dari aku yang sedang belajar ikhlas
"Keindahan Ramadan tak hanya terletak pada puasanya, tapi pada proses mengenal diri dan mendekat pada Ilahi."
Ramadan tahun ini hampir berakhir, dan entah mengapa hatiku terasa belum siap untuk berpisah. Masih banyak doa yang belum kupanjatkan sepenuh hati. Masih ada hari-hari yang kulewati dalam lalai dan lelah yang tak kupahami. Kadang aku bahkan terlalu sibuk dengan dunia, lupa bahwa engkau, Ramadan, hanya datang sebentar.
Malam ini aku ingin menuliskan sesuatu. Bukan tentang pencapaian, bukan tentang rencana buka bersama yang tertunda. Ini tentangmu, Ramadan, dan harapan kecilku untuk tahun depan. Jika Allah mengizinkan aku bertemu lagi denganmu, aku ingin menyambutmu dengan jiwa yang lebih tenang, hati yang lebih bersih, dan iman yang lebih kuat.
Ramadan, tahun ini aku masih sering terburu-buru dalam sahur, tergoda untuk tidur di malam-malam yang seharusnya kupakai untuk mengadu. Aku masih merasa takut memberi, masih sulit ikhlas saat diuji. Tapi satu hal yang kupelajari darimu adalah bahwa proses menuju kebaikan itu tidak instan. Ia butuh ketulusan, dan aku ingin belajar mencintaimu lebih dalam, tahun depan.
Engkau selalu datang membawa kesempatan untuk memulai kembali. Maka tahun depan, jika aku masih diberi waktu, aku ingin memperbaiki semua yang sempat kulewatkan. Aku ingin menjalani hari-hari bersamamu bukan karena kewajiban, tapi karena cinta. Bukan karena takut dosa, tapi karena rindu akan rahmat-Nya.
Ramadan dan Perjalanan Mencari Jiwa yang Lebih Tenang
Di tengah putaran waktu yang tak pernah berhenti, Ramadan datang sebagai penyeimbang. Bukan hanya untuk menahan lapar, tetapi untuk menundukkan hati yang sering gaduh oleh dunia. Setiap hari di bulan suci ini seakan menjadi pengingat bahwa hidup bukan soal mengejar, tapi tentang merasakan. Tentang menerima.
Perjalanan spiritualku selama Ramadan bukanlah perjalanan yang sempurna. Ada hari-hari di mana aku gagal menjaga amarah, ada malam-malam di mana aku lupa berdoa, dan ada waktu sahur yang kulewatkan hanya karena kantuk. Tapi di sela semua itu, ada satu hal yang selalu kutemukan: ketenangan saat aku mulai menerima bahwa hidup ini milik Allah, dan umur ini sepenuhnya dalam takdir-Nya.
Ramadan membentuk ulang versi diriku, bukan yang paling kuat, tapi yang paling jujur terhadap kelemahan diri sendiri. Aku mulai belajar bahwa menjadi baik tidak harus lebih sempurna. Bahwa menjadi ikhlas adalah tentang melangkah, meski hati masih takut. Bahwa menjadi versi terbaik dari diri bukan soal banyaknya amal, tapi sejauh mana kita jujur pada niat dan berserah dalam takdir-Nya.
Maka jika kelak umurku tak sampai menemuimu lagi, Ramadan...
Setidaknya aku sudah mencoba menjadi jiwa yang lebih damai, lebih menerima, dan lebih siap pulang.