Mohon tunggu...
Aryanto Husain
Aryanto Husain Mohon Tunggu... Freelancer - photo of mine

Saya seorang penulis lepas yang senang menulis apa saja. Tulisan saya dari sudut pandang sistim dan ekonomi perilaku. Ini memungkinkan saya melihat hal secara komprehensif dan irasional.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Pasca Pandemi Covid-19, Bisakah Pandangan Manusia terhadap Bumi Berubah?

9 Januari 2021   08:36 Diperbarui: 9 Januari 2021   08:43 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika Pandemi COVID-19 ini terjadi pada 2030 nanti, kita mungkin tidak hanya cemas dan khawatir. Teror dan takut akan menghiasi kehidupan manusia pada saat itu. Para pakar memprediksikan sepuluh tahun dari sekarang Bumi sudah dalam kondisi 'absolutely crisis'. Menghadirkan krisis kemanusiaan yang berkepanjangan.

Dalam kondisi 'absolutely crisis', dunia dalam keputusasaan yang luar biasa karena kelaparan, kepanasan, konflik berkepanjangan dan kelangkaan sumber daya alam. Bumi telah sangat berbeda dan bukan lagi tempat yang layak ditinggali. Suhu bumi yang sedemikian panasnya akibat global warming melelehkan bongkahan es Arktik lebih cepat. Akibatnya paras air laut naik dan menenggelamkan pulau-pulau dan banyak kota besar dunia.

Kemajuan teknologi yang berkembang pesat menuju revolusi industri teknologi terkini, era 6.0, tidak bisa memecahkan semua masalah. Inovasi Artificial Intelligence, Robotic, Biomimicry dan berbagai inovasi teknologi lainnya hanya bisa memuaskan kebutuhan manusia namun belum bisa memecahkan permasalahan kehidupan secara menyeluruh.

Kegagapan global menghadapi Pandemi COVID-19 adalah salah satu bentuk tidak berdayanya kemampuan teknologi yang dimiliki manusia saat ini. Apapun alasannya, apakah teori 'konspirasi' atau karena siklus tahunan pandaemi, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bisa menghadirkan vaksin penangkalnya secepat outbreak Virus Sars Cov-2. Kegagapan ini antara lain karena penerapannya masih parsial dan hanya pada skala tertentu.

Persoalan lainnya adalah kesadaran terhadap permasalahan bumi masih bersifat retorika dan paradoksal. Pertemuan-pertemuan internasional yang membahas perubahan iklim justeru diwarnai pemborosan energy, dari emisi gas CO2 keluar dari pesawat-pesawat jet yang membawa Kepala Negara menghadiri konferensi perubahan iklim. Maka jika hari ini, kesadaran manusia terhadap bumi tidak kunjung berubah maka persoalannya bukan lagi tentang kecemasan terhadap Pandemi tapi ketakutan hilangnya kehidupan dan peradaban bangsa-bangsa bumi untuk selama-lamanya.

beyondgreenspace.net
beyondgreenspace.net
Nash Equilibrium 


Kesadaran kita terhadap keberlangsungan kehidupan di bumi sangat penting. Bumi memiliki sumberdaya yang terbatas. Alih-alih menahan hasrat di tengah kelangkaan sumberdaya, keinginan manusia justeru melewati batas yang seharusnya, bahkan sering bermuara pada kompetisi dan konflik penguasaan sumberdaya.

Ada juga kesepakatan. Pada KTT Bumi 1992, para pemimpin dunia sepakat mendukung isu pembangunan berkelanjutan yang dituangkan dalam Agenda 21. Pada 2012, Konferensi PBB tentang pembangunan berkelanjutan atau yang lebih dikenal Rio+20 mengusulkan Global Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai panduan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan pasca MDGs 2015. SDGs melampaui tujuan penyusunan MDGs dan menyediakan visi yang komprehensif dan kerangka kerja bagi evolusi semua negara di tahun-tahun mendatang. SDGs adalah kesepakatan global yang segera membumi karena urgensi implementasi pembangunan berkelanjutan di seluruh negara.

Namun fakta berbicara lain. Menjelang Paris Agreement 2015 laju emisi Karbon belum bisa dikendalikan sesuai perjanjian. Pada kenyataannya negara maju seperti bermain pat gulipat dalam pengendalian emisi karbon. Banyak negara maju yang meratifikasi Kyoto Protocol namun tidak terbukti dalam kebijakan domestiknya. Industri berbahan baku fossil masih terus berkembang dan menghasilkan polusi. Perdagangan Karbon, menukar emisi dengan green forest yang dikembangkan di negara-negara berkembang menjadi tameng. Permainan ini menuju kompetisi yang tidak sehat, kondisi nash equilibrium antar negara penghasil emisi.

Pada kondisi ini kita tidak dapat mengharapkan kesepakatan berjalan normal. Seperti dalam teori prisoner's dilemma, kompetisi ditengah makin langkanya sumberdaya ini membuat banyak negara wait and see. Satu sama lain saling menunggu, curiga dan mencuri-curi kesempatan untuk dirinya. Kondisi Nash equilibrium seharusnya menjadi alert bagi kesadaran sebelum Bumi mengalami tragedy of common secara global

Kenapa kesepakatan ini penting? 

Dalam bukunya, Silent Sprint, 1962, Rachel Carson menggambarkan dampak revolusi industri. Penggunaan pestisida yang tidak terkontrol dan teruji di saat itu merugikan, membunuh binatang dan burung, bahkan manusia. Masyarakat Amerika saat itu kehilangan keceriaan saat musim semi tiba. Penyebabnya adalah rusaknya ekosistem alami akibat polusi. Pepohonan layu, batang dan dedaunan yang menghitam kecoklatan. Tidak ada kicauan burung. Semuanya sepi, senyap seakan tidak ada kehidupan.

Awal tahun ini, Majalah Tempo mengabarkan pecahnya salah satu bongkahan es terbesar di laut Antartik. Ini hanya mengikuti lelehan es kutub yang terus mencair dan menyebabkan paras air laut naik. Kita perlu sangat khawatir. Dampaknya sangat luar biasa, bisa mengubah bumi menjadi tidak seperti yang kita lihat sekarang.

Pecahnya bongkahan-bongkahan es abadi ini akibat pemanasan global yang belum terkendali. Dalam bukunya The Unhabitable Earth (2020), Wallace-Wells menggambarkan optimistic view yang dihasilkan pada pertemuan IPCC pada 2018 bahwa suhu bumi akan terus meningkat hingga 3.2o C sebelum global warming berhenti. Pada kondisi ini es akan terus mencair menyebabkan Hongkong, Shanghai, Miami kebanjiran. Saat kawasan selatan Eropa mengalami kemarau permanen, kebakaran lahan di AS meningkat hingga 600%.

currentaffairs.studyiq.com
currentaffairs.studyiq.com
Hal ini belum seberapa jika melihat skenario pessimistic-nya. Pada 2100, suhu bumi diprediksikan meningkat hingga 8oC. Pada kondisi ini bumi sama sekali tidak dapat lagi dihuni. Geostorm yang dahsyat, banjir di belahan bumi dan penyakit tropis yang mewabah tidak memungkinkan lagi kehidupan seperti yang kita alami saat ini.

Pada 2020 ini bumi sedang mengalami adalah fase middle crisis. Dalam teorinya tentang "Donat Ekonomi", Kate Raworth menggambarkan kondisi ini dengan semakin rusaknya 9 pilar pendukung bumi. Menggunakan metafora kue 'Donat', Raworth mengibaratkan kesembilan isu ini sebagai lingkaran terluar donat yang menjadi pelindung semua proses dalam biosfer bumi. Dan bumi sudah melampaui 4 kali dari yang seharusnya yakni dengan menipisnya alih fungsi lahan, pelepasan nitrogen dan fosfor, perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Kita bisa melihat betapa pentingnya kesepakatan ini berjalan optimal tanpa embel-embel. Kerusakan Bumi tidak bisa menunggu hadirnya kesadaran manusia. Perlu segera langkah cepat dan maju membangun kesepakatan di atas kesadaran bersama untuk mempertahankan keberlangsungan kehidupan di bumi.

Pademi COVID-19 seharusnya dapat mendorong kesadaran itu

Dunia masih menunggu bagaimana akhir Pandemi COVID-19. Berbeda dengan kejadian pandemi sebelumnya, kegagapan kita begitu nyata. Korban masih terus berjatuhan, gelombang penularan masih terus berlangsung, beberapa negara bahkan sedang mengalami the 3rd wave. Di saat bersamaan kita masih berpolemik tentang strategi menghentikan penularan. Apakah dengan vaksin, terapi imunitas lainnya atau membiarkan penjangkitan mencapai tahap terbentuknya herd immunity.

Kegagapan ini mengkhawatirkan. Belum selesai Pandemi COVID-19, Sekjen WHO telah memperingatkan kemungkinan datangnya pandemi lain, yang mungkin bisa lebih dahsyat. Terlepas nantinya apakah penyebaran virus sebagai bentuk 'konspirasi atau persaingan' kemungkinan pandemi lanjutan terhubung dengan kondisi bumi saat ini.

Wallace-Wells mengingatkan dampak buruk lainnya dari global warming. Peluruhan es akibat pemanasan global akan melepas bakteri yang membeku puluhan tahun dalam bongkahan es. Para pakar juga memprediksi lapisan salju abadi di kutub ini menyimpan varian flu seperti strain flu yang tersimpan dalam Es Alaska yang pada 1918 membunuh 80 juta orang. Artinya jika pemanasan global tidak dihentikan sekarang, dunia harus bersiap dengan pandemi berikutnya yang akan menyerang tanpa harus menunggu siklus 70-100 tahunan.

Dunia harus belajar dari serangan Pandemi COVID-19. Tidak seperti krisis-krisis sebelumnya, outbreak Virus Sars-Cov 2 menyerang sistem kesehatan, sosial dan perekonomian secara serentak. Negara-negara maju sekelas AS tidak bisa berbuat banyak. Eropa menyerukan pentingnya kerjasama global untuk mengatasi dampak Pandemi COVID-19.

Kerjasama global dalam rangka menghadapi Pandemi ini seharusnya membangkitkan kesadaran tentang kesepakatan-kesepakatan global terkait keberlanjutan kehidupan bumi termasuk kesepakatan menurunkan emisi C02. Bumi tidak membutuhkan retorika penurunan emisi. Aksi nyata perlu segera diambil, mulai dari komitmen perjanjian multilateral hingga aksi kolektif individu. Semuanya harus dimulai dari sekarang dan berbarengan.

Necessary Revolution

Skenario penyelamatan bumi sebenarnya berjalan telah lama dan berevolusi dalam beberapa fase. Sekat geografis yang semakin tipis mewarnai semakin terbukanya kerjsama global. Teknologi informasi yang kian canggih menyatukan dunia dalam genggaman tangan. Mendorong kehidupan bumi kedalam One Global Village.

Trend ini seharusnya ikut mewarnai perubahan cara pandang terhadap bumi. Saatnya bumi diperlakukan sebagai rumah bersama yang dijaga bersama dengan cara pandang yang sama pula. Trend ini seharusnya dapat mendorong perubahan paradigma melalui perubahan mindset individu diberbagai tingkatan mulai dari Kepala Negara hingga masyarakat bawah.

Peter Senge, dkk menggambarkan evolusi mindset individual itu dalam bukunya, The Necessary Revolution. Pada level global, kepala negara bisa belajar dari krisis keuangan 2008 bahwa pembangunan yang terlalu mengejar pertumbuhan adalah sesuatu yang miss guide.  Saatnya merubah orientasi pertumbuhan (growth) kepada kemakmuran (prosperity). Salah satunya adalah melahirkan lebih banyak lagi kebijakan hijau di masa depan yang pro keberlanjutan (a greener future).

iStock
iStock
Pandemi COVID-19 membuktikan pentingnya kehadiran kebijakan pro kemakmuran (prosperity based). Selama pandemi ini uang tidak menjadi segalanya, sebaliknya manusia didorong makin menghargai kesehatan dan memberikan respek terhadap lingkungan sekitarnya.  Hal ini membutuhkan kebijakan yang mendukung seperti mensyaratkan pusat-pusat perekonomian menyediakan sarana prasarana yang ramah lingkungan serta nyaman bagi interaksi social masyarakat dan keagamaan.                    

Perubahan mindset masyarakat terutama pada perilaku konsumsi. Sebagai konsumer masyarakat memiliki pengaruh dalam ekonomi. Semakin banyak pembelian produk sehat yang dihasilkan dalam rantai produksi ramah lingkungan maka semakin besar pengaruhnya terhadap faktor-faktor produksi. Seorang vegetarian, misalnya, secara tidak langsung memberi andil dalam upaya menekan emisi CO2, land clearing dan penyelamatan lingkungan.  

Perubahan mindset pada individu juga dapat didorong menggunakan sistim insentif. Levitt dan Dubner menyebutkan setiap individu terbiasa hidup dengan perilaku yang didorong dengan insentif (incetivize behavior). Ingat bagaimana orang tua membujuk anak-anaknya dengan mainan agar rajin ke sekolah. Untuk merangsang produktivitas, perusahaan membagi bonus bagi karyawan berprestasi.

Incentivize behavior ini juga diterapkan dalam mengubah respons manusia terhadap perubahan iklim. Clean development misalnya, memperkenalkan sistim perdagangan karbon sebagai bentuk insentif terhadap pengendalian emisi karbon. Perubahan perlaku juga dirangsang dengan mendorong kehidupan yang pro terhadap lingkungan (ecological lifestyle). Insentif yang digunakan misalnya dengan mendorong rasa malu jika menggunakan gelas plastic disaat gelas-gelas daur ulang sudah lazim digunakan.  

Manusia sejatinya memiliki dorongan untuk berbuat baik atau buruk. Pandemi COVID-19 seharusnya dapat mendorong perlaku baik individu ke dalam revolusi sederhana menjaga lingkungan untuk keberlanjutan kehidupan di bumi.

Mari Berubah untuk Bumi yang Lebih Baik!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun