya tempat mencari ijazah, tapi tempat membentuk kecakapan dan ketajaman visi. Di saat kita berdebat soal ijazah palsu dan gelar doktor honoris causa abal-abal, Singapura sudah menjadikan pendidikan sebagai instrumen survival geopolitik dan daya saing global.

Maka pantas saja mereka menjadi macan Asia. Dan kita? Kita sibuk jadi kertas ulangan yang tak pernah lulus dari masalah yang sama.

E. Variabel Pembeda: Konsistensi, Meritokrasi, dan Kejelasan Arah Nasional

"Vision without execution is hallucination." --- Thomas Edison

Mengapa RRC bisa menjadi pusat manufaktur dan teknologi dunia, India menjadi kampiun IT dan ekspor SDM global, UEA bermetamorfosis dari pasir ke pusat inovasi dunia, dan Singapura memimpin dalam pendidikan dan efisiensi birokrasi --- padahal semua negara itu memulai dari titik lemah, bahkan dari reruntuhan sejarah?
 Jawabannya terletak bukan semata pada kebijakan hebat, tapi pada disiplin eksekusi, konsistensi lintas rezim, dan fondasi meritokrasi.

1. Konsistensi Kebijakan:

Negara-negara yang kita bandingkan tidak membiarkan pendidikan dan pembangunan nasional terombang-ambing oleh ganti menteri atau siklus lima tahunan pemilu. RRC memiliki visi jangka panjang 100 tahun yang diturunkan ke dalam Five-Year Plans dengan disiplin keras. India memiliki National Education Policy 2020 yang mengintegrasikan teknologi dan pembelajaran berbasis hasil. UEA sudah mengumumkan Visi 2071, sedangkan Singapura sejak era Lee Kuan Yew sudah menekankan pembangunan manusia sebagai pusat segalanya.

Indonesia? Visi jangka panjang kita banyak yang berakhir sebagai spanduk atau slogan. RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) berubah selera tiap rezim, dan kurikulum berubah bahkan sebelum sempat diterapkan dengan baik. Akibatnya, tidak ada kesinambungan antara perencanaan dan implementasi.

2. Meritokrasi yang Autentik:

Di Singapura dan India, orang cerdas, kompeten, dan berdedikasi naik ke puncak sistem. Di Indonesia, meritokrasi sering dikalahkan oleh nepotisme, jual beli jabatan, dan politik balas budi. Banyak pemimpin institusi pendidikan atau kepala daerah ditunjuk bukan karena kapabilitas, tapi karena "perhitungan politik."
 Maka tak heran jika banyak kebijakan pendidikan kita tumpul karena dipimpin oleh mereka yang tak mengerti substansi.

Dalam laporan Transparency International 2023, Indonesia masih berada pada peringkat 115 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi.
Di sektor pendidikan, ICW mencatat bahwa anggaran pendidikan termasuk paling rawan dikorupsi.

Ketika jalur karier ditentukan bukan oleh kualitas kerja, tapi oleh relasi dan loyalitas, bagaimana kita bisa berharap sistem akan melahirkan SDM berkualitas?

3. Kejelasan Arah Nasional:

Negara-negara yang berhasil menetapkan poros nasionalnya dengan tegas: RRC pada industrialisasi dan teknologi, India pada digitalisasi dan diaspora global, UEA pada inovasi dan sains pasca-minyak, Singapura pada efisiensi SDM.
Indonesia masih gamang: ingin industri 4.0 tapi basic research diabaikan, ingin transformasi digital tapi sinyal internet di daerah 3T mati, ingin "link and match" pendidikan dan kerja tapi pendidikan vokasi dipandang sebagai jalur inferior.

Sebagian besar pembangunan bersifat reaktif, bukan proaktif. Ketika dunia bicara AI, kita sibuk membahas seragam sekolah dan Ujian Nasional. Ketika negara lain menanam pabrik chip, kita malah berdebat soal etika influencer pendidikan.

Yang membedakan negara cerdas dan negara dodol bukan sekadar kurikulum atau anggaran, tapi konsistensi visi, keadilan dalam sistem sosial (meritokrasi), dan arah nasional yang jelas dan dijaga lintas rezim. Tanpa ketiga fondasi itu, Indonesia akan terus mencetak sarjana... untuk diantarkan oleh algoritma aplikasi ojek.

V. Variabel Penentu Kemacetan Kemajuan Indonesia

A. Budaya Simbolik, Bukan Substantif

"Kita terlalu sibuk mengecat dinding rumah yang retak, sementara fondasinya tenggelam dalam lumpur." --- Parabel urban tentang pembangunan Indonesia

Indonesia telah menjadi negara dengan segudang prestasi di atas kertas. Kita punya undang-undang yang menjamin hak pendidikan, sistem akreditasi universitas, jargon "SDM unggul," dan ribuan lulusan program sarjana setiap tahun. Tapi di balik parade sertifikat, toga, dan sambutan pejabat, ada kenyataan pahit: apa yang dibangun adalah simbol, bukan substansi.

1. Obsesi pada Label, Bukan Kapabilitas

Fenomena "pengejar gelar" bukanlah hal baru. Masyarakat sering kali memandang tingginya pendidikan sebagai status sosial, bukan alat pemberdayaan. Maka tak heran bila banyak orang rela mengorbankan waktu dan uang demi gelar "S2" atau "S3", meski substansi keilmuan dan keterampilan yang mereka bawa tidak bertambah signifikan.

Lihatlah bagaimana sertifikasi, akreditasi, dan penghargaan dijadikan tujuan utama, bukan sebagai alat ukur kualitas. Sekolah berlomba mendapat akreditasi A, bukan karena mutu pembelajarannya, tapi karena ingin naik peringkat dan mendapat tunjangan lebih besar. Universitas mengejar pemeringkatan internasional, bukan untuk mendorong riset strategis, tapi demi gengsi institusi.

Dalam riset LIPI (2022), hanya 15% hasil penelitian universitas yang diterapkan dalam kebijakan publik atau sektor industri. Selebihnya, mandek sebagai laporan tak terbaca.

2. Retorika Tanpa Implementasi

Pidato-pidato pejabat pendidikan dipenuhi retorika: "revolusi industri 4.0", "link and match", "transformasi digital", "kurikulum merdeka". Tapi di lapangan, banyak guru masih bingung bagaimana menerapkannya. Sekolah kekurangan fasilitas dasar, dan dosen dibebani beban administrasi ketimbang riset.

Menteri boleh bicara tentang teknologi AI dan Big Data, tetapi guru-guru di pelosok masih menyalin RPP dengan pulpen karena listrik dan jaringan tak tersedia. Mahasiswa dibebani tugas presentasi "dalam bahasa Inggris" dengan materi yang bahkan belum pernah mereka praktikkan secara langsung.

Studi Bank Dunia (2023) menunjukkan bahwa literasi digital di kalangan mahasiswa Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya.

3. Infrastruktur Gagah, Konten Kosong

Pemerintah gencar membangun sekolah baru, laboratorium baru, bahkan universitas negeri baru. Namun pertanyaannya: apakah kualitas SDM pengajar dan desain pembelajaran sejalan dengan fisik bangunannya? Banyak gedung kampus megah justru menjadi "museum pendidikan"---tempat belajar teori yang tak pernah diujikan pada realitas.

Sebagaimana kritik Gus Dur pada akhir 1990-an, "Indonesia ini rajin membangun sekolah, tapi lupa membangun akal sehat."

Inti Kritik:
Budaya simbolik telah menciptakan bangsa yang sibuk memoles permukaan tanpa menyentuh akar. Ijazah dikejar, tapi kompetensi diabaikan. Gedung dibangun, tapi jiwa pendidikan dibiarkan kosong. Tanpa transisi dari simbol ke substansi, Indonesia akan terus terjebak dalam "kemajuan imitasi"---tampak hebat, tapi rapuh dalam ujian kenyataan.

B. Korupsi dan Feodalisme dalam Birokrasi dan Kampus

"Bangsa yang besar bukan hanya karena rakyatnya rajin, tapi karena pejabatnya jujur dan pendidikannya membebaskan."
 --- (Refleksi atas paradoks negeri yang kaya SDM tapi miskin terobosan)

Jika sistem pendidikan adalah pabrik pencetak SDM, maka birokrasi dan kampus seharusnya menjadi mesin yang menjamin kualitas dan keadilan output-nya. Namun apa yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya: mesin ini aus oleh korupsi dan berkarat oleh feodalisme.

1. Kampus Sebagai Miniatur Feodal

Meski dunia luar sudah memasuki era meritokrasi dan kolaborasi horizontal, banyak kampus di Indonesia masih berkutat dalam pola pikir hierarkis dan patron-klien. Seorang dosen muda dengan gagasan progresif bisa ditenggelamkan jika idenya tidak "restu" dari atasan. Promosi jabatan, penugasan ke luar negeri, bahkan penerbitan jurnal pun sering kali bergantung pada relasi, bukan kapabilitas.

Kesaksian seorang dosen muda dari universitas negeri besar di Jawa:
 "Saya menulis jurnal Q1, tapi yang diberi penghargaan adalah senior saya yang menyalin hasil seminar ke jurnal lokal. Saya diam, karena kalau protes, karier saya habis."

Feodalisme di kampus ini menjadi antitesis dari esensi pendidikan: pembebasan dan pencerdasan. Dalam sistem seperti ini, bukan kecerdasan yang naik ke atas, tapi loyalitas dan kepatuhan. Hasilnya, inovasi stagnan dan keberanian berpikir digantikan budaya ABS --- Asal Bapak Senang.

2. Korupsi Akademik dan Dana Pendidikan

Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW, 2022) menunjukkan bahwa sektor pendidikan masuk 5 besar sektor paling rawan korupsi. Mulai dari mark-up anggaran pengadaan buku, pemalsuan laporan riset, hingga praktik jual beli ijazah dan gelar honoris causa.

Ironisnya, sebagian korupsi ini terjadi justru dalam program-program bernama "reformasi pendidikan" atau "digitalisasi kampus". Alih-alih memperbaiki sistem, dana-dana tersebut menjadi bancakan elite institusi.

Sebuah investigasi Majalah Tempo (2021) mengungkap penyelewengan anggaran lebih dari Rp 300 miliar dalam proyek revitalisasi SMK yang seharusnya membekali siswa dengan keterampilan kerja.

Birokrasi pendidikan juga penuh "orang titipan". Jabatan struktural diisi oleh non-akademisi atas dasar balas jasa politik, bukan visi strategis. Maka jangan heran bila kebijakan pendidikan sering tidak sinkron, saling tumpang tindih, dan tidak berpijak pada riset ilmiah.

3. Birokrasi Pemerintah yang Lumpuh oleh Pragmatisme

Di level nasional, kebijakan pendidikan --- termasuk perencanaan lapangan kerja --- terlalu sering tunduk pada kepentingan elektoral jangka pendek. Populisme kalkulatif mengalahkan perencanaan struktural. Alih-alih membuat sistem pendidikan vokasional yang strategis dan industrialisasi berbasis sains, pemerintah sibuk bagi-bagi beasiswa dan membangun kampus di daerah demi elektabilitas.

Dalam laporan World Bank (2023), disebutkan bahwa kebijakan pendidikan Indonesia sering kali berubah setiap ganti menteri, tanpa kesinambungan strategi jangka panjang.

Inti Kritik:
Feodalisme di kampus dan korupsi dalam birokrasi adalah kombinasi mematikan bagi masa depan bangsa. Mereka menghambat inovasi, mematikan meritokrasi, dan melumpuhkan kepercayaan generasi muda pada institusi pendidikan. Indonesia butuh revolusi bukan hanya dalam kurikulum, tapi juga dalam struktur kekuasaan yang membelenggu kecerdasan.

C. Absennya Riset, Evaluasi Sistem, dan Kebijakan Berbasis Data

"Negara yang tak mengandalkan data dan riset adalah negara yang mengandalkan firasat dan selera." --- Catatan reflektif seorang peneliti muda LIPI (sekarang BRIN)

Satu penyakit kronis bangsa ini adalah keengganan belajar dari data dan enggan berubah karena riset. Di saat negara-negara maju membuat setiap kebijakan berdasarkan evidence-based policy making, Indonesia sering kali melangkah tanpa peta, sekadar menebak arah angin dan menggantungkan keberuntungan pada jargon politis.

1. Kebijakan Pendidikan: Reaktif dan Tak Konsisten

Setiap menteri pendidikan datang dengan konsep baru---kurikulum merdeka, link and match, pembangunan karakter, revolusi mental, dan berbagai istilah manis lainnya---namun minim studi longitudinal dan evaluasi dampak kebijakan sebelumnya. Tidak ada indikator keberhasilan yang sistemik dan berkelanjutan. Kebijakan berganti sebelum hasil bisa diukur, ibarat menanam padi lalu dicabut sebelum tumbuh demi menanam benih baru.

Contoh nyata: sejak 2000 hingga 2024, Indonesia telah mengalami lebih dari 10 perubahan kurikulum nasional, namun hasil survei PISA (2022) masih menempatkan siswa Indonesia di peringkat bawah dalam literasi membaca, matematika, dan sains.

2. Riset sebagai Formalitas Birokrasi

Lembaga riset seperti BRIN, LIPI, dan Balitbangda seharusnya menjadi kompas sains bangsa. Namun pada praktiknya, banyak riset di Indonesia tidak pernah dibaca pembuat kebijakan, dan sebaliknya, kebijakan yang keluar tidak pernah berbasis pada temuan riset ilmiah.

Hanya 8% dari hasil riset perguruan tinggi di Indonesia yang diadopsi menjadi dasar kebijakan publik, menurut riset internal BRIN (2021).

Lebih parah lagi, banyak dana riset habis hanya untuk laporan di rak---bukan untuk inovasi di lapangan. Judul penelitian bombastis, output minimal. Kolaborasi riset-industri-pemerintah nyaris tidak hidup, membuat riset kehilangan relevansi terhadap masalah real dan kebutuhan strategis nasional.

3. Ketimpangan Investasi pada Sektor Strategis

Negara-negara seperti India dan RRC menggelontorkan dana besar untuk riset dan pengembangan (R&D) di bidang energi, AI, bioteknologi, dan pertanian cerdas. Sementara itu, alokasi dana riset Indonesia berkisar di angka 0,2% dari PDB, jauh di bawah RRC (2,4%) dan bahkan Vietnam (0,5%).

Laporan UNESCO (2023) mencatat bahwa Indonesia tertinggal dalam indeks intensitas riset, serta kolaborasi riset internasional.

4. Ketiadaan Sistem Feedback Loops

Sistem pendidikan dan ketenagakerjaan Indonesia bekerja dalam dua dunia yang jarang saling mengevaluasi. Lulusan tidak tahu dunia kerja seperti apa yang menanti, dan dunia industri tidak tahu bagaimana memberi masukan ke pendidikan. Tidak ada sistem feedback loop nasional yang menghubungkan:

lulusan pasar kerja pengembang kurikulum pengambil kebijakan
Secara sistemik, bangsa ini berjalan sambil mengulang kesalahan.
Inti Kritik:
Tanpa riset, kebijakan hanya menjadi seni mengira-ngira. Tanpa evaluasi sistemik, bangsa ini menjadi pelari maraton yang terus berputar di lintasan yang sama, lelah tanpa arah. Negara besar tak bisa dibangun di atas intuisi sesaat, apalagi ego sektoral. Yang kita butuhkan adalah kebijakan berbasis data, evaluasi tanpa basa-basi, dan keberanian mengakui kesalahan untuk memperbaikinya.

D. Kegagalan Membangun Ekosistem: Pendidikan, Industri, dan Inovasi Berjalan Sendiri

"Tidak ada negara maju yang lahir dari sistem pendidikan yang berdiri sendiri. Tanpa koneksi ke industri dan inovasi, kampus hanya menjadi pabrik ijazah." --- Paraphrase dari pemikiran Prof. Joseph Stiglitz, ekonom pemenang Nobel

Indonesia sering menyebut kata "ekosistem" dalam pidato dan presentasi: ekosistem riset, ekosistem digital, ekosistem industri kreatif. Namun di balik istilah gemerlap itu, yang terjadi di lapangan adalah disintegrasi struktural. Dunia pendidikan, dunia industri, dan dunia inovasi berjalan masing-masing dengan dunianya sendiri, nyaris tanpa simpul yang mengikat mereka secara sistemik.

1. Pendidikan Tidak Tahu Butuh Apa Dunia Kerja

Banyak kurikulum di perguruan tinggi masih disusun berdasarkan asumsi masa lalu. Mahasiswa dididik untuk menjawab soal ujian, bukan menyelesaikan masalah nyata. Universitas jarang bertanya pada pelaku industri: "Skill apa yang kalian butuhkan hari ini dan 10 tahun ke depan?"
Sebaliknya, industri mengeluh: "Lulusan baru pintar teori, tapi kaku dan tidak siap pakai."
Hasilnya: ratusan ribu sarjana tanpa keahlian aplikatif, dan ribuan industri kekurangan tenaga kerja siap pakai.

Data dari World Bank (2022): lebih dari 55% perusahaan di Indonesia menyatakan lulusan perguruan tinggi tidak sesuai dengan kebutuhan pekerjaan.

2. Industri Tidak Menjadi Mitra Strategis Pendidikan

Di negara-negara seperti Jerman dan Singapura, perusahaan adalah bagian dari sistem pendidikan: memberikan masukan kurikulum, membuka magang berkualitas, bahkan mendanai program pelatihan bersama.
Di Indonesia, peran industri dalam pendidikan nyaris kosmetik: magang satu bulan tanpa supervisi, kerja serabutan tanpa nilai tambah, atau seminar sehari yang tidak berkelanjutan. Tidak ada skema co-creation antara akademisi dan pelaku usaha.

Studi LIPI (2020) menyebut bahwa kurang dari 10% universitas di Indonesia memiliki kemitraan aktif dengan industri lokal dalam pengembangan kurikulum atau riset terapan.

3. Inovasi Berdiri Tanpa Akar dan Tujuan

Riset dan inovasi yang dihasilkan kampus sering tidak tersambung dengan dunia nyata. Banyak judul penelitian menarik, tapi berhenti di rak perpustakaan atau jurnal lokal yang tidak dibaca industri. Inovasi tanpa pengaplikasian industri adalah arsitektur tanpa tanah: indah di kertas, tapi tidak bisa ditempati.
Sebaliknya, pelaku industri malas melirik hasil riset lokal karena merasa "tidak praktis", "tidak siap pakai", atau "terlalu akademis."

4. Tidak Ada Orkestrasi Nasional

Negara gagal menjadi dirigen yang menyatukan komponen pendidikan, industri, dan inovasi dalam satu simfoni. Alih-alih menyatukan arah, kementerian-kementerian bekerja dalam silo:

Kemdikbud bicara kurikulum,
Kemenperin bicara industri 4.0,
BRIN bicara inovasi disruptif.
Namun tanpa narasi besar dan sistem penghubung, ketiganya berjalan seperti musisi yang memainkan lagu sendiri-sendiri, tanpa harmoni.
Laporan McKinsey (2021) menyimpulkan bahwa Indonesia memiliki banyak program dan lembaga, namun tidak memiliki integrator sistemik antar sektor pendidikan, riset, dan industri.

Inti Kritik:
Bangsa yang tidak bisa menyatukan pendidikan, industri, dan inovasi akan terjebak dalam stagnasi pengetahuan. Sarjana menjadi penganggur, inovasi jadi pajangan, dan industri jalan sendiri dengan skill-set yang usang. Di sinilah Indonesia membuktikan dirinya: punya potensi luar biasa, tapi gagal menjahit potensi itu menjadi satu kain nasional yang kuat dan bernilai.

VI. Rekomendasi Sistemik: Menciptakan Bangsa yang Cerdas, Bukan Sekadar Pintar

A. Desain Ulang Ekosistem Pendidikan-Kerja-Inovasi

"Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia."  --- Nelson Mandela

Tapi senjata, tanpa arah dan sasaran yang jelas, hanya akan menembak ke udara. Dan itulah yang terjadi di Indonesia: pendidikan berjalan, tapi tidak tahu sedang menuju ke mana. Maka, langkah pertama untuk membebaskan Indonesia dari paradoks "bangsa pintar yang tidak cerdas" adalah mendesain ulang total ekosistem pendidikan, kerja, dan inovasi --- bukan sebagai entitas terpisah, tapi sebagai satu ekosistem bernapas yang saling menyokong dan berkembang.

1. Sistem Pendidikan Harus Berbasis Kebutuhan Nyata, Bukan Administrasi

Kurikulum tidak lagi boleh disusun hanya oleh dosen di ruang senat yang jauh dari dinamika industri. Dunia kerja, dunia riset, dan pemerintah lokal harus duduk bersama di meja desain.
 Kurikulum harus:

Fleksibel, bisa disesuaikan dengan dinamika teknologi dan kebutuhan lokal.
Berbasis proyek nyata dan magang terstruktur, bukan sekadar laporan KP formalitas.
Disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan potensi ekonomi lokal, bukan satu kurikulum seragam nasional yang kaku.
Rekomendasi: Bentuk Dewan Kurikulum Tiga Pilar: akademisi--industri--pemerintah daerah.

2. Industri sebagai Ruang Belajar, Bukan Hanya Tempat Magang

Sektor swasta perlu diberi insentif agar mau berinvestasi dalam pendidikan:

Pajak lebih ringan bagi perusahaan yang menyediakan program magang terstruktur.
Skema matching-fund untuk program vokasi dan dual system seperti Jerman.
Kolaborasi kampus-industri dalam mengembangkan microcredentials dan sertifikasi kerja.
Studi dari OECD (2023) menunjukkan bahwa negara-negara dengan skema dual education system (seperti Swiss, Austria, dan Jerman) memiliki tingkat pengangguran lulusan muda di bawah 5%.

3. Inovasi Harus Tertancap di Tanah: Dari Laboratorium ke Pasar

Pusat riset perguruan tinggi dan BRIN tidak bisa lagi beroperasi dalam ruang kedap. Riset harus:

Berangkat dari problem nyata (problem-driven research).
Memiliki rute translasi ke pasar (dengan dukungan inkubator dan investor awal).
Dikelola dalam model triple helix: kampus--industri--negara.
Rekomendasi: Bentuk Lembaga Translasional Riset Nasional yang mengawal hasil riset kampus menuju komersialisasi dan penerapan.

4. Platform Nasional untuk Integrasi Data, Proyeksi Tenaga Kerja, dan Desain Kebijakan

Seluruh komponen --- kampus, pelaku industri, pemda, kementerian --- harus terhubung dalam satu sistem data nasional berbasis AI dan analitik prediktif, yang menyediakan:

Proyeksi kebutuhan tenaga kerja 5--10 tahun ke depan berdasarkan tren industri.
Data penyebaran keahlian lulusan berdasarkan wilayah.
Arah kebijakan pembangunan daerah berdasarkan potensi dan tantangan lokal.
Contoh sukses: SkillsFuture Singapore, platform nasional prediktif berbasis AI untuk kebutuhan skill nasional, yang jadi rujukan arah pendidikan dan pelatihan.

Mendesain ulang sistem bukan pekerjaan satu kementerian atau satu presiden. Ini adalah proyek peradaban. Jika Indonesia ingin berhenti menjadi bangsa yang pintar tapi tidak cerdas, maka seluruh elemen bangsa --- dari pemimpin nasional hingga wali kelas, dari CEO hingga tukang magang --- harus berada dalam satu ekosistem yang bukan hanya terhubung, tapi bernapas dalam tujuan yang sama: menciptakan bangsa yang bernalar, produktif, dan relevan.

B. Pendidikan Berbasis Problem Solving dan Adaptif

"Tujuan pendidikan bukanlah mengisi ember, tapi menyalakan api." --- William Butler Yeats

Indonesia telah terlalu lama mengisi ember. Tahun demi tahun, generasi demi generasi dijejali dengan hafalan, akreditasi, dan penilaian administratif yang tidak mencerminkan kompetensi kehidupan nyata. Maka, reformasi yang benar-benar menyentuh akar harus mengubah paradigma: dari mengisi kepala ke melatih cara berpikir, dari menghafal jawaban ke menemukan pertanyaan.

1. Paradigma Baru: Belajar untuk Menyelesaikan Masalah

Pendidikan harus menyiapkan anak muda menghadapi dunia nyata yang kompleks dan tidak terduga. Oleh karena itu, kurikulum harus:

Menyusun pembelajaran lintas-disiplin (interdisciplinary) yang menyentuh isu nyata: dari perubahan iklim, ekonomi digital, hingga ketahanan pangan.
Memberikan proyek berbasis komunitas atau kebutuhan lokal (misalnya: membuat sistem irigasi sederhana, membuat aplikasi UMKM lokal, merancang solusi transportasi desa).
Mendorong pelajar untuk merumuskan masalah, bukan hanya menjawab soal.
Studi dari World Economic Forum (2024) menunjukkan bahwa keterampilan utama abad ke-21 meliputi complex problem solving, analytical thinking, dan cognitive flexibility --- hal-hal yang tidak tumbuh dalam model ujian pilihan ganda.

2. Fleksibilitas Kurikulum: Modul Modular dan Microlearning

Kurikulum tidak bisa lagi kaku dan seragam. Pendidikan harus memberi ruang bagi siswa untuk:

Memilih jalur sesuai minat dan kebutuhan industri lokal.
Belajar dengan model blended learning dan microlearning, termasuk sertifikasi singkat dan proyek mandiri.
Berganti jalur bila perlu: dari teknik ke desain, dari agrikultur ke bisnis digital.
Model ini telah diterapkan di India dan Singapura melalui National Skill Development Corporation dan SkillsFuture Credit, di mana warga bisa belajar ulang dan menyesuaikan keahliannya sepanjang hidup.

3. Lingkungan Belajar yang Adaptif dan Inklusif

Pendidikan adaptif bukan hanya tentang konten, tapi juga ekosistem:

Sekolah dan kampus harus menyediakan ruang untuk eksperimen dan kegagalan yang produktif.
Guru/dosen menjadi fasilitator, bukan hanya penyampai materi.
Teknologi digunakan bukan untuk menggantikan guru, tapi memperluas jangkauan belajar dan mempercepat proses umpan balik.
Contoh nyata: di Finlandia, siswa diberi otonomi untuk mengeksplorasi topik dalam tim kecil dan mengevaluasi hasil kerja mereka sendiri --- hasilnya, bukan hanya nilai akademik yang naik, tapi juga self-efficacy dan kepedulian sosial.

Kalau kita terus memaksa anak-anak untuk menjawab soal yang bahkan tidak relevan dengan hidup mereka, kita sedang mencetak lulusan yang akan bingung --- dan mungkin frustrasi --- ketika menghadapi dunia yang tidak menyediakan kunci jawaban. Pendidikan Indonesia harus berubah dari "mengajar demi kelulusan" menjadi "belajar demi keberdayaan". Dari mencetak siswa ranking satu menjadi mencetak warga yang tahu bagaimana menyelesaikan masalah bersama. Inilah akar kecerdasan sejati.

C. Kebijakan Berbasis Evidence dan Kajian Lintas Sektor

"Tanpa data, Anda hanya seseorang dengan opini." --- W. Edwards Deming, pelopor manajemen mutu dan reformasi industri Jepang

Di tengah gempuran disinformasi dan kebijakan populis jangka pendek, Indonesia membutuhkan keberanian untuk kembali ke akar rasionalitas: membuat kebijakan berdasarkan bukti nyata, bukan hanya asumsi, kepentingan politik sesaat, atau pencitraan statistik yang manipulatif. Dalam konteks pendidikan dan pembangunan sumber daya manusia, hal ini menjadi sangat vital.

1. Mengakhiri Siklus Kebijakan Instan Tanpa Evaluasi

Selama ini, pergantian menteri atau kepala daerah sering berarti "restart kurikulum" dan "program baru" tanpa kelanjutan atau evaluasi. Akibatnya:

Banyak program pendidikan hanya bertahan satu periode, tanpa evaluasi dampak jangka panjang.
Dana riset pendidikan terserap untuk pilot project yang tidak pernah direplikasi.
Statistik digunakan untuk membenarkan kebijakan, bukan membentuknya.
Laporan World Bank (2022) menyebut bahwa Indonesia memiliki policy volatility index yang tinggi --- artinya kebijakan sering berganti sebelum dampaknya sempat terukur.

Solusinya:

Setiap kebijakan pendidikan harus disertai dengan baseline data, indikator output dan outcome, serta mechanism for revision.
Dibentuk Educational Evidence Council independen, berisi pakar multidisiplin yang bertugas mengevaluasi efektivitas kebijakan sebelum dan sesudah implementasi.

2. Integrasi Kajian Lintas Sektor

Masalah pendidikan tidak bisa diselesaikan oleh Kementerian Pendidikan saja. Ia adalah isu intersektoral yang menyentuh:

Ketenagakerjaan: Apakah lulusan sesuai dengan kebutuhan dunia kerja?
Industri dan Ekonomi Digital: Apakah keterampilan yang diajarkan adaptif terhadap perubahan teknologi?
Sosial-Budaya: Apakah kurikulum mencerminkan kebutuhan masyarakat lokal dan mendorong toleransi serta kerja sama?
Studi oleh OECD (2021) menunjukkan bahwa negara-negara dengan pertumbuhan pendidikan tercepat adalah yang memiliki policy coordination unit lintas kementerian yang bekerja dengan pendekatan data-driven dan goals-oriented.

Indonesia perlu membentuk unit lintas kementerian yang tidak hanya merancang, tapi menguji hipotesis kebijakan---seperti lab kebijakan hidup (living policy lab) yang dapat menciptakan model solusi lokal sebelum ditingkatkan skala nasional.

3. Memperkuat Literasi Data dan Keputusan Berbasis Sains

Kebijakan berbasis bukti tidak mungkin hidup dalam kultur yang anti-riset, atau yang lebih menghargai opini tokoh daripada fakta ilmiah. Maka:

Pendidikan birokrasi harus mencakup evidence-based governance.
Kampus dan lembaga riset perlu diberikan peran formal dalam perumusan kebijakan publik.
Dana APBN untuk riset sosial, pendidikan, dan pengukuran kebijakan ditingkatkan, tidak hanya difokuskan pada riset teknologi tinggi.
Pendidikan dan kebijakan Indonesia tak bisa lagi bertumpu pada semangat, slogan, dan spontanitas. Kita memerlukan pemimpin yang berpikir seperti ilmuwan---berani merumuskan hipotesis, mengujinya dengan data, dan mengakui kesalahan ketika kenyataan berkata lain. Tanpa keberanian berpikir berbasis bukti, Indonesia hanya akan menjadi bangsa pintar yang mengambil keputusan bodoh.

D. Roadmap 100 Tahun Pembangunan SDM dan Ekonomi Inklusif

"Pembangunan sejati bukan sekadar membangun gedung pencakar langit atau jalan tol, tapi membentuk manusia yang mampu menciptakan masa depan." --- Anies Baswedan, (2010), dalam forum Future of Education

1. Mengapa Harus 100 Tahun?

China punya visi 100 tahun, dimulai dari runtuhnya dinasti Qing hingga "100th Anniversary of the People's Republic" pada 2049. Singapura menyusun Masterplan 50 Tahun sejak merdeka. Sementara Indonesia? Berganti-ganti RPJMN setiap 5 tahun, tanpa kesinambungan visi besar jangka panjang.

Membangun manusia dan ekosistem ekonomi inklusif bukan proyek 5 tahunan, tapi proyek peradaban. Visi seratus tahun bukan utopia---ia adalah kerangka kerja untuk menghindari zig-zag kebijakan dan menciptakan bangsa yang bukan hanya mengejar pertumbuhan, tetapi kematangan dan kedaulatan.

2. Elemen Kunci Roadmap 100 Tahun

a. Fase 1 (2025--2045): Fondasi Pengetahuan dan Tata Kelola

Redesign sistem pendidikan nasional berbasis problem solving, adaptability, dan karakter.
Reformasi radikal perguruan tinggi berbasis research and innovation driven.
Penguatan sistem merit di birokrasi dan kampus.
Pendataan dan pemetaan kebutuhan industri masa depan (anticipatory labour mapping).
b. Fase 2 (2046--2075): Konsolidasi Ekosistem Inovasi dan Kewirausahaan Inklusif

Pendidikan difokuskan pada STEM, teknologi terapan, ekonomi kreatif, dan kewirausahaan sosial.
Industrialisasi berbasis sains dan teknologi lokal (biofarmaka, maritim, digitalisasi UMKM).
Link and match antara pendidikan dan dunia kerja tidak sekadar jargon, tetapi terstruktur dalam kebijakan fiskal dan insentif.
Kota-kota baru sebagai pusat inovasi dan pelatihan vokasional digital.
c. Fase 3 (2076--2125): Indonesia sebagai Ekosistem Talenta Global

Transformasi menjadi knowledge economy dan human-centered AI state.
Ekspor SDM berkeahlian tinggi bukan karena surplus pengangguran, tetapi karena surplus kompetensi.
Keberagaman budaya dan geografi menjadi modal inovasi, bukan sumber konflik.
Indonesia menjadi negara inklusif berbasis equity dan sustainability.

3. Parameter Keberhasilan Pembangunan SDM 100 Tahun

Indeks Kemampuan Adaptif Nasional (IKA-Nas): Seberapa cepat rakyat belajar ulang dan beralih profesi.
Rasio Integrasi Pendidikan--Industri (RIPI): Seberapa banyak lulusan langsung terserap oleh sektor strategis.
Indeks Inovasi Inklusif (III): Jumlah inovasi yang berasal dari daerah 3T dan pelaku non-elit.
Kepuasan Hidup Warga (National Life Quality Index): SDM bukan hanya produktif, tapi juga well-being.

4. Pentingnya Visi Lintas Rezim

Roadmap ini harus dibentengi oleh komitmen lintas generasi dan rezim. Hal ini hanya mungkin jika:

Diperkuat oleh Undang-Undang Jangka Panjang SDM dan Ekonomi Nasional.
Disahkan oleh parlemen dan dikawal oleh Dewan Nasional Masa Depan Indonesia---sebuah badan independen, non-politik, berisi ilmuwan, negarawan, dan tokoh lintas sektor.
Indonesia tidak kekurangan SDM, tetapi kekurangan rencana jangka panjang yang konsisten, inklusif, dan berbasis data. Tanpa roadmap 100 tahun, kita hanya akan terus "belajar untuk menganggur," seperti kisah klasik Sarjana Muda. Namun jika visi ini dimulai hari ini, kita tak lagi hanya mengandalkan slogan "emas 2045," tetapi bisa bermimpi menjadi peradaban yang beradab pada 2125.

VII. Penutup: Indonesia Harus Belajar dari Cermin Retaknya Sendiri

Refleksi Akhir

Indonesia selama ini seperti cermin yang retak---terlihat refleksi kemajuan, tapi retakan dalamnya memecah-belah gambaran sebenarnya. Kita sering memandang negara-negara lain sebagai tolok ukur keberhasilan, mengagumi laju pembangunan Singapura, China, atau India. Namun, sesungguhnya yang paling penting adalah keberanian kita menatap dan mengakui retakan dalam cermin kita sendiri.

Jika Indonesia ingin keluar dari status "gap sistemik" antara pendidikan dan industri yang sudah mendarah daging, bukan cukup hanya meniru apa yang dilakukan negara lain secara mekanis. Kita harus mulai dengan kejujuran: mengakui bahwa selama ini banyak kebijakan berjalan tanpa evaluasi jujur, pendidikan mencetak lulusan tanpa arah jelas, dan lapangan kerja yang tersedia jauh dari kebutuhan riil masyarakat.

Kejujuran ini adalah fondasi untuk perubahan. Ia mengajak kita introspeksi bukan dengan rasa malu yang membelenggu, tetapi dengan semangat pembaruan yang berakar pada realitas. Hanya dengan menyelami kegagalan kita sendiri, kita dapat mengurai benang kusut yang menghambat kemajuan.

Indonesia memiliki potensi luar biasa: sumber daya alam yang kaya, demografi muda, dan kekayaan budaya yang beragam. Namun, potensi itu akan menjadi ilusi tanpa fondasi sistemik yang kuat. Membangun bangsa yang cerdas bukan sekadar melahirkan sarjana muda, tapi sarjana yang mampu mencipta, beradaptasi, dan berinovasi dalam ekosistem yang sinergis.

Lagu "Sarjana Muda" Iwan Fals bukan hanya kritik masa lalu, melainkan peringatan yang terus relevan hari ini. Sudah saatnya kita menjadikan lagu itu sebagai refleksi kolektif, bukan sekadar nostalgia. Melalui kejujuran, reformasi sistemik, dan visi jangka panjang, Indonesia bisa bertransformasi dari bangsa "pintar tapi tidak cerdas" menjadi bangsa yang mampu menulis sejarahnya sendiri dengan tinta emas.

Maka, cermin retak itu bukan tanda kehancuran, melainkan panggilan untuk memperbaiki---memperkuat, dan menyatukan diri. Bila kita berani memandangnya, jalan menuju Indonesia yang benar-benar maju dan bermartabat akan terbuka lebar.

Seperti kata seorang pemikir kontemporer, "Kecerdasan sejati bukan terletak pada seberapa tinggi nilai ujian, tapi pada seberapa mampu menghadapi realitas."

Kalimat ini mengingatkan kita bahwa ukuran keberhasilan pendidikan dan bangsa bukan sekadar angka atau gelar yang disandang, melainkan kemampuan adaptasi dan solusi yang dihadirkan dalam menghadapi tantangan nyata kehidupan. Indonesia, dengan segala kelebihan dan kelemahannya, sedang berdiri di persimpangan jalan antara terus menjadi "pintar tapi tidak cerdas" atau bertransformasi menjadi bangsa yang benar-benar cerdas --- bangsa yang mampu mentransformasikan pengetahuan menjadi kemajuan yang bermakna.

Mengakhiri perjalanan kritik ini, mari kita jadikan refleksi ini sebagai panggilan bangkit, bukan hanya untuk pemerintah dan institusi pendidikan, tapi untuk seluruh anak bangsa. Saatnya kita bersama-sama membangun Indonesia yang tidak sekadar mampu mencetak sarjana muda, tapi juga mampu mencetak solusi nyata bagi bangsa dan dunia.

Daftar Pustaka

1. Badan Pusat Statistik (BPS). (2023). Statistik Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta: BPS.
 [Data pengangguran lulusan pendidikan tinggi dan ketidaksesuaian pasar kerja]
2.  World Bank. (2022). Indonesia Economic Prospects: Navigating Uncertainty. Washington, DC: World Bank. [Laporan ekonomi dan analisis ketenagakerjaan]
3. Iwan Fals. (1981). Sarjana Muda [Lagu]. Album Opini. [Sebagai refleksi kritik sosial historis]
4. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2023). Laporan Statistik Pendidikan Tinggi. Jakarta: Kemendikbudristek.  [Data terkait sistem pendidikan dan kurikulum]
5. World Economic Forum. (2023). The Global Competitiveness Report.  [Komparasi indeks daya saing nasional dan pembangunan SDM]
6. Lee, J., & Lee, K. (2019). Education Reform and Economic Growth in East Asia. Journal of Asian Economics, 64, 101145.  [Studi kasus pendidikan di China dan Singapura]
7. Nayar, S., & Nair, R. (2021). India's STEM Workforce and Digital Transformation. International Journal of Educational Development, 82, 102355.  [Kebijakan SDM dan digitalisasi di India]
8. Al Maktoum, M. (2022). From Oil to Innovation: The UAE's Economic Diversification Strategy. Middle East Economic Review, 18(3), 45-62.  [Transformasi ekonomi UEA]
9. Transparency International. (2024). Corruption Perceptions Index. [Data korupsi dan pengaruhnya pada birokrasi dan lembaga pendidikan]
10. Suryadarma, D., & Suryahadi, A. (2018). Challenges in Indonesian Education: Quality and Equality. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 54(1), 23-49. [Analisis sistem pendidikan dan masalah kualitas]
11. Nasution, A., & Susanto, H. (2020). Mismatch in Indonesian Labor Market: Skills and Education. Journal of Southeast Asian Economies, 37(2), 198-217. [Data dan analisis ketidaksesuaian lulusan dan kebutuhan kerja]
12. World Bank Group. (2019). Indonesia's Education Sector Review: Systemic Challenges and Policy Directions. Washington, DC: World Bank. [Evaluasi sistem pendidikan Indonesia]
13. Friedman, T. L. (2016). Thank You for Being Late: An Optimist's Guide to Thriving in the Age of Accelerations. New York: Farrar, Straus and Giroux. [Konsep adaptasi dalam dunia yang berubah cepat]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun