A. Tantangan Struktural: Militerisasi, Fragmentasi Otoritas, Keterbatasan Ruang Sipil
"Sebelum damai bisa mengakar, tanahnya harus dibersihkan dari jeruji, ranjau, dan tembok yang tak kasat mata."
Mengimajinasikan People Power non-kekerasan ala Gerakan 212 di tanah Palestina bukanlah perkara mudah. Di balik kekaguman atas narasi damai di Jakarta, muncul kesadaran pahit bahwa Palestina terkungkung dalam realitas struktural yang jauh lebih rumit---sebuah labirin sejarah yang membenturkan harapan terhadap kenyataan keras militerisasi dan disintegrasi sosial-politik.
Pertama, militerisasi ruang hidup.
Berbeda dengan Jakarta yang relatif terbuka dan dilindungi konstitusi atas hak berkumpul, rakyat Palestina hidup dalam realitas yang diawasi, dijajah, dan dikepung. Di Gaza, kehidupan dibingkai dalam bayang-bayang drone dan pengawasan udara. Di Tepi Barat, checkpoint militer dan pemukiman ilegal merampas ritme normal sebuah kota. Bahkan di dalam rumah mereka sendiri, orang Palestina tahu bahwa dinding bisa ditembus oleh peluru atau interogasi sewaktu-waktu. Dalam lanskap seperti itu, menyalakan obor mobilisasi sipil tanpa kekerasan tak hanya membutuhkan keberanian moral, tapi juga struktur proteksi sosial-politik yang hampir tidak ada.
Kedua, fragmentasi otoritas.
Di Indonesia, meski dinamika politik tak sederhana, Gerakan 212 bisa berkembang karena ada titik temu minimal antara elemen masyarakat, elite agama, dan negara. Namun di Palestina, peta kekuasaan terpecah: ada Hamas di Gaza, Otoritas Palestina di Tepi Barat, faksi-faksi lain yang saling curiga, dan rakyat sipil yang kerap menjadi korban dari konflik internal. Bagaimana mungkin satu narasi bisa merangkul semuanya, jika tubuh gerakannya saja belum menemukan kesatuan? Inilah tantangan serius: membentuk trust level yang cukup untuk menyatukan langkah---bukan dalam retorika perlawanan bersenjata, tapi dalam proyek kolektif tanpa kekerasan.
Ketiga, keterbatasan ruang sipil.
Gerakan 212 tidak lahir dalam ruang hampa. Ia tumbuh dalam ekosistem media sosial, jaringan dakwah, dan kebebasan publik yang (walau tak sempurna) tetap memungkinkan ekspresi. Di Palestina, ruang sipil telah diekang oleh militer asing, disensor oleh faksi dalam negeri, dan dibungkam oleh rasa trauma kolektif yang berkepanjangan. Aktivis bisa ditangkap, jurnalis dibungkam, dan internet bisa dimatikan. Dalam ruang seperti ini, strategi mobilisasi butuh inovasi yang melampaui cara-cara konvensional.
Namun, justru dari tantangan-tantangan inilah bisa muncul kemungkinan terobosan. Seperti hukum dalam Sistem Kompleks Adaptif, tekanan sistemik sering melahirkan pola-pola baru yang tak terduga. Mungkin bentuk mobilisasi damai di Palestina tidak akan meniru 212 secara teknis, tapi mewarisi jiwanya: penolakan terhadap kekerasan, konsolidasi lintas batas, dan narasi publik yang menyatukan tanpa menakut-nakuti.
"Gerakan besar bukan dilahirkan oleh ruang yang sempurna, tapi oleh tekad yang tak bisa dihentikan meski di ruang paling sempit."
Mobilisasi sipil Palestina yang efektif bukanlah ilusi. Tapi ia menuntut lebih dari sekadar keberanian: ia menuntut rekayasa sosial yang matang, jejaring global yang mendukung, dan imajinasi politik yang melampaui logika senjata. Seperti benih dalam tanah berbatu, gerakan damai bisa tumbuh, jika ada cahaya cukup dari solidaritas dunia.
B. Potensi Taktis: Diaspora Palestina, Jaringan Solidaritas Global, Teknologi Digital
"Jika tanah ditutup oleh tembok, maka udara dan cahaya akan menjadi jalur baru bagi perlawanan yang tak bersenjata."