Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Catatan Tepi, Namaku Peristiwa

12 Februari 2018   08:46 Diperbarui: 12 Februari 2018   08:57 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Belum lama ini ada seseorang yang bertanya pada saya: "Om kenapa sih dipanggil Peye?". Kontan saya jawab dengan pertanyaan: "Emangnya kenapa?". Menurutnya nama itu aneh dan  lucu. Dia heran kenapa nama itu bisa muncul menggantikan nama Aryadi yang artinya lahir di Hari Raya dan anehnya lagi menurut dia kenapa saya mau dipanggil dengan nama itu. Tetapi begitulah, bertahun-tahun teman-teman SMA memanggil saya demikian  sejak semester pertama kelas satu hingga kami-kami ini sampai pada usia paruh baya.

Adakah nama itu membawa pengaruh buruk pada saya?. Nggak juga. Tidak ada doa buruk yang terkandung disana. Nyatanya nama itu mengakrabkan saya pada teman-teman lain diluar jurusan studi SMA yang semula tak saling kenal karena  merasa aneh dengan nama itu.

Bicara nama bagi saya adalah selalu terkait sebuah peristiwa. Sejak kecil bapak ibu saya memanggil Didi, teman-teman SMP memanggil saya dengan nama lengkap Aryadi. Nama Peye datang ketika kami segelintir pencinta alam SMA melakukan latihan pemanjatan tebing di tebing Ciampea Gunung bunder. Menjelang sore setelah pemanjatan, kami semua kelaparan. Menu yang ada di warung kecil pertigaan jalan menuju tebing hanya tersedia beberapa bungkus mie instant dan satu bungkus besar peye kacang yang nampak menggiurkan.

Sementara teman-teman lain sibuk membenahi tali dan peralatan sambil menunggu Supermie matang, saya asyik duduk dipojokkan karena tidak memesan mie instant sambil mengunyah peyek dalam plastik transparan yang besar. Menit demi menit saya nikmati makanan kesukaan saya ini sehingga tanpa sadar satu plastik penuh peye tandas dan berpindah kedalam perut. Saat mangkok-mangkok supermie sudah terhidang, para pelahap mie instan mulai tengak-tengok mencari teman makan selain saos dan kecap, rupanya mereka juga diam-diam mengincar peye yang semula tergantung didinding. 

Begitu melihat dipojokkan saya menggenggam plastik yang sudah kempis, kontan mereka berteriak-teriak dan datang 'menyerang'. Mereka marah-marah karena sekian banyak peye yang ada dan sudah mereka tunggu, habis dimakan oleh saya kawannya sendiri. Saya lari lintang pukang menjauhi warung karena dikejar oleh mereka sambil tertawa penuh kemenangan. Sejak hari itu tidak ada lagi nama Aryadi, mereka memanggil saya PEYE. Apakah saya harus marah? Buat Apa!

Nama saya kembali berubah menjadi hanya Ary ketika dosen kami DR Kebamoto memanggil saya dengan panggilan ini saat memanggil ketika mengajar di Pondok Cina. Teman-teman kuliah saya memanggil saya ARY. Saya terima saja.

Perubahan unik ada lagi saat saya diterima di satu Perusahaan minyak dan harus kembali kebangku kuliah di sekolah perminyakan. Disini kami kuliah di salah satu kota minyak di jawa tengah dengan dosen dosen yang banyak berkultur jawa. Mereka rata-rata bersuara pelan dan lembut. Materi rumit pekuliahan menjadi makin rumit karena apa yang disampaikan didepan kelas tak lebih cuma seperti mendengar gending jawa yang lembut, pelan dan sulit dipahami.

Salah satu dosen Pneumatic instrumentasi, Pak Kuswiyoto, punya kebiasaan bicara seperti mengunyah pemen karet dan bila berdiri didepan kelas, leher dan kepala ini harus condong kedepan untuk memahami apa yang beliau bicarakan. Apa yang kami dengar hanya suara berbunyi:  Menye..menye..menye.

Suatu hari didepan kelas saya diminta untuk menyelesaikan satu perhitungan oleh dosen ini lalu beliau meninggalkan kami dikelas. Didepan kelas saya berbalik menghadap teman-teman sekelas sambil mencoret-coret papan tulis dan bergumam:  "Anak-anak..ini soalnya menye..menye..menye ya, kalian harus selesaikan dengan rumus menye..menye..menye!". Satu kelas tertawa tetapi sejak hari itu hingga kami bekerja selanjutnya tidak ada yang memanggil saya Aryadi lagi, mereka memanggil saya MENYE. Apakah saya harus marah? Buat apa!

Jadi Bila ketemu dijalan ada seseorang memanggil saya DIDI dia pasti sahabat kecil saya dirumah, Bila ketemu dijalan ada seseorang memanggil saya ARYADI dia pasti sahabat SMP saya atau seseorang yg tak terlalu akrab. Bila ada yang memanggil saya PEYE, saya yakin dia adalah teman SMA saya. Jika suatu ketika saya dipanggil dengan panggilan ARY, itu pasti teman kuliah atau pembaca tulisan saya. Dan saya akan langsung tahu bila ketemu teman kerja di perusahaan minyak dulu karena pasti mereka akan memanggil saya  MENYE.

Buat saya nama-nama yang saya dapat dan miliki  menandakan peristiwa. Seperti bapak yang menamai saya karena berdekatan dengan hari raya Idul Fitri. Ketika anak lelaki terakhir saya lahir ditahun 2001. Saya sudah merencanakan satu buah nama untuknya yaitu SADDAM. Itu bukan berarti saya menyukai Presiden Irak Saddam Husein tetapi peristiwa dunia saat itu didominasi oleh perjuangan Saddam menentang hegemoni Amerika sehingga saya menamainya demikian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun