Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Lelaki Pemikat Punai (8)

1 Januari 2021   18:05 Diperbarui: 1 Januari 2021   19:11 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Chapter 2 - GAMANG

Sepeda kumbang bermerk Phoenix kukayuh demikian cepat, menembus asap tipis pagi hari. Jalan makadam mengguncang dua roda sepeda naik turun namun tak sedikitpun tuas rem aku tekan. Sepeda berwarna kelabu itu terus melaju.

Arloji analog otomatis pemberian bapak masih melingkar di pergelangan tangan kananku, menunjukkan angka pukul tujuh lewat enam belas menit. Sudah sekian lama aku tak mengayuh sepeda yang kunamakan si 'kelabu', semenjak sekolah menuntaskan semua kegiatan belajar-mengajarnya bagi seluruh siswa kelas akhir. Jika pagi ini  harus pergi ke kota kecamatan tentulah bukan tempat yang jauh menurutku karena saban hari, dua setengah jam kutempuh untuk menuju sekolah di kota Semarang.

Cerita Ayu tadi malam mengusik pikiranku meskipun ibu meminta untuk tak terlalu tergesa menemukan jawaban siapa yang membunuh bapak. Ibu memintaku menyerahkan segala urusan penyelidikan kasus itu kepada kepolisian.

"Serahkan kepada mereka, jangan kau turut memikirkan hal itu. Jika kamu diliputi amarah, tak ada hal yang bisa kamu selesaikan. Sementara ini lebih baik kamu fokus mengurus keberangkatanmu ke Jakarta, hitung kembali uangmu, Jika ibu kembali dapat uang dari penjualan jagung di minggu ini ibu akan tambahkan!" pinta ibu subuh tadi.

"Iya, bu. Aku mengerti tapi cerita Ayu semalam harus kusampaikan pada mereka, sekecil apapun informasi yang kita tahu paling tidak bisa mempermudah penyelidikan mereka,"

"Jadi apa maumu?" kejar ibu.

"Pagi ini aku akan ke kantor polsek," jawabku. Ibu meneruskan membersihkan sisa batu dalam tumpukan beras yang tengah ia tampi.

Tiba di kantor Polsek, si kelabu kusandarkan dibawah tiang bendera. Standard samping yang mestinya menopangnya telah sekian lama rusak karena pegasnya yang melengkung tak elastis lagi.

"Hei mas...jangan ditaruh dsitu! letakan di belakang sana, nanti tempat ini mau dipakai upacara," seorang petugas berseragam polisi tanpa tanda pangkat menghampiri dengan wajah tak sabar. Aku tersentak dan menggeser kembali sepeda dari sandarannya kemudian bergegas menuntun sepeda sesuai arah telunjuk petugas itu sebelum ia menumpahkan kemarahannya.

Tak lama beberapa  polisi  satu persatu menyatu datang dalam barisan dan menghadap ke arah matahari. Upacara awal pagi mereka lakukan sambil menerima pesan yang disampaikan pimpinan mereka.  Seseorang pria paruh baya berseragam putih bercelana hitam berdiri dihadapan, lalu memberikan instruksi setelah salah satu pemimpin regu memerintahkan pasukan untuk istirahat ditempat . Aku terus menyusuri halaman belakang kantor polisi untuk memarkir sepeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun