Mohon tunggu...
Asep Imaduddin AR
Asep Imaduddin AR Mohon Tunggu... Guru - Berminat pada sejarah

Alumnus PP Darussalam Ciamis dan Sejarah UPI. Bergiat di Kolektif Riset Sejarah Indonesia. asepdudinov@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menghalau Pegal di Tanah Haram

23 Desember 2017   16:13 Diperbarui: 4 Januari 2018   12:59 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebelum take off (Dokumentasi pribadi)

Bapak sudah mewanti-wanti sejak dulu. Berhaji itu sepenuhnya adalah ibadah fisik, finansial saja tak akan sempurna bila tak dibarengi dengan bekal tenaga dan stamina yang cukup prima. Kalau bisa, berangkat ke tanah suci itu selagi masih muda, biar ke sana ke mari tak merepotkan petugas dan teman rombongan. Apalagi prosesi keberangkatan haji, mulai dari tanah air, berada di sana, dan kembali ke tanah air memakan waktu yang cukup lama.

Bapak tidak sedang berteori belaka. Ia merasakannya sendiri. Kesempatannya pergi haji tahun 2008 silam sekaligus sebagai salah satu petugas Tim Pembimbing Haji Indonesia (TPHI) memberikan pengalaman yang berharga bagi kami.

Ia berkisah bahwa sebagai petugas, ia mesti berkewajiban mengontrol kondisi jemaah haji di bawah bimbingannya plus melaporkannya ke kantor sektor yang jaraknya cukup jauh dari pemondokan. Bapak yang ketika menjadi petugas haji sudah berusia 55 tahun, tak jarang mengalami pegal-pegal yang berakibat mesti mengistirahatkan kakinya agar kembali fit seperti semula.

Dengan berseloroh, ia berucap bahwa kaki dan betis mesti kuat, karena di sana-Mekkah Madinah dan sekitarnya-kalau mau ke mana-mana mesti jalan kaki. Ada sih transportasi yang difasilitasi oleh Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Saudi Arabia selaku pelayan jemaah haji seluruh negara yang datang ke tanah suci, namun tetap saja stamina untuk kuat berjalan cukup dominan. Siap-siap saja kaki dan betis akan pegal. Kami-saya dan istri-hanya senyum-senyum saja. Bapak tak tahu bahwa Geliga Krim bisa menjadi pilihan untuk mengatasi rasa pegal yang kerap mendera jika berjalan kaki dalam jangka waktu yang cukup lama.

Berkali-kali bapak katakan itu kepada kami ketika bercakap-cakap dan meminta wejangan untuk kami yang diberikan kesempatan pergi haji pada tahun 2016 lalu. Saya dan istri manggut-manggut saja sambil membayangkan bagaimana sebenarnya nanti ketika berada di Mekkah dan Madinah. Manusia hanya bisa berikhtiar dan Allah Swt yang menentukan.

Memang apa dikatakan oleh bapak saya di rumah dan pembimbing manasik haji di KUA (Kantor Urusan Agama) tak jauh berbeda. Dalam beberapa kali penyuluhannya, petugas dari KUA, selain mengajarkan sejumlah ritus perhajian mana yang rukun, wajib, dan terlarang juga tak bosan-bosannya memberikan nasihat agar setiap jamaah membawa obat-obatan pribadi yang sekiranya berguna.

Dan yang terpenting, karena rangkaian prosesi haji seperti: Thawaf, sai, wukuf, kemudian menuju dan bermalam di Mudzalifah serta melontar jumrah ula wustha aqabah dipastikan menguras energi dan stamina, selain makanan dan minuman agar tubuh tetap terjaga secara nutrisi, juga  krim secukupnya untuk menghilangkan rasa nyeri pada otot-otot yang pegal mesti dibawa. Terutama untuk otot kaki. Kami mengangguk tanda mengerti. Sewaktu keberangkatan, sebagian jemaah haji ada yang membawa Geliga Krim, termasuk teman sekamar istri saya.

Karena ini merupakan perjalanan pertama kali saya ke tanah suci dan juga pertama kali naik pesawat terbang, tak ada bayangan secara detil apa dan bagaimana. Hanya penjelasan umum dan cerita-cerita sekadarnya saja dari bapak dan juga almarhumah ibu yang pernah berhaji di tahun 2010. Tiga bulan lebih sedikit sebelum saya berangkat haji yang tergabung dalam Kloter 40 JKS, ibu saya wafat. Diabetes telah menggerogotinya secara perlahan.

Sungguh saya kaget dan barangkali terkesan kampungan dan ndeso. Selepas sepuluh bus rombongan haji keluar dari asrama Bekasi menuju Bandara Halim Perdanakusumah, ternyata bus-bus itu diparkir cukup jauh dari burung besi bertuliskan Saudi Arabia Airlines.

Sebagian besar jemaah langsung berhamburan keluar karena sudah tak tahan ingin buang air kecil. Tujuannya adalah sejumlah toilet portabel yang dipasang di pinggir bandara. Termasuk saya dan istri. Sebagian jemaah yang lain ada yang langsung masuk ke pesawat dengan segera, ketika saya tanya kenapa tak ke toilet dulu, jawabannya takut ketinggalan pesawat dan ditinggal. Hahahaha.

Padahal, saya dan istri pun tak kurang berperilaku ndeso yakni setelah puas membuang hajat kecil, segera menghambur dan pontang-panting menuju pesawat karena takut ditinggal juga. Alhasil, karena jarak yang cukup jauh dari toilet menuju pesawat sekitar 400 meter-an, sedikit pegal mulai menyergap. Saya singkirkan rasa pegal itu dengan beristirahat di burung besi milik Saudi. Padahal, Geliga Krim bisa menjadi alternatif untuk menghilangkan rasa pegal. Sembilan jam di langit cukuplah untuk memulihkan tenaga, sebelum mendarat di King Abdul Aziz Internatinal Airport Jeddah, Saudi Arabia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun