Mohon tunggu...
asep ramadhan
asep ramadhan Mohon Tunggu... profesional -

Belajar membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Money

Mengapa Orang Seperti  RJ Lino Wajib "Diganggu?" (1)

26 Oktober 2015   16:52 Diperbarui: 26 Oktober 2015   19:11 1088
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini adalah tulisan bantahan atas opini Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Indonesia, Prof Dr Rhenald Kasali.

Ada banyak alasan mengapa orang seperti RJ Lino wajib "Diganggu".

Tapi kita kita mulai tulisan dari amandemen konsesi Terminal Petikemas JICT TPK Koja. Berikutnya nanti kita ulas GCG Pelindo II, pelanggaran rekomendasi Panja DPR, investasi alat, kesejahteraan pekerja non organik, dll. Kesimpulan akhirnya, orang seperti RJ Lino memang wajib "diganggu".

JICT dan TPK Koja merupakan dua anak usaha Pelindo II. Keduanya tercatat sebagai terminal petikemas terbesar di Indonesia. Jika produktivitas kedua terminal digabung maka per tahun menghasilkan troughput 3,2 juta TEUs atau 3,2 juta box container ukuran 20 feet. 

Kedua terminal memiliki banyak kesamaan. Sama-sama  dimiliki Pelindo II dan HPH, sama-sama diprivatisasi. Konsesi TPK Koja berakhir tahun 2018. JICT berakhir tahun 2019.

Tahun 2012 atau 7 tahun sebelum berakhirnya konsesi, Pelindo II menawarkan proposal perpanjangan konsesi kepada Hutchison Port Holdings (HPH). Di dalam pemerintahan saat itu, upaya Pelindo II memperpanjang konsesi terganjal sikap Menteri BUMN Dahlan Iskan yang berharap jika proses perpanjangan dilakukan tetap harus mengacu pada prosedur yang berlaku. Misalnya saja aturan konsesi di UU Pelayaran serta  dilakukan melalui tender terbuka. Tapi dalam berbagai kesempatan  Menteri BUMN Dahlan Iskan menyatakan privatisasi JICT tidak diperlukan karena negara tidak sedang dalam keadaan krisis seperti tahun 1999.


Kementerian Perhubungan juga sama, tegas menolak perpanjangan konsesi JICT dan TPK Koja sebelum Pelindo II mengurus ijin konsesi kepada Kementerian Perhubungan. Dalam UU Pelayaran jelas dan tegas, ijin konsesi hanya diberikan Otoritas Pelabuhan, sebuah lembaga pemerintah yang ditugaskan mengawasi operasional pelabuhan berdasarkan UU Pelayaran No 17/2008.

Ironisnya, Dirut Pelindo II RJ Lino mengabaikan semua keberatan kedua kementerian teknis tersebut. Bahkan tanggal 8 Agustus 2014 Pelindo II memasang iklan 1 halaman penuh di Harian Kompas. Isinya pemberitahuan tentang sudah ditandatanganinya perpanjangan konsesi JICT dan TPK Koja sampai tahun 2039. Lebih cepat 4 tahun dari masa konsesi tahap 1.

Ingat, tanggal 8 Agustus 2014 adalah masa transisi pemerintahan dari SBY ke Jokowi. Menseskab Dipo Alam mengeluarkan instruksi kepada pejabat pemerintah untuk tidak mengeluarkan keputusan strategsi dalam masa transisi tersebut.

Dalam iklan yang juga dipasang di Harian Bisnis Indonesia tersebut, Pelindo II menyebutkan sejumlah alasan amandemen konsesi JICT dan TPK Koja.

Pertama, saham Pelindo II naik 2% dari sebelumnya 49% menjadi 51%. Sebaliknya HPH yang semula 51% menjadi 49%.
Kedua, Pelindo II menerima uang muka (up front fee) sebesar 250 juta US dollar. (Setelah mendapat kritikan dari Serikat Pekerja JICT, uang muka naik USD 15 juta menjadi USD 265 juta. Ketiga, peningkatan sewa dari 60 juta US dollar menjadi 120 juta US dollar per tahun. Keempat, potensi pendapatan dari Terminal II yang selama ini tidak dioperasikan JICT, jika dikelola Pelindo II bisa mendapat 27 juta US dollar per tahun.

Mari kita analisis dengan data-data kedua terminal petikemas (JICT dan TPK Koja) yang sangat gamblang.

Pertama, ketika JICT diprivatisasi  tahun 1999 valuasi terminal petikemas tersebut sebesar US $550 juta dollar. Para investor diundang untuk mengajukan penawaran. Tanggal 25 Maret 1999, Kementerian BUMN mengumumkan menjual JICT sebesar US$ 215 juta tahun tersebut. Ini ditambah lagi dengan dana inkind injection untuk pengembangan IT dan fasilitas sebesar USD 28 juta, jadi total sebesar USD 243 juta.

Pada saat diprivatisasi tahun 1999, fasilitas dan peralatan eksisting antara lain luas lahan 25 hektar (T1 & T2); 6 unit QC T1,3 Unit QC T2, 22 unit RTGC, 3 HMC. Arus bongkar muat (troughput) di UTPK tahun 1998 sebesar 1,4 juta TEUs.

Menurut Pelindo II, dalam amandemen konsesi Pelindo II akan menerima uang muka sebesar 250 juta US dollar. Jika acuannya arus petikemas (troughput), seharusnya angkanya lebih besar dari tahun 1999.

Apalagi dengan digabungkannya TPK Koja yang melayani bongkar muat 850.000 TEUs tahun 2013 lalu, serta JICT lebih dari 2,2 juta TEUs maka penggabungan keduanya sebesar 3,1 juta TEUS atau dua kali lipat dari tahun 1999 yang hanya 1,4 juta TEUs!

Dilihat dari sisi fasililas dan peralatan, kondisinya juga jauh berbeda. Luas lahan JICT dan TPK Koja 50 hektar (tanpa terminal II yang diambil alih Pelindo II), 14 Unit QC JICT dan 4 SS Panamax, serta 5 unit QC di TPK Koja, RTGC 56 unit di JICT (12 di antaranya hybrid system) dan 16 unit TPK Koja.

Dari sisi valuasi itu saja, sudah kelihatan angka sebesar 265  juta dollar yang diterima Pelindo II nilainya sangat tidak sebanding dengan USD 243 juta tahun 1999!  Seharusnya angkanya meningkat dua kali lipat mengingat pertumbuhan arus bongkar muat yang juga meningkat dibandingkan tahun 1999.

Kedua, peningkatan sewa yang disebutkan Pelindo II sebesar USD 120 juta per tahun pasca amandemen konsesi sama sekali TIDAK SEBANDING dengan pembagian deviden sebesar 49% kepada HPH. Saat ini JICT punya pendapatan USD 250 juta, sedangkan TPK Koja sebesar USD 100 juta, penggabungan pendapatan keduanya sebesar USD 350 juta. Jika Pelindo II menguasai saham 100% saat berakhirnya konsesi, maka semua pendapatan JICT dan TPK Koja akan sepenuhnya masuk kepada pemerintah tanpa perlu dibagi dengan pihak asing. 

Ketiga, pendapatan sebesar USD 350 juta (akan terus bertambah setiap tahun seiring dengan pertumbuhan ekonomi) masih akan bertambah lagi dengan peningkatan pendapatan dari Terminal II yang akan dioperasikan Pelindo II

Jika Pelindo II menghitung pendapatan dari Terminal II sebesar USD 27 juta, maka total pendapatan dari terminal petikemas yang masuk ke pemerintah sebesar USD 377 juta! Tidak sebanding dengan angka USD 120 juta yang akan diterima Pelindo II, yang kita tahu rental fee sebesar itu pun dibayar JICT dan TPK Koja. Bukan dibayar oleh HPH.

Keempat, kewajiban membayar USD 58 juta pada saat berakhirnya konsesi tahun 2018 tidak ada artinya dibandingkan dengan dengan pendapatan yang akan diterima PELINDO II (pemerintah) sebesar USD 337 juta selam terminal petikemas beroperasi.

Kelima, jika Pelindo II mengatakan dengan Amandemen Konsesi saham pemerintah menjadi mayoritas 51%, maka pada saat konsesi berakhir PELINDO II akan menguasai 100% saham! Bandingkan lebih besar mana 51% dengan 100%?

Keenam, Kementerian Perhubungan sejak awal  menyebutkan amendemen perjanjian kerja sama usaha dan operasi antara PT Pelindo II Persero dan Hutchison Port Holding dalam pengelolaan PT Jakarta International Container Terminal JICT dan Terminal Peti Kemas Koja TPK melanggar prosedur yang ada.  Amendemen tersebut dilakukan tanpa adanya pemberian konsesi dari Kantor Otoritas Pelabuhan Utama Tanjung Priok selaku penyelenggara pelabuhan. Pejabat Kementerian saja sudah mengatakan pelanggaran, kenapa harus memaksakan? 

Ketujuh, Indonesia adalah negara besar, berpenduduk besar yang memiliki potensi pasar luar biasa. Negara-negara luar membutuhkan Indonesia, membutuhkan pelabuhan-pelabuhan Indonesia. Itu artinya, kita tidak pernah cemas kehilangan pasar dari negara-negara luar atau sebaliknya.

Saatnya bangsa Indonesia mandiri, berdaulat dan memiliki kepercayaan diri untuk mengelola sepenuhnya aset-aset milik negara untuk sebesar-besarnya digunakan bagi kepentingan bangsa.

Maka sungguh aneh jika orang seperti RJ Lino yang sudah jelas menjual aset bangsa dengan harga sangat murah dibela mati-matian. Pembelaan membabi buta terhadap RJ Lino benar-benar sungguh mematikan nalar kita sebagai anak-anak bangsa yang diwarisi semangat Trisakti Bung Karno.

Semua rakyat Indonesia seharusnya tidak membiarkan orang seperti RJ Lino menjual aset negara dengan harga murah. JICT dan TPK Koja tetaplah anak usaha Pelindo II yang merupakan sebuah perusahaan BUMN, di dalamnya melekat tulisan “Milik Negara!”. ***[caption caption="Finalisasi pembahasan amandemen konsesi JICT TPK Koja antara Pelindo II dan HPH (Foto: Majalah Tempo)"][/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun