Mohon tunggu...
Aryani_Yani
Aryani_Yani Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Lahir di kota hujan yg sejuk, dari ortu yg asli Jawa, tp belum pernah bisa berkomunikasi dlm bahasa Jawa, pernah 10 tahun terdampar di Banjarbaru yg panas, tp balik lg ke kota kelahiran tercinta...I am just the way I am, a little dreamer, agak pemalu tp gak malu-maluin koq :-), melankonlis kuat tp sedikit koleris, pecinta tanaman & lingkungan, mudah terharu, senang fotografi, design & art, handycraft, travelling & ecotourism, pokoknya yg serba alami dech alias naturalist, a lot of friendship...hmm apa lagi yaaa....kalo nulis kyknya belum jd hobi dech, makanya gabung di kompasiana :-D. Jd job creator adalah 'impian' tp belum kesampaian tuh. Email : ryani_like@yahoo.com. Instagram : aryaniyani21

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

One Day (One Night) Trip ke Geopark Ciletuh

15 Februari 2015   21:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:08 27052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selanjutnya kami ke Curug Awang yang lokasinya tak jauh dari Panenjoan. Setelah melewati jalanan jelek berbatu dan pemandangan sawah khas pedesaan, kita bisa sampai ke curug ini. Dari gerbang curug jalannya pun sebenarnya dekat karena Curug Awang sudah bisa terlihat dari kejauhan. Curug ini bukan berasal dari mata air di puncak bukit, tetapi aliran Sungai Ciletuh yang membentuk patahan membelah bukit. Yang unik dari curug ini adalah dindingnya yang berbentuk seperti pahatan di tembok berwarna coklat. Warna airnya juga agak kecoklatan karena jenis tanahnya. Jadi kurang cocok untuk main air di sana. Di sisinya ada terasering dengan banyak batu-batu besar di atasnya. Untuk sampai ke dekat curug, ada jalan pintas selain melewati sela-sela terasering. Tetapi harus ekstra hati-hati karena kemiringannya hampir 45 derajat, dan sangat licin. Curug Awang ini letaknya paling atas di antara dua curug lain yang alirannya sama-sama dari Sungai Ciletuh, yaitu Curug Tengah dan Curug Puncak Manik. Tapi kami tidak ke sana karena letaknya lumayan jauh.

[caption id="attachment_369057" align="alignnone" width="648" caption="Curug Awang dari jauh (Dok. Yani)"]

14239840321933748616
14239840321933748616
[/caption]

[caption id="attachment_369058" align="alignnone" width="648" caption="Curug Awang dari dekat (Dok. Yani)"]

14239840931980554604
14239840931980554604
[/caption]

[caption id="attachment_369059" align="alignnone" width="648" caption="Areal persawahan dan bukit di sekitar Curug Awang (dok. Yani)"]

14239842551438413812
14239842551438413812
[/caption]

Langit sempat cerah membiru untuk beberapa saat, sebelum akhirnya hujan rintik-rintik. Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 10 lewat. Kami bersegera melanjutkan perjalanan ke Curug Sodong. Jalan yang dilewati menurun dan semakin jelek. Mungkin setengah jam lebih kami terombang-ambing di atas mobil. Saya sempat tertidur sesaat karena mengantuk, namun tidak begitu nyenyak karena mobil sering kali tergoncang. Rupanya kami sedang melewati jalan yang kami lihat dari atas Panenjoan. Sepanjang jalan yang dilewati selalu dihiasi sawah-sawah hijau. Rupanya di sini tanahnya subur sekali dan dijadikan lumbung padi. Katanya dalam setahun bisa sampai 3 kali panen. Curug yang terlihat dari atas tadipun terlihat lebih dekat sekarang.

Tak berapa lama kami sampai di Curug Sodong. Curug ini terdiri dari dua aliran yang sangat deras dan kolam di bawahnya yang cukup lebar. Di atas Curug Sodong terlihat ada aliran curug lain yaitu Curug Cikanteh. Tetapi berhubung jalannya jauh, kami tidak ke sana. Benar-benar suguhan pemandangan alam yang menyejukkan mata. Cuaca agak mendung, dan hujan tiba-tiba turun lagi. Terpaksa kami harus berteduh. Tak berlama, kami menuju salah satu rumah penduduk untuk menikmati makan siang yang sedari tadi sudah siap disajikan.

[caption id="attachment_369060" align="alignleft" width="648" caption="Curug Sodong (bawah) dan Curug Cikanteh (atas) dari kejauhan (Dok. Yani)"]

14239843611997883888
14239843611997883888
[/caption]

Setelah istirahat sesaat, kami kembali melanjutkan perjalanan ke lokasi terakhir yaitu Pantai Palangpang, Curug Cimarinjung dan Puncak Darma. Ketiga lokasi itu berada dalam satu jalur. Karena waktu terbatas, Pantai Palangpang hanya dilewati saja. kami mengutamakan ke Curug Cimarinjung dan Puncak Darma. Curug Cimarinjung juga sudah terlihat dari kejauhan setelah melewati pantai. Begitu pula Puncak Darma. Pokoknya beneran deh, berada di sini serasa melihat lukisan alam raksasa. Tak berapa lama kami sampai di depan sebuah warung. Untuk mencapai curug, kami harus melewati jalan kecil tak jauh dari situ dan agak licin karena hujan. Di kanan-kiri dihiasi pemandangan sawah dan aliran sungai kecil berwarna coklat. Pantai Palangpang juga bisa dilihat dari kejauhan. Deburan suara Curug Cimarinjung sudah mulai terdengar keras. Rupanya benar saja, tempatnya memang tidak terlalu jauh. Curug ini juga berwarna coklat, dengan ciri khas dua batu besar di depannya. Di sisi seberangnya ada pohon dengan ranting yang bentuknya eksotis. Tapi sayangnya di sini agak susah mendapatkan foto yang maksimal, karena cipratan airnya yang deras akan selalu membasahi lensa kamera kita. Ohya hati-hati bermain di sini, selain aliran airnya yang deras, airnya juga sudah tercemar limbah air raksa karena di sekitar sini memang banyak penambangan emas.

[caption id="attachment_369061" align="alignnone" width="648" caption="Pantai Palangpang dari kejauhan (Dok. Yani)"]

1423984477301250741
1423984477301250741
[/caption]

[caption id="attachment_369062" align="alignnone" width="648" caption="Curug Cimarinjung (Dok. Yani)"]

1423984599816430742
1423984599816430742
[/caption]

Puas menikmati Curug Cimarunjing, kami menuju lokasi terakhir yang jadi primadonanya Teluk Ciletuh yaitu Puncak Darma. Berhubung musim hujan, jalanan jadi susah dilewati mobil. Tapi kalau ke Ciletuh tidak ke Puncak Darma rugi banget. Akhirnya kami memutuskan untuk berjalan kaki saja. Katanya sih cuma satu jam, tapi kalau satu jamnya orang desa kan beda. Ternyata baru beberapa menit sudah kecapean. Kami bertanya pada salah satu pengendara motor, katanya Puncak Darma masih jauh. Karena merasa jalan yang dilewati masih bisa dilalui mobil, kami menelepon si sopir untuk menjemput kami melanjutkan perjalanan ke puncak. Tapi ternyata mobil hanya bisa mengantarkan beberapa meter, tidak berani melanjutkan karena jalanan benar-benar becek dan takut roda mobilnya ambles. Jalannya benar-benar jelek, perlu keahlian khusus mengendarai kendaraan di sini. Jadi, terpaksa kami harus melanjutkan perjalanan lagi dengan berjalan kaki, lumayanlah sudah terbantu mobil beberapa meter. Sebenarnya jalannya tidak susah, tetapi karena baru saja turun hujan, jalanan jadi becek dan licin. Biasanya orang-orang yang ke Puncak Darma melewati jalan lain yaitu lewat Desa Girimukti karena jalannya lebih bagus. Sedangkan pulangnya jalannya menurun, baru lewat jalan yang kami lalui ini. Nah, kalau lewat rute itu biasanya mobil bisa parkir di puncak, jadi tidak perlu jauh-jauh berjalan kaki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun