Kemampuannya menangkap getaran membuat kami tak menyadari apa yang sebenarnya ia rasakan. Narto ternyata Tuli, sebagai konsekuensi kesunyiannya itu ia menjadi bisu, tak mampu bicara, bukan pendiam seperti yang kami kira. Ia hanya bisa bereaksi oleh sebuah getaran disekitarnya seperti benda jatuh atau gesekan ranting.
Meski menyadari, kesunyian ini tak sepenuhnya bisa diterima oleh ibunya pada awalnya, maka ia di daftarkan pada sekolah negeri biasa bersama saya dan menjalani pelajaran seperti normalnya anak biasa, namun hampir semua guru tak memaksanya untuk bicara apalagi memberinya pertanyaan, mungkin mereka sudah menyadarinya namun kami kawan kecilnya hampir tak ada yang menyadarinya karena saat itu satu kelas berisi empat puluh delapan siswa dan kami sibuk masing masing dengan kewajiban harus memahami huruf dan tanda baca yang saat itu belum kami kenal sepenuhnya.
Ia hanya mengangguk atau menggeleng ketika diajak bicara dan ini yang membuat hampir seisi kelas malas mengajaknya bicara kecuali saya. Dan pertanyaan yang paling membuat saya penasaran selama ini terjawab sudah, ia tak sepenuhnya mendengar gonggongan anjing di ujung jalan yang begitu menakutkan sehingga ia berani menghadapi anjing itu tanpa gentar sedikitpun.
Tuhan melebihkan sesuatu untuk menguji kerendahan hati sedang kadang Tuhan memberi kekurangan untuk menguji kebesaran hati.
Pagi ini saya kangen sekali pada beliau karena ketika saya menuliskan catatan ini telinga kanan saya sedang tertutup oleh kotoran aneh yang tak mudah dikeluarkan usai dnas ke Jawa timur sehingga telinga tak mampu mendengar sebagian, klinik THT menutup prakteknya karena Pandemi.
Semoga Allah merahmati kehidupan Teman saya Narto manusia yang senantiasa ceria dalam kesunyian.. Â
-From the desk of Aryadi Noersaid-
AN