Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Lelaki Pemikat Punai (9)

2 Januari 2021   12:22 Diperbarui: 3 Januari 2021   08:51 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadis itu menoleh cepat, wajahnya perlahan memucat seperti lampu petromaks yang kehabisan bahan bakar. Perlahan sinar wajahnya meredup. Bibirnya bergetar tak mampu menjawab, lalu tanpa sadar kupegang tangannya yang halus namun mulai terasa dingin.

”Ayo, segera cari tempat teduh disana. Mari saya bantu!” aku menunjuk deretan pohon Mahoni tak jauh dari halaman belakang kantor polisi. Semua orang di kantor polisi sepertinya sibuk didalam, tak ada satupun diluar.

Gadis itu menurutiku, melangkah gontai menuju keteduhan deretan pohon Mahoni. Tangan kanannya mengurut kening sedang tangan kirinya berada dalam genggamanku. Aku ingin menopang tubuhnya sekuat mungkin namun rasanya tak pantas  untuk menyentuh gadis itu secara erat karena aku tak mengenalnya.

Ketika membantu menyandarkan tubuhnya pada pohon mahoni aku bergegas mencari air untuk mengembalikan kesegarannya. Kuraih botol air yang diselipkan oleh ibu tadi pagi di boncengan belakang sepeda, lalu kutawaran pada gadis itu.

Seteguk air membasahi kerongkongannya. Wajahnya yang bersih hampir tanpa satupun jerawat  perlahan kembali bersemu merah. Ia masih tetap memejamkan matanya lalu air mata kembali bergulir satu demi satu. Aku tak ingin mengganggunya dan lebih membiarkan gadis itu memulihkan diri  dengan caranya sendiri.

Aku duduk menemani disampingnya yang hanya berjarak satu depa. Sudut mataku tentu tetap tergoda untuk menatap wajahnya yang menurutku sebuah kecantikan kedua yang kulihat di hari itu setelah seekor burung perkutut  menghampirku sebelumnya.

“Kamu sedang apa disini?” tanyaku pelan untuk tak membuatnya terkejut.

Matanya mengerjap cepat lalu ia membuka kelopak matanya yang indah. Matanya yang indah bertabrakan dengan tatapanku. Aku tak mengira mata itu akan sebegitu cepat terbuka dan bertabrakan dengan tatapanku yang tengah mengagumi kecantikannya.

Gadis itu secara bersamaan membuang kembali tatapannya padaku, dan ia menangis sesenggukan seolah beban berat ingin ia lepaskan. Ingin kupeluk gadis itu untuk menenangkannya tetapi aku cukup tahu diri.

Aku memang bersekolah di Semarang, sebuah kota yang menjadi pusat peradaban jawa bagian tengah. Begitu banyak kutemukan gadis-gadis cantik disana tetapi dikawasan gersang punggung pegunungan kendeng ini aku seperti menemukan mutiara ketika menatap gadis dihadapanku saat itu.

“Sekarang aku sendiri,” tubuhnya terguncang oleh tangis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun