Mohon tunggu...
Aryanto Husain
Aryanto Husain Mohon Tunggu... Freelancer - photo of mine

Saya seorang penulis lepas yang senang menulis apa saja. Tulisan saya dari sudut pandang sistim dan ekonomi perilaku. Ini memungkinkan saya melihat hal secara komprehensif dan irasional.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Covid-19 dan Ketakutan

13 April 2020   18:48 Diperbarui: 13 April 2020   18:44 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Corona! Apa yang pertama hadir saat dengar kata itu? Berespons mencegah? Atau khawatir? Kecuali Pemerintah dan otoritas berwenang, yang hadir di masyarakat lebih banyak adalah kekhawatiran. Berlebihan, bahkan terkesan panik. Salah? Tentu tidak. Yang menjadi keliru adalah jika informasi yang hadir terus menebar kekhawatiran.  Kita jadi mendadak. Mendadak menjadi ahli medis, jadi dokter, ahli kesehatan, ahli virus, pengamat, hingga pegawai kesehatan. Akibat hallo effect ini, kita semua merasa berhak mengumumkan wabah ini.

Akibatnyapun seperti bola salju. Menggelinding secepat outbreak virus itu sendiri. Dan kitapun lupa melakukan pencegahan. Bahkan skeptis dengan kebijakan Pemerintah terhadap upaya pencegahan. Ridiculous.

Mari kita pelajari virusnya.  COVID-19 ini adalah strain baru dari coronavirus. Mirip SARS dan MERS. Berbeda, karena Corona virus karena belum ketemu vaksinnya. Jika dibandingkan, persentase kematian  secara nasional maupun global adalah kanker, stroke, penyakit ginjal kronis, diabetes melitus, dan hipertensi. 12,9% orang Indonesia mati karena penyakit jantung coroner.  Secara global, bayangan kematian akibat penyakit kardiovaskular 36%, diikuti kanker, 26,3% dan diabetes, 5,8%. Corona, hanya sekitar 3,6%!

Corona sendiri bukan virus yang tidak bisa dihentikan. Penyebarannya dalam 3 fase kurva epidemic. Mulai dari Fase ke-1 pembendungan (containment), Fase ke-2 penularan (community transmission) hingga Fase ke-3 saat wabah (outbreak). Fase menghawatirkan saat penularan, dimana orang tidak menyadari kalau mereka sudah tertular COVID-19. Tapi akan mereda saat masuk fase ketiga saat tidak ada lagi orang yang rentan untuk terinfeksi lagi, baik karena vaksinasi maupun herd immunity. So, walaupun Indonesia masih pada fase penularan, pencegahan bisa menghentikan penyebaran virus ini. Kata kuncinya pencegahan.

Tapi kenapa yang hadir justru makin banyak kecemasan?

Mendengar virus dan penyakit, alam sadar kita akan terhubung dengan kematian. Dan relative lebih banyak yang takut mati. Padahal kematian hanya menjadi milik Allah, sang Pencipta. Penyakit dan kematian, hubungan yang rasional bagi homo economicus. Individu yang merasa berfikiran rasional.

Betulkah kita berfikir rasional tentang penyakit ini? Jika lihat ragam repsons kita, Ternyata Tidak. Kecemasan dan kekhawatiran adalah bentuk irasionalitas itu. Menganggap bahwa jika virus mewabah, semua akan tertular dan mati. Kenyataannya, dengan lockdown, China kembali pulih. Turki dalam ketenangannya tidak terjangkiti. Irasional bukan.

Irasionalitas individu umumnya cepat menelan mentah-mentah informasi yang masuk tanpa mengolahnya dengan baik terlebih dahulu. Fikiran kita sebelumnya telah diisi dengan kematian akibat virus sebelum corona muncul seperti SARS, MERS, dll. Memori kolektif kita makin penuh saat melihat orang-orang bertumbangan di Wuhan.

Ini adalah gejala anchoring trap (jebakan jangkar). Jebakan ini memberi bobot yang tidak proporsional terhadap informasi yang pertama kali diterima. Akibatnya sistem respon otomatis alami (intuitif dan irasional) segera mengekang informasi lain yang masuk. Informasi seperti rendahnya kematian akibat corona, atau hanya dengan pencegahan standar selalu mencuci tangan kita akan terhindar dari kejangkitan, tidak cukup menenangkan.

Priming media semakin menutup nalar kita. Kita menjadi tidak ingin menggali informasi yang diperlukan. Keputusan fikiran kita adalah penyakit ini menakutkan.  Bias heuristic ini mendorong kita membuat keputusan, yaitu kekhawatiran dan kepanikan.  Semakin viral berita kejangkitan, semakin panik kita. Alih-alih ingin memberikan kesadaran dan kewaspadaan, postingan kita justeru menambah ketakutan. Dan ini terus berantai menjangkiti fikiran-fikiran yang lain.

Kondisi ini adalah bias psikologis yang menyebabkan kita membuat pilihan yang justru bertentangan dengan kepentingan utama.  Seolah rasional. Faktanya justeru tidak rasional. Pakar ekonomi perilaku Daniel Kahneman mengatakan umumnya kita sering menganggap diri rasional dan mengambil keputusan-keputusan berdasarkan rasionalitas (bounded rationality). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun