[caption id="attachment_369052" align="alignnone" width="648" caption="Basecamp Ciletuh di Desa Taman Jaya (Dok. Yani)"][/caption]
[caption id="attachment_369053" align="alignnone" width="432" caption="Pengelola Geopark Ciletuh (Dok. Yani)"]
Sungguh mencari tempat yang indah tidak perlu jauh-jauh. Hanya dengan menempuh perjalanan beberapa jam dari lokasi tempat tinggalku di Bogor (kalau gak macet ya hehe), terbentang sebuah mahakarya sang pencipta dengan pemandangan bak lukisan alam raksasa. Mulai dari pegunungan, sawah, sungai, air terjun (curug), batuan dan laut ada di sini. Semua tersaji lengkap dalam sebuah kawasan yang disebut Geopark Ciletuh. Tempat ini memang belum sepopuler Ujung Genteng ataupun Pelabuhan Ratu, dan jalan menuju ke sini memang boleh dibilang masih jelek. Jadi wajar jika banyak yang belum tahu keindahan tempat ini.
Seperti apa sih Geopark Ciletuh itu? Menurut penelitian ahli geologi, ciletuh ini termasuk salah satu kawasan dengan batuan tertua di Pulau Jawa. Dan katanya tempat ini dahulunya adalah laut. Yang saya lihat dari foto-foto di beberapa blog, bentang alam di Teluk Ciletuh ini memang unik yaitu menyerupai amfiteater raksasa dengan bentuk seperti tapal kuda yang menghadap ke Samudera Hindia. Nah lho...makin penasaran deh. Kalau belum pernah ke sini pasti gak bakalan kebayang.
Saya sendiri sudah mendengar nama itu sekitar 2 tahunan yang lalu. Namun baru dua minggu yang lalu (30/1/14) kesampaian ke tempat ini. Karena ini one day (one night) trip, perjalanan harus dimulai sepagi mungkin untuk mengejar waktu ke beberapa lokasi. Beruntungnya, rombongan peserta trip kali ini sudah stand by di Terminal Sukabumi semenjak tengah malam. Sekitar jam 2 dini hari, saya dan rombongan langsung dijemput sopir dengan mobil off road landy alias land rover (4x4) milik pengelola tempat wisata.
Akhirnya melajulah si landy yang kami tumpangi menembus kegelapan malam. Rute yang kami lewati via Cibadak, menuju arah Pelabuhan Ratu, lalu berbelok ke arah Simpenan, sampai ke Desa Taman Jaya, Kecamatan Ciemas. Meskipun saya duduk di depan, tapi karena suasana di sekeliling gelap jadi tidak terlalu mengenali jalan dan nama-nama daerah yang dilewati. Tetapi kira-kira rute di awal perjalanan sampai ke daerah perkebunan teh milik PTPN sama seperti waktu ke Ujung Genteng. Rute jalan berkelok-kelok dengan kondisi jalan awalnya mulus, tetapi lama kelamaan banyak yang rusak, hingga saya yang awalnya mengantuk pun jadi terjaga. Akhirnya saya menemani ngobrol si sopir yang mengemudikan mobil tepat di samping saya. Menurut keterangan sopir, wisata di Geopark Ciletuh ini dikelola oleh PAPSI (Paguyuban Alam Pakidulan Sukabumi) di bawah binaan PT Biofarma dan Pemda Kabupaten Sukabumi. Rupanya kawasan ini tengah dikembangkan untuk menjadi daya tarik pariwisata di Sukabumi.
Mobil terus melaju melewati perkebunan teh, karet, buah naga dan nanas. Andaikan hari terang, mungkin ini menjadi pemandangan yang sangat memanjakan mata. Sekitar jam 5-an, kami berhenti sebentar di mushola untuk sholat subuh. Hari beranjak terang, perjalanan kembali dilanjutkan. Tak berapa lama kami sampai di gerbang bertuliskan “Geopark Ciletuh”. Pagi itu kami sempat mampir sebentar di Basecamp Ciletuh di Desa Taman Jaya untuk beristirahat. Tempat yang dijadikan basecamp ini berupa rumah warga. Ternyata di sana banyak sekali dipajang poster berisi tulisan dan foto-foto mengenai Ciletuh, dan semuanya bagus-bagus. Wah jadi gak sabar pingin segera ke lokasi.
Idealnya, mengunjungi geopark ini butuh waktu 3-4 hari. Tapi seandainya hanya punya waktu terbatas, kita sudah bisa mengunjungi beberapa lokasi yang bisa dijangkau dalam waktu satu hari, seperti Panenjoan, Curug Awang, Curug Sodong, Pantai Palangpang, Curug Cimarinjung dan Puncak Darma. Tidak ingin berlama-lama lagi, kami segera berangkat menuju lokasi pertama yaitu Panenjoan. Tempat ini paling dekat dengan gerbang Geopark. Panenjoan sendiri menurut si sopir artinya tempat melihat. Karena letaknya di atas bukit, dari pinggir jalan saja kita sudah bisa melihat pemandangan di bawah. Luar biasa indahnya. Ada lembah hijau (yang katanya zaman dahulunya adalah laut) dengan petak-petak sawah yang rapi berpadu dengan rumah-rumah layaknya mainan. Di kejauhan ada Samudera Hindia. Semua dibatasi tebing-tebing yang masih banyak ditumbuhi pepohonan hijau dengan bentuk agak melengkung yang menghadap ke laut. Kalau diperhatikan benar-benar, di dinding-dinding tebing di kejauhan, ada garis berwarna putih, nampaknya itu curug. Waktu itu sedang mendung, kabut tipis menyentuh puncak-puncak bukit dari kejauhan. Tapi tetap saja indah. Semua bisa kita saksikan dalam satu sapuan pandangan mata. Masya Allah indahnya, saya hanya bisa berdecak kaguk. Betah rasanya berlama-lama di tempat ini.
[caption id="attachment_369054" align="alignnone" width="648" caption="Di Panenjoan (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_369055" align="alignnone" width="648" caption="Pemandangan dari Panenjoan di sisi lainnya (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_369056" align="alignnone" width="648" caption="Pemandangan petak sawah dan rumah dari atas bukit (Dok. Yani)"]
Selanjutnya kami ke Curug Awang yang lokasinya tak jauh dari Panenjoan. Setelah melewati jalanan jelek berbatu dan pemandangan sawah khas pedesaan, kita bisa sampai ke curug ini. Dari gerbang curug jalannya pun sebenarnya dekat karena Curug Awang sudah bisa terlihat dari kejauhan. Curug ini bukan berasal dari mata air di puncak bukit, tetapi aliran Sungai Ciletuh yang membentuk patahan membelah bukit. Yang unik dari curug ini adalah dindingnya yang berbentuk seperti pahatan di tembok berwarna coklat. Warna airnya juga agak kecoklatan karena jenis tanahnya. Jadi kurang cocok untuk main air di sana. Di sisinya ada terasering dengan banyak batu-batu besar di atasnya. Untuk sampai ke dekat curug, ada jalan pintas selain melewati sela-sela terasering. Tetapi harus ekstra hati-hati karena kemiringannya hampir 45 derajat, dan sangat licin. Curug Awang ini letaknya paling atas di antara dua curug lain yang alirannya sama-sama dari Sungai Ciletuh, yaitu Curug Tengah dan Curug Puncak Manik. Tapi kami tidak ke sana karena letaknya lumayan jauh.
[caption id="attachment_369057" align="alignnone" width="648" caption="Curug Awang dari jauh (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_369058" align="alignnone" width="648" caption="Curug Awang dari dekat (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_369059" align="alignnone" width="648" caption="Areal persawahan dan bukit di sekitar Curug Awang (dok. Yani)"]
Langit sempat cerah membiru untuk beberapa saat, sebelum akhirnya hujan rintik-rintik. Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 10 lewat. Kami bersegera melanjutkan perjalanan ke Curug Sodong. Jalan yang dilewati menurun dan semakin jelek. Mungkin setengah jam lebih kami terombang-ambing di atas mobil. Saya sempat tertidur sesaat karena mengantuk, namun tidak begitu nyenyak karena mobil sering kali tergoncang. Rupanya kami sedang melewati jalan yang kami lihat dari atas Panenjoan. Sepanjang jalan yang dilewati selalu dihiasi sawah-sawah hijau. Rupanya di sini tanahnya subur sekali dan dijadikan lumbung padi. Katanya dalam setahun bisa sampai 3 kali panen. Curug yang terlihat dari atas tadipun terlihat lebih dekat sekarang.
Tak berapa lama kami sampai di Curug Sodong. Curug ini terdiri dari dua aliran yang sangat deras dan kolam di bawahnya yang cukup lebar. Di atas Curug Sodong terlihat ada aliran curug lain yaitu Curug Cikanteh. Tetapi berhubung jalannya jauh, kami tidak ke sana. Benar-benar suguhan pemandangan alam yang menyejukkan mata. Cuaca agak mendung, dan hujan tiba-tiba turun lagi. Terpaksa kami harus berteduh. Tak berlama, kami menuju salah satu rumah penduduk untuk menikmati makan siang yang sedari tadi sudah siap disajikan.
[caption id="attachment_369060" align="alignleft" width="648" caption="Curug Sodong (bawah) dan Curug Cikanteh (atas) dari kejauhan (Dok. Yani)"]
Setelah istirahat sesaat, kami kembali melanjutkan perjalanan ke lokasi terakhir yaitu Pantai Palangpang, Curug Cimarinjung dan Puncak Darma. Ketiga lokasi itu berada dalam satu jalur. Karena waktu terbatas, Pantai Palangpang hanya dilewati saja. kami mengutamakan ke Curug Cimarinjung dan Puncak Darma. Curug Cimarinjung juga sudah terlihat dari kejauhan setelah melewati pantai. Begitu pula Puncak Darma. Pokoknya beneran deh, berada di sini serasa melihat lukisan alam raksasa. Tak berapa lama kami sampai di depan sebuah warung. Untuk mencapai curug, kami harus melewati jalan kecil tak jauh dari situ dan agak licin karena hujan. Di kanan-kiri dihiasi pemandangan sawah dan aliran sungai kecil berwarna coklat. Pantai Palangpang juga bisa dilihat dari kejauhan. Deburan suara Curug Cimarinjung sudah mulai terdengar keras. Rupanya benar saja, tempatnya memang tidak terlalu jauh. Curug ini juga berwarna coklat, dengan ciri khas dua batu besar di depannya. Di sisi seberangnya ada pohon dengan ranting yang bentuknya eksotis. Tapi sayangnya di sini agak susah mendapatkan foto yang maksimal, karena cipratan airnya yang deras akan selalu membasahi lensa kamera kita. Ohya hati-hati bermain di sini, selain aliran airnya yang deras, airnya juga sudah tercemar limbah air raksa karena di sekitar sini memang banyak penambangan emas.
[caption id="attachment_369061" align="alignnone" width="648" caption="Pantai Palangpang dari kejauhan (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_369062" align="alignnone" width="648" caption="Curug Cimarinjung (Dok. Yani)"]
Puas menikmati Curug Cimarunjing, kami menuju lokasi terakhir yang jadi primadonanya Teluk Ciletuh yaitu Puncak Darma. Berhubung musim hujan, jalanan jadi susah dilewati mobil. Tapi kalau ke Ciletuh tidak ke Puncak Darma rugi banget. Akhirnya kami memutuskan untuk berjalan kaki saja. Katanya sih cuma satu jam, tapi kalau satu jamnya orang desa kan beda. Ternyata baru beberapa menit sudah kecapean. Kami bertanya pada salah satu pengendara motor, katanya Puncak Darma masih jauh. Karena merasa jalan yang dilewati masih bisa dilalui mobil, kami menelepon si sopir untuk menjemput kami melanjutkan perjalanan ke puncak. Tapi ternyata mobil hanya bisa mengantarkan beberapa meter, tidak berani melanjutkan karena jalanan benar-benar becek dan takut roda mobilnya ambles. Jalannya benar-benar jelek, perlu keahlian khusus mengendarai kendaraan di sini. Jadi, terpaksa kami harus melanjutkan perjalanan lagi dengan berjalan kaki, lumayanlah sudah terbantu mobil beberapa meter. Sebenarnya jalannya tidak susah, tetapi karena baru saja turun hujan, jalanan jadi becek dan licin. Biasanya orang-orang yang ke Puncak Darma melewati jalan lain yaitu lewat Desa Girimukti karena jalannya lebih bagus. Sedangkan pulangnya jalannya menurun, baru lewat jalan yang kami lalui ini. Nah, kalau lewat rute itu biasanya mobil bisa parkir di puncak, jadi tidak perlu jauh-jauh berjalan kaki.
[caption id="attachment_369067" align="alignnone" width="648" caption="Jembatan Cimarinjung (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_369068" align="alignnone" width="648" caption="Aliran Sungai Cimarinjung yang berwarna coklat jingga ditimpa cahaya sore (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_369065" align="alignnone" width="432" caption="Curug Nyelempet dilihat dari Jembatan Cimarinjung (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_369066" align="alignnone" width="583" caption="Pemandangan di sekitar Puncak Darma (Dok. Yani)"]
Sepanjang jalan, pemandangan yang dilewati tidak jauh beda dengan yang sebelumnya. Kami juga melewati jembatan Sungai Cimarinjung yang berwarna coklat jingga ditimpa cahaya matahari sore. Dari jembatan itu kita bisa melihat Curug Nyelempet di kejauhan. Sungai inilah yang akan mengalir ke Curug Cimarinjung, suaranya juga sayup-sayup masih terdengar. Dari situ perjalanan ke Puncak sudah tidak begitu jauh, jalanan juga tidak begitu sulit hanya saja licin dan menanjak. Tapi semua kelelahan akan terbayar ketika sampai di atas. Sungguh luar biasa. Dan yang lebih menyenangkan lagi suasananya sepi, hanya rombongan kami yang berada di sini. Jadi inilah yang disebut Puncak Darma. Memang bentuknya seperti amfiteater raksasa, bentuknya seperti tapal kuda yang menghadap ke Samudera Hindia dengan beberapa pulau kecil di sekitarnya. Dari sini, di sekitar padang rumput dan sawah kita bisa memandang lepas ke bawah, ke Teluk Ciletuh. Melihat lembah hijau dan puncak-puncak bukit sekaligus laut. Nun jauh di ufuk barat, matahari sore seakan malu menampakkan diri, bersembunyi di balik gumpalan awan tebal. Tak berapa hujan rintikpun mulai turun dan makin lama semakin deras. Terpaksa kami harus berjalan turun sambil berhujan-hujan ria, dan bayangkan betapa licin jalan berbatu yang harus kami lewati. Untunglah sesampainya di jembatan Cimarinjung hujan mereda. Matahari sore kembali bersinar. Meskipun tidak di Puncak Darma, saya masih menyaksikan langit senja yang berwarna-warni. Sambil berjalan kaki, saya bisa memotretnya meskipun seringkali terhalang pepohonan.
[caption id="attachment_369073" align="alignnone" width="648" caption="Di Puncak Darma, memandang ke Teluk Ciletuh (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_369069" align="alignnone" width="648" caption="Padang ilalang dan pohon jati di sekitar Puncak Darma (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_369071" align="alignnone" width="648" caption="Jelang senja di Teluk Ciletuh (Dok. Yani)"]
Di dekat jembatan kecil, mobil sudah menunggu kami untuk meneruskan perjalanan ke Basecamp Ciletuh. Di rumah itu kami sempat beristirahat dan membersihkan badan. Sebelum pulang kami berpamitan dengan si pemandu dari PAPSI.
“Mudah-mudahan kalau ke sini lagi jalannya sudah bagus ya” ujarnya
“Amiiin. Wah tapi kalau jalannya bagus gak offroad dan adventure lagi dong” jawab kami sesaat sebelum menaiki mobil.
Setelah berhenti kembali untuk makan malam, kami melanjutkan perjalanan ke Cibadak. Perjalanan pulang terasa tidak lebih lama dibanding saat berangkat, sepi dan gelap. Kalau jalan diperbaiki pasti akan lebih banyak wisatawan yang datang ke sana dan tentu saja semakin ramai. Semoga saja mereka yang datang ke Geopark Ciletuh tetap bisa menjaga lingkungan dan bukan malah merusaknya.
Salam flashpaker
Bogor, 15 Februari 2015