Jadwal saya berangkat ke sekolah adalah setengah jam sebelum pukul dua belas siang, bunyi logam gaduh datang dari samping rumah, Narto tetangga sekaligus kawan sekelas saya memukulkan batu koral ke pagar samping rumah mengajak berangkat bersama seperti biasanya.
Narto memang pendiam dan tak banyak bicara, tubuhnya kekar meski seusia dengan saya, jauh dengan perawakan saya yang dulu kecil mungil, ia selalu melindungi saya ketika anjing penjaga rumah Pak Siahaan diujung jalan menyalak.
Â
Dengan bambu kecil ditangan Ia berani menatap anjing itu tanpa rasa takut hingga anjing itu menyingkir dengan sendirinya. Saya sendiri heran Narto tak sedikitpun gentar dengan salakan gahar dari anjing besar itu sedangkan nyali saya ciut bukan main dengan hanya mendengar gonggongannya saja.
Enam bulan pertama masuk sekolah dasar  hanya satu kali Ibu dan Bu Ramelan mengantar kami sampai ke muka kelas, lalu hari-hari sesudahnya saya dan Narto selalu menyusuri jalan sepanjang satu kilometer bersama ditengah terik matahari maupun hujan deras.
Dengan tubuhnya yang tegap, kerap kami terlambat tiba dirumah karena ia tiba-tiba saja berbelok ke kebun kosong dan memanjat pohon jamblang untuk membawa buahnya yang berwarna ungu pulang ke rumah.
Narto memiliki reaksi yang amat cepat dalam beberapa hal, salakan anjing akan membuatnya kontan mengangkat bambu yang kami gunakan sebagai senjata setiap berangkat dan pulang sekolah, ia kontan menoleh paling cepat bila satu dari kawan sekelas kami buang angin dengan keras di sisi kursinya, ia juga bereaksi paling cepat ketika sebuah lukisan pahlawan Diponegoro jatuh berdentam kelantai karena pakunya rontok bersama serpihan semen pelapis dinding yang rapuh dan berhasil menahannya sebelum bingkai berkaca itu menghantam lantai lebih jauh dan mungkin hancur berkeping keping.
Ia bermain, berlari , menulis huruf, menggambar ,namun satu yang tak pernah ia lakukan yaitu Bicara.
Sampai pada suatu sore sepulang sekolah, saya mendapati ibu tengah meletakkan tangannya di bahu ibu Ramelan di Ruang tengah, ada kilatan air pada matanya dan sekilas saya mendengar suara tertahan amat getir,
"Apa salah saya ya , mbakyu..?" Tak ada isak tangis , namun pertanyaan itu kudapati membuat ibu tak mampu berkata apa apa seperti biasanya, ia hanya meremas bahu tetangga kiri kami itu dan mengucap sebuah kalimat pendek.
"Sabar saja, bagaimanapun ia sehat, disyukuri dan dijalani saja!" kalimat itu keluar dari ibuku saat aku melintas di sisi ruang tengah tempat mereka berada.
Sehari setelahnya sebelum berangkat sekolah ibu memberi tahuku tentang Narto, saya terdiam mematung ketika ibu bicara dengan beberapa nasehatnya untuk saya, saya masih tak percaya. Hari itu saya baru sepenuhnya menyadari bahwa sahabat saya yang selama ini menemani pergi dan pulang sekolah,Narto , hidup dalam kesunyian , hening, tanpa keriuhan.
Wajahnya yang tak berekspresi ketika ibu guru Kartini marah karena sekelas gaduh , pernah membuat sebuah tanda tanya pada saya, beberapa teman mentertawai Narto saat tak menoleh ketika dipanggil, ada yang saya curigai ketika semua itu berlangsung namun aktivitas fisik Narto yang tak berkurang, menepis semua itu.