Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Lelaki Pemikat Punai (4)

23 Desember 2020   06:08 Diperbarui: 23 Desember 2020   06:39 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Chapter 2 - GAMANG

Makam bapak masih basah oleh siraman puluhan air kendi yang dikucurkan saat prosesi pemakaman. Kelopak bunga mawar masih terasa harum diatas gundukan tanah yang berwarna merah agak kehitaman. Separuh penduduk desa menghadiri pemakaman berikut juga dengan perangkatnya termasuk anggota lokal kepolisian.

Peristiwa kepergian bapak menjadi perbincangan hangat dari pasar hingga stasiun kereta, dari tepi hutan hingga pusat  pemerintahan kecamatan karena memecah kedamaian yang selama ini terjaga. Petugas kepolisian meminta waktu untuk menyelidiki semua lokasi sekitar rumah dan mengambil keterangan dari siapapun yang mereka anggap penting untuk dimintai kesaksian.

Aku, ibu dan adikku Ayu meminta waktu pada mereka untuk tak diperiksa lebih dahulu karena kami yakin kata-kata kami yang keluar saat dimintai keterangan akan dipenuhi oleh emosi dan kepedihan luar biasa sehingga tidak akan menghasilkan bahan yang baik untuk penyelidikan. Kami mempersilahkan para polisi untuk mengambil segala barang bukti yang ada terlebih dahulu.

Pertanyaan aku pada diri sendiri adalah bukan pada siapa pelaku yang begitu tega menghabisi nyawa bapak tetapi  mengapa mereka tega melakukannya sementara ketika peristiwa itu terjadi bapak tak bersenjata selain sebuah lampu senter sepanjang tiga puluh centimeter untuk menjaga kambing-kambingnya. Membiarkan bapak jatuh lalu memukul sampai tak sadar seharusnya cukup untuk membuat mereka punya kesempatan melarikan diri sejauh mungkin bukan menebasnya dengan ayunan golok.

"Bapakmu mungkin mengenali orang yang menyerangnya," cetus pak Mantri Kamidi dalam perjalanan bersama membawa jenazah bapak kembali kerumah. Kemampuan analisa militernya sedikitnya mempengaruhi arah pikirannya.  

*

Adikku, Rahayu saraswati, tangannya sibuk meluruskan daun jati yang bertumpuk di paha kanannya. Satu demi satu daun dilepaskan dari tumpukan untuk kemudian ia susun kembali secara terbalik diatas tampah anyaman bambu. Daun-daun itu disiapkan ibu untuk membungkus nasi dan lauk pauknya sebagai 'berkat' yang akan dibagikan kepada para tetangga yang akan hadir di gelaran Tahlil tiga malam berturut-turut setelah kematian bapak.

Tahlilan seperti menjadi keharusan di desa kami, tak peduli sesulit apapun kehidupan si penerima musibah. Tetangga baik lelaki maupun perempuan bahu membahu menyediakan bahan makanan sekaligus secara bersama melakukan 'rewang' mengolah bahan mentah menjadi sajian matang.

Kelopak mata Ayu sembab. Tangisnya yang terkadang masih berlanjut semenjak mendengar kematian bapak membuat matanya yang bercorak oriental semakin hilang tertutup kesedihan. Entah mengapa Ayu lebih mirip gadis keturunanTionghoa daripada gadis peranakan Jawa begitu juga Ibu. Ketika aku bertanya pada bapak dan ibu, menurut mereka konon beberapa abad yang lalu desa Sendang witir adalah tempat persinggahan sekaligus bermukimnya rombongan kerajaan Demak yang kala itu tengah berkonflik antara putera mahkota kerajaan.

Penduduk pemukim asli semula menolak kedatangan mereka namun lewat pertempuran adu kesaktian dari kedua pemimpin yang berakhir tak berkesudahan karena memiliki kemampuan dan kesaktian yang sama maka keduanya bersepakat untuk hidup damai bersama.

Rombongan dari kerajaan Demak dipimpin oleh seorang dengan garis keturunan ningrat Demak dan secara genetika raja Demak sebagai penguasa pesisir laut utara memiliki permaisuri yang berasal dari daratan Tiongkok, sementara sultan Demak sendiri selaku pendiri kesultanan memiliki nama asli Jinbun, sebuah nama yang mengisyaratkan ia sendiri adalah seorang yang bukan berperanakan Jawa. Dari cerita mulut turun temurun itulah konon  keluarga-keluarga di Sendang Witir beranak pinak diantara mereka.

Gadis berumur lima belas tahun ini masih saja tak percaya akan apa yang telah terjadi. Baginya bapak adalah lelaki yang menjadi tumpuan hidupnya. Berbagai masalah tak pernah lepas ia ceritakan pada bapak. Mulai dari bagaimana ia tergopoh-gopoh berlari mengejar bapak ke ladang jagung di belakang rumah ketika mendapatkan tamu bulanan pertamanya bahkan sebelum ia menceritakannya kepada ibu hingga bagaimana ia mengungkapkan begitu antusiasnya pada bapak bahwa ia ingin menjadi seorang   ahli kehutanan yang jika dewasa nanti bisa mengembalikan hutan-hutan di sepanjang pegunungan Kendeng kembali menghijau supaya bisa menjadi hulu yang baik bagi sungai-sungai yang mengalir di bagian utara pulau jawa.

Pegunungan Kendeng adalah bentangan dataran tinggi disepanjang pesisir utara jawa yang didominasi oleh pegunungan kapur. Luasnya wilayah ini menjadikannya wilayah bersejarah yang mengiringi sejarah jatuh bangunnya berbagai dinasti kerajaan di Jawa mulai dari Jawa tengah hingga Jawa timur. Belanda memanfaatkan lahan pegunungan kendeng untuk pembudi dayaan pohon jati berkualitas tinggi hingga menghasilkan jutaan gulden untuk kepentingan proyek kolonialisasi mereka.

"Ayu ingin mengembalikan hutan-hutan jati itu pak, mengembalikan kembali air yang deras dari sungai Tuntang," bisik ayu pada bapak suatu kali ketika bapak menceritakan kehidupan masa kecilnya di desa sendang witir sebagai pengantar tidur anak-anaknya.

"Tidurlah nduk..dan bermimpilah. Ketika bangun besok kalian berdua harus semangat untuk mengejar mimpi kalian, berangkat ke sekolah dengan giat dan ikuti semua pelajaran yang diajarkan. Jika kalian sanggup menghadirkan sebuah mimpi, kalian juga akan sanggup mencapainya!" tutup bapak, lampu berukuran lima watt diputarnya tanpa saklar menjadikan kamar yang bernuansa putih meredup lalu gelap.

Aku telah menjalani perintah bapak, belajar, belajar dan belajar. Bapak kerap mengusirku dari ladang ketika ia tahu pekerjaan rumah dari sekolah belum aku selesaikan. Disaat sebagian kecil mimpiku telah menjadi kenyataan, dihari-hari menjelang keberangkatan untuk melanjutkan perjuangan, semua kesempatan yang ada seolah sirna dalam sekejap seperti kumpulan pohon jati yang tengah bangkit  dari meranggas tiba-tiba terbakar hebat oleh karena sebuah puntung rokok para 'blandong' jati.

"Ayu..untuk bapakmu...hentikan tangismu cah ayu!" ibu memeluk Ayu dengan lembut. Dua perempuan itu pasti juga punya mimpi, mimpi yang mereka hadirkan sendiri dan sekarang mimpi-mimpi itu menjadi tanggung jawabku untuk membantu mewujudkannya, sebagai seorang lelaki, lelaki satu-satunya dirumah ini.

*Bersambung*

   

.

   

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun