Istilah infantilisasi digital merujuk pada proses regresif ini---yakni kemunduran fungsi reflektif dan kritis menjadi hanya responsif, impulsif, dan dangkal---seperti anak kecil yang hanya mencari "mainan baru" tiap beberapa detik. Joget velocity adalah mainan sempurna itu.
Konten cepat tak hanya memanjakan otak---ia juga memperpendek rentang fokus, mematikan hasrat intelektual, dan menjadikan kebosanan sebagai musuh utama. Padahal dalam kebosanan, kreativitas dan refleksi biasanya tumbuh.
Studi Kasus: Remaja dengan Gangguan Konsentrasi Pasca Overconsumption Konten Cepat
Di sebuah sekolah menengah di Jakarta Selatan, seorang guru melaporkan bahwa lebih dari separuh siswanya tak bisa duduk fokus selama 10 menit dalam sesi diskusi. Ketika ditelusuri, hampir semua dari mereka menghabiskan rata-rata 4--6 jam sehari hanya untuk scrolling TikTok atau YouTube Shorts.
Salah satu siswa, sebut saja "A", mengaku bahwa setiap ia mencoba membaca buku, "suara beat TikTok" muncul di kepalanya, membuatnya gelisah. Ia mengalami apa yang para ahli sebut sebagai dopamine fatigue---yakni kelelahan sistem reward otak akibat stimulasi yang terlalu sering dan terlalu instan.
Data Statistik: Screen Time dan Gangguan Atensi
Fenomena ini bukan anekdotal semata. Studi yang dipublikasikan dalam JAMA Pediatrics (2022) melibatkan 3.000 remaja dan menemukan bahwa:
Remaja yang menghabiskan >3 jam per hari di TikTok memiliki risiko 60% lebih tinggi mengalami gangguan perhatian.
Korelasi tersebut lebih kuat dibandingkan dengan bentuk media lainnya (TV, game, bahkan Instagram).
Konten berformat cepat dengan audio dan visual intens secara langsung menurunkan kapasitas fokus jangka panjang.
Ini bukan hanya "masalah remaja malas"---ini adalah hasil langsung dari desain sistematis yang mengeksploitasi neuroplastisitas otak muda.