Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendekatan CAS dan Black Swan untuk Solusi Palestina yang Permanen

4 Juni 2025   11:43 Diperbarui: 4 Juni 2025   11:43 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Terlalu banyak feedback positif bisa menyebabkan overekspansi tak terkendali dan mengarah ke anarki,

Terlalu banyak feedback negatif bisa menyebabkan stagnasi atau depresi kolektif.

Namun dalam kasus 212, loop positif menjaga semangat dan partisipasi, sedangkan loop negatif menahan sistem dari gangguan dan deviasi. Ini menciptakan semacam dynamic equilibrium, yakni ketertiban dalam gerakan besar tanpa represi atau kontrol otoriter.

Dalam bahasa Talebian (Nassim Nicholas Taleb), sistem seperti ini bukan sekadar "resilient"---tetapi antifragile: bukan hanya mampu bertahan dari guncangan, tetapi justru menjadi lebih kuat ketika ditekan, selama feedback-nya bekerja secara seimbang.

"A system is antifragile when it loves volatility, stressors, and disorder---because they make it learn and adapt." --- Taleb, 2012

Gerakan 212 menjadi studi kasus unik tentang bagaimana feedback loops dalam CAS bisa menciptakan intelligent order dari bawah, dan membuka ruang untuk melihat potensi skenario serupa di konteks Palestina.

C. Interaksi Adaptif Antar Aktor: Ulama, Aparat, Masyarakat, dan Elite Politik

Dalam kerangka Sistem Kompleks Adaptif (CAS), aktor-aktor sosial bukan entitas pasif atau linier. Mereka adalah agen dinamis yang saling membaca, merespons, dan menyesuaikan tindakan berdasarkan sinyal dari lingkungan serta satu sama lain. Gerakan 212 adalah salah satu contoh paling mencolok tentang bagaimana empat simpul utama dalam sistem sosial-politik---ulama, aparat, masyarakat, dan elite politik---berinteraksi secara adaptif, bukan reaktif semata.

1. Ulama: Pemegang Narasi Moral dan Pengarah Ritme Gerakan

Ulama dalam Gerakan 212 tidak hanya berfungsi sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai pengatur resonansi moral. Mereka memformulasikan tuntutan dalam bahasa yang tidak hanya politis, tetapi juga etis dan emosional. Ulama menjadi semacam node sentral yang mampu mengharmonisasikan diferensiasi niat di antara jutaan orang.

Namun kekuatan mereka justru terletak bukan pada instruksi koersif, melainkan kemampuan menciptakan ruang artikulasi yang dipercaya. Narasi seperti "Aksi damai adalah bagian dari ibadah" menciptakan kode etik internal yang secara tak langsung mengikat massa tanpa perlu tekanan struktural.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun