Mohon tunggu...
asep gunawan
asep gunawan Mohon Tunggu... Pengabdi di Kabupaten Kepulauan Sula

ASN adalah jalan pengabdian, Menulis adalah jalan introspeksi pengabdian

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Purbaya Effect: Saat Sumitronomik Bangkit Lagi di Era Prabowo

24 September 2025   02:01 Diperbarui: 24 September 2025   11:46 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah publik cukup dengan angka pertumbuhan, atau sebenarnya merindukan sosok yang bicara jujur dan siap menanggung akibatnya? Di tengah kejenuhan pada jargon ekonomi yang tidak pernah menyentuh isi piring sehari-hari, muncullah sosok Purbaya Yudi Sadewa. Ia hadir dengan kalimat lugas yang membuat isu ekonomi lebih banyak dibicarakan secara terbuka.

Purbaya pernah berkata dengan jujur bahwa dirinya hanya menteri yang "kagetan". Dan, publik pun menyebutnya sebagai "angin segar". Gaya bicaranya sederhana dan apa adanya, sehingga membuat orang berhenti sejenak. Bukan karena sensasi, melainkan karena kalimatnya langsung menyinggung tanggung jawab kebijakan. Istilah Purbaya effect pun muncul di linimasa. Di balik istilah itu ada harapan sederhana, ekonomi tidak lagi sekadar angka di layar, melainkan pengalaman nyata yang terasa di rumah tangga masyarakat sehari-hari.

Fenomena Publik

Kita sudah lama tidak melihat pejabat yang memilih berbicara jujur dibanding sekadar menjaga posisi aman tanpa menyinggung persoalan nyata. Reaksi pun beragam. Ada yang menilai gaya Purbaya terlalu ceplas-ceplos. Ada pula yang merasa lega, karena akhirnya ada pejabat yang berbicara apa adanya. Perbedaan pendapat ini menunjukkan satu hal, yaitu masyarakat ingin perubahan yang benar-benar terasa. Bukan sekadar janji di jumpa pers, melainkan kebijakan yang dijalankan.

Inilah yang dirindukan publik. Kebijakan yang dirancang untuk masyarakat luas, bukan hanya untuk grafik pertumbuhan. Ekonomi tidak boleh berhenti di angka suku bunga atau laporan statistik, tetapi harus menyentuh pedagang kecil yang menimbang apakah hari ini ia perlu berutang lagi atau menutup lapaknya lebih cepat.

Sumitronomik dan Warisan Pemikiran

Sebelum membahas lebih jauh, penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan Sumitronomik. Istilah ini berangkat dari pemikiran Prof. Sumitro Djojohadikusumo yang menekankan tiga pilar utama pembangunan ekonomi. Gagasan ini menjadi dasar penting dalam menilai arah kebijakan hari ini, terutama ketika publik menunggu terobosan baru dari pemerintah.

Tiga pilar Sumitronomik yang kerap disebut adalah pertumbuhan, stabilitas, dan pemerataan.

  • Pertumbuhan menyatu dengan produktivitas, artinya pembangunan ekonomi didorong oleh peningkatan kapasitas nyata, bukan sekadar lonjakan sesaat.
  • Stabilitas menjaga arah, maksudnya kebijakan fiskal dan moneter mampu memberikan kepastian bagi pelaku usaha dan rumah tangga, bukan sekadar menahan laju perubahan.
  • Pemerataan mengantar manfaat ke bawah, yaitu hasil pembangunan sampai ke masyarakat kecil melalui akses pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja.

Prof. Sumitro Djojohadikusumo, ekonom senior Indonesia sekaligus ayah Presiden Prabowo, mengenalkan gagasan ini sejak 1940-an. Kini warisan itu dimaknai kembali dalam konteks hari ini. Sumitronomik mengingatkan: pertumbuhan tanpa stabilitas akan rapuh, stabilitas tanpa pemerataan akan terasa kaku dan tidak menyentuh kehidupan rakyat, sementara pemerataan tanpa pertumbuhan akan sulit bertahan lama dan segera kehilangan dampaknya.

Kritik pada Model Ekonomi Lama

Selama bertahun-tahun, kata "stabil" sering dijadikan tujuan akhir. Stabil artinya aman di laporan, tapi belum tentu aman di rumah tangga masyarakat. Di satu sisi angka terlihat baik, di sisi lain daya beli dan kesempatan kerja stagnan.

Pertumbuhan pun dinilai tidak berkualitas. Kelas menengah baru tidak tumbuh seperti yang diharapkan. Penjualan barang bertahan lebih lama, seperti mobil dan rumah, tidak menunjukkan adanya peningkatan kelas menengah atau mobilitas sosial yang signifikan. 

Negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia justru terus tumbuh, sementara kita masih terjebak di batas yang sama. 

Pertanyaan pun muncul: mengapa peluang yang seharusnya menjadi jalan naik justru terasa tertahan di tempat?

Data terbaru juga menunjukkan hal serupa.

Menurut BPS, ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 tumbuh 5,12 persen (y-o-y) dan sepanjang semester I 2025 mencapai 4,99 persen (c-to-c). Namun, pertumbuhan ini belum banyak dirasakan oleh UMKM.

Total kredit UMKM per Juli 2025 memang besar, mencapai Rp1.397,4 triliun, dengan pertumbuhan sekitar 1,82 persen menurut data OJK terbaru. Sementara itu, beberapa laporan juga menunjukkan perlambatan pada segmen mikro, menandakan belum semua usaha kecil mendapat akses pembiayaan yang cukup. Angka-angka ini mempertegas kritik bahwa pertumbuhan kita masih belum berkualitas karena belum menyentuh basis ekonomi rakyat.

Perubahan yang Dibawa Purbaya

Narasi berubah ketika dana besar, Rp200 triliun,  yang lama terparkir mulai diarahkan ke perbankan milik negara agar kembali ke ekonomi nyata di masyarakat. Harapannya jelas, kredit lebih murah dan penyaluran lebih luas sehingga usaha kecil menengah bisa bernapas.

Koordinasi antarotoritas pun harus terlihat jelas dalam bentuk kebijakan dan keputusan bersama yang konsisten. Kementerian Keuangan menyiapkan umpan. Otoritas moneter dan pengawas sistem keuangan harus menyambut dengan keputusan yang mendukung. Bank-bank milik negara menjaga penyaluran. Sementara itu, bank swasta, BPR, dan lembaga mikro ikut memperkuat. Sistem baru hanya akan berjalan baik jika semua pihak benar-benar bekerja sama.

Namun perubahan tidak cukup di niat. Ada aturan main yang harus dijaga:

  • Transparansi agar uang publik benar-benar masuk ke sektor produktif, bukan hanya berputar di kalangan elite atau lembaga keuangan yang sama.
  • Target penyaluran yang jelas agar sektor produktif mendapat pasokan nyata.
  • Perlindungan konsumen dan mitigasi risiko agar stabilitas tidak dikorbankan demi percepatan sesaat.

Kuncinya ada pada desain kebijakan yang jelas, yaitu bagaimana uang publik benar-benar dipakai untuk kepentingan masyarakat luas dan bagaimana risiko dikelola secara hati-hati agar tidak menimbulkan masalah baru.

Keuntungan bagi Pemerintah Daerah

Pemerintah daerah juga memiliki peluang besar dari fenomena ini. Akses kredit yang lebih mudah dapat membuat UMKM lokal tumbuh lebih cepat. Program pusat yang diarahkan pada pemerataan bisa dimanfaatkan agar pembangunan tidak hanya berfokus di kota besar, tetapi juga menjangkau desa dan sektor informal.

Pertumbuhan UMKM akan meningkatkan perputaran ekonomi lokal, memberi tambahan pajak dan retribusi bagi daerah. Program padat karya, tambak, koperasi desa, hingga modernisasi nelayan bisa membuka peluang lapangan kerja baru. 

Selain itu, Pemda dapat bereksperimen dengan berbagai kebijakan inovatif, seperti pendampingan UMKM, digitalisasi pasar, atau subsidi bunga yang diberikan oleh pemerintah daerah untuk meringankan beban pinjaman UMKM.

Dengan fenomena Purbaya effect, pemerintah daerah memperoleh ruang untuk memperkuat ekonomi lokal, memperbesar penerimaan daerah, dan meningkatkan legitimasi politik melalui kebijakan yang lebih pro-rakyat.

Respons Politik dan Posisi Regional

Keputusan mengganti penjaga fiskal dianggap oleh sebagian orang sebagai langkah berani. Kekhawatiran akan gejolak terbukti tidak otomatis terjadi. Ruang diskusi menjadi semakin luas dan banyak pihak ikut terlibat dalam pembahasan.

Jika Indonesia berhasil mendorong pertumbuhan lebih tinggi, peta pengaruh regional akan berubah. Ekonomi yang sehat akan menguatkan komponen lain. Sinyal ini tentu diperhatikan oleh negara lain. Ada yang merasa senang dengan kemungkinan kerja sama yang lebih kuat, namun ada pula yang bersikap waspada karena khawatir akan meningkatnya pengaruh Indonesia di kawasan.

Maka tugas kita jelas, memperkuat pondasi ekonomi di dalam negeri sebelum menunjukkan kekuatan ke luar.

Kerangka Eksekusi yang Membumi

Agar tidak berhenti pada wacana, berikut kerangka ringkas yang dirangkum dari pandangan analis kebijakan dan interpretasi penulis, dilengkapi target capaian konkret:

Tiga bulan pertama

  • Menyusun skema kredit prioritas untuk UMKM dan sektor pangan dengan bunga target ≤6 persen per tahun dan proses maksimal 7 hari kerja.
  • Indikator awal: dari total kredit UMKM Rp1.397,4 triliun (data Juli 2025), ditargetkan ada tambahan pertumbuhan minimal 2 persen dalam tiga bulan.
  • Koordinasi fiskal - moneter sejalan, misalnya BI menurunkan suku bunga acuan mendukung penyaluran fiskal.

Dua belas bulan pertama

  • Target pertumbuhan kredit UMKM naik dari sekitar 1,82 persen (data OJK Juli 2025) menjadi ≥5 persen YoY.
  • Penyerapan tenaga kerja minimal 300 ribu orang di sektor mikro dan pangan.
  • Laporan triwulanan melalui hotline atau aplikasi tentang jumlah UMKM baru yang berhasil mendapat akses kredit.

Tiga tahun

  • Pertumbuhan kredit UMKM konsisten 7-8 persen YoY, sejajar dengan target pertumbuhan ekonomi nasional 6-7 persen.
  • Kontribusi UMKM terhadap PDB diharapkan naik dari sekitar 61 persen saat ini menjadi 65 persen.
  • Minimal 70 persen kabupaten/kota merasakan peningkatan akses kredit produktif.

Kerangka ini berfungsi sebagai peta jalan sederhana yang bisa dipantau publik. Indikator keberhasilan misalnya apakah kredit UMKM naik 2 persen dalam 3 bulan, kemudian 5 persen YoY dalam 1 tahun, dan mampu bertahan di angka 7-8 persen YoY secara konsisten dalam 3 tahun.

Menimbang Makna Perubahan

Fenomena Purbaya effect menarik karena menyatukan gaya bicara yang jujur dengan gagasan kebijakan. Gaya memberi keberanian bagi publik untuk berharap. Gagasan memberi arah agar harapan tidak kehilangan tujuan. 

Namun, yang membuat perubahan bertahan adalah konsistensi: antara kalimat di panggung publik dan angka di laporan resmi pemerintah. Program bantuan seharusnya tidak berhenti pada pembagian, tetapi berkembang menjadi pemberdayaan.

Perbedaan pandangan pasti ada, dan itu wajar. Selama perbedaan dipakai untuk menguji argumen, bukan menjatuhkan pribadi, maka kebijakan bisa terus diperbaiki. Ingatan kolektif yang perlu dijaga adalah tujuan akhir ekonomi adalah martabat. Martabat akan terasa ketika harga kebutuhan terjangkau, pekerjaan tersedia, dan usaha kecil merasa aman menghadapi hari esok.

Publik bisa saja jatuh cinta pada cara bicara seorang pejabat. Namun cinta itu hanya akan bertahan jika kehidupan sehari-hari benar-benar membaik. Ukuran yang paling nyata bukan jumlah like di media sosial, melainkan keadaan di rumah: tagihan listrik sudah terbayar, beras tersedia, dan anak-anak bisa melanjutkan sekolah tanpa ditunda.

Mari menyambut perubahan dengan dukungan kritis. Kita perlu memberi ruang bagi ide baru untuk dijalankan, namun juga memastikan uang rakyat digunakan dengan benar. Jika tiga pilar pertumbuhan, stabilitas, dan pemerataan berjalan beriringan, kita tidak hanya membicarakan angka pertumbuhan, tetapi juga langkah nyata menjadi negara yang adil dan makmur bagi warganya.
Sanana, 02 Rabi'ul Akhir 1447 H / 24 September 2025

Catatan Sumber Data:

  • Data BPS: Pertumbuhan ekonomi Indonesia Triwulan II 2025 sebesar 5,12 persen (y-o-y) dan Semester I 2025 sebesar 4,99 persen (c-to-c), rilis resmi BPS 5 Agustus 2025.
  • Data OJK: Total kredit UMKM per Juli 2025 sebesar Rp1.397,4 triliun dengan pertumbuhan 1,82 persen.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun