Masalahnya bukan cuma nilai tukar. Masalahnya adalah kepercayaan. Dan sayangnya, kepercayaan itu rapuh. Nggak kayak password WiFi tetangga yang selalu diganti tiap minggu, kepercayaan terhadap mata uang bisa anjlok cuma gara-gara gosip, berita viral, atau tindakan kolektif yang terlihat wajar tapi mematikan.
Contohnya? Seseorang beli dolar karena takut Rupiah jatuh. Lalu orang lain ikut-ikutan. Permintaan dolar naik. Bank-bank mulai menyesuaikan kurs. Rupiah melemah beneran. Panic buying pun terjadi. Lalu pemerintah gelagapan, rakyat makin panik, dan boom---yang semula cuma kekhawatiran... jadi krisis sungguhan. Inilah yang disebut self-fulfilling prophecy.
Ini bukan teori doang. Kita udah lihat buktinya di negara-negara yang gagal menjaga kepercayaan terhadap mata uangnya:
Zimbabwe (2007--2009): Saking parahnya inflasi dan kehilangan kepercayaan terhadap dolar Zimbabwe, orang-orang lebih percaya barter pakai telur, sabun, atau bahkan kondom, daripada uang resmi negara. Pemerintah cetak uang terus, rakyat panik, nilai uang anjlok dari jam ke jam. Hasil akhirnya? Mereka harus ngemis dolar AS dan Rand Afrika Selatan untuk menyelamatkan ekonomi.
Venezuela (2014--sekarang): Ketika pemerintah terus nyetak uang untuk membayar subsidi dan utang tanpa cadangan yang kuat, inflasi meledak hingga jutaan persen. Masyarakat kehilangan kepercayaan total terhadap Bolivar. Bahkan warga lokal lebih percaya dengan mata uang asing, kripto, atau... ya itu tadi, sistem barter. Sekali kepercayaan hilang, uang pun hanya jadi kertas bersampul tokoh sejarah.
Turki (2021--2023): Bahkan negara dengan ekonomi lebih besar pun nggak kebal. Ketika Erdogan berkukuh menurunkan suku bunga di tengah inflasi tinggi, investor dan rakyat hilang kepercayaan. Lira jatuh bebas. Rakyat ramai-ramai tukar simpanan ke Dolar dan Emas. Makin banyak yang pindah, makin dalam jurangnya.
Indonesia belum di titik itu, tapi sinyal-sinyalnya sudah muncul: rupiah melemah, permintaan dolar naik, dan narasi "Rupiah tak aman" makin sering terdengar di warung kopi sampai Twitter. Dan kalau itu nggak segera dikendalikan, bukan mustahil kita mengulang kisah-kisah kelam negara lain. Bukan karena faktor eksternal doang, tapi karena rakyatnya sendiri ramai-ramai mundur dari kepercayaan terhadap uangnya sendiri.
4. Antara Survival Individu dan Kepentingan Kolektif: Rasional Buat Diri Sendiri, Merusak Buat Semua
Coba kita jujur aja: siapa sih yang gak tergoda nabung dolar waktu lihat Rupiah makin nyungsep? Rasional, kan? Harga barang impor naik, nilai tabungan menyusut, inflasi diam-diam ngisep gaji kita. Maka, beli dolar---atau emas, atau bahkan stablecoin---jadi pilihan self-defense finansial yang masuk akal. Masuk akal secara individu.
Masalahnya? Kalau terlalu banyak orang mikir kayak gitu, sistemnya kolaps. Ibarat orang rebutan keluar dari bioskop karena denger ada bau asap. Rasional secara pribadi, tapi kalau semua orang panik bareng, yang terjadi bukan penyelamatan... tapi desak-desakan yang bisa membunuh.
Inilah paradoks tragis di ekonomi modern: rasionalitas individu tidak selalu berujung pada rasionalitas kolektif. Bahkan sebaliknya, bisa memicu tragedy of the commons. Seperti panik beli BBM waktu isu subsidi dicabut, atau borong minyak goreng pas harga mulai naik. Kepanikan adalah virus yang menular lewat logika yang masuk akal.