Aku masih belum puas. Belum tuntas rasaku, belum habis rinduku, tapi kau sudah bersiap untuk undur diri. Kau tinggalkan jejak-jejak cahaya di relung hatiku: malam-malam panjang bertadarus, air mata taubat yang tumpah di sepertiga malam, dan kehangatan sahur yang penuh berkah. Kenangan itu terpatri terlalu dalam, terlalu indah untuk dilupakan---tapi juga terlalu pedih untuk dilepaskan.Â
Ramadan, jangan pergi dulu. Atau setidaknya, bawa serta semua doaku. Aku ingin berlari mengejarmu, memohon pada Allah agar pertemuan kita tahun depan bukan sekadar angan.Â
"Selamat tinggal, bulan yang mulia. Kau pergi, tapi bekasmu takkan pernah hilang dari hatiku."
Pesan Sederhana untuk Sang Kekasih
Ramadan...Â
Aku bukan pujangga yang pandai merangkai syair indah. Bukan penyair yang mahir menulis puisi penuh makna. Juga bukan ahli pantun yang bisa menyusun kata-kata santun nan menggetarkan.Â
Aku hanya hamba biasa, dengan bahasa yang sederhana dan hati yang jujur.Â
Maka izinkan aku menitip pesan melalui dirimu, wahai bulan suci:Â
"Ya Allah, jika Engkau berkenan memanjangkan umurku dengan barakah, izinkan aku bertemu Ramadan lagi tahun depan. Jangan biarkan aku sendirian. Aku ingin bersama keluarga tercinta, merajut malam dengan doa, menyambung siang dengan ibadah, dan mengukir hari-hari dengan ketaatan pada-Mu."
Ramadan, sampaikanlah bisikan hatiku ini. Aku tak butuh kata-kata indah, yang kupinta hanya kesempatan untuk lebih dekat pada-Nya, bersama orang-orang yang kucintai. Â Amin, ya Rabbal 'alamin.
Lepas Rindu di Ujung Waktu
Ramadan...Â
Jika memang saatnya kau harus pergi, aku takkan bisa menahammu. Takkan kuberontak pada takdir yang telah Allah tetapkan. Aku hanya bisa berdiri di pintu perpisahan ini dengan mata berkaca, melambaikan tangan sambil berbisik lirih:Â
"Selamat jalan, wahai bulan mulia yang penuh cahaya rahmat..."
"Selamat jalan, wahai musim ibadah yang penuh berkah dan ampunan..."
"Selamat jalan, wahai kekasih Allah yang selalu dirindukan jiwa-jiwa yang haus akan ketenangan..." Â