Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Catatan Tepi: Komunis dan Tiga Generasi

25 September 2017   13:46 Diperbarui: 25 September 2017   13:49 1547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika bertanya tentang apa itu faham Komunisme kepada bapak ditahun delapan puluhan , tak banyak yang bisa saya dapatkan dari beliau khususnya mengenai kenapa ideologi itu bisa ada di Indonesia. Disaat pemberontakan komunis terjadi 30 September 1965, ibu baru enam hari melahirkan anak keduanya, Kakek atau ayah dari ibu  dikurun satu minggu sebelum peristiwa terjadi harus mengungsi setiap malam karena sebagai seorang pengelola hutan jati pemerintah dikawasan Subah Jawa Tengah beliau mendapakan secarik kertas dari anak buahnya  yang menuliskan daftar nama-nama orang yang harus dimusnahkan, diculik dan dibunuh oleh PKI. 

Nama beliau tercantum didalamnya dan anak-anak buahnya menyarankan untuk mengungsi ke hutan setiap malam untuk menghindari penculikan oleh PKI di malam hari. Diantara anak buahnya yang memberi peringatan itu adalah beberapa orang yang sejatinya adalah simpatisan PKI tingkat bawah yang justru tak tega membiarkan  atasannya di perusahaan  harus dimusnahkan. Kelak anak-anak buah yang menyelamatkan kakek, beberapa ada yang diadili tanpa pengadilan yang adil serta harus kehilangan nyawa karena pembersihan faham yang jadi musuh bersama dan tak pandang buu.

Ibu dan kedua kakak saya yaitu kakak lelaki pertama dan kakak perempuan kedua tinggal di rumah kakek, sementara bapak bertugas di pulau seberang dan  sangat jauh pengetahuannya mengenai politik saat itu karena beliau tengah bermarkas dalam hutan-hutan digaris batas Pulau Sebatik bersama tiga ribuan pasukan satu Brigade yang bersiap untuk memasuki wilayah Malaysia menunggu  diperintahkan oleh Pemimpin besar Revolusi untuk menggagalkan berdirinya negara Federasi Malaysia.  Brigade yang terdiri dari sekian banyak pasukan elit KKO/Marinir itu hanya mengerti bahwa Negara Malaysia telah mengancam kembalinya kolonialisme di kawasan Asia tenggara.

"Apa yang bapak tahu secara langsung tentang G30S/PKI?" tanya saya ketika beliau punya kesempatan untuk berdiskusi dengan saya.

"Nggak tahu, sebagai prajurit bapak hanya terima perintah untuk berada di pulau Sebatik dan di tanggal tiga puluh September tidak ada berita yang mengkhawatirkan yang diterima diperbatasan utara. Hanya beberapa hari kemudian ada perintah dan maklumat dari pusat bahwa setiap tentara yang tetap setia dengan perintah Suharto akan mendapatkan kenaikan pangkat satu tingkat dan bagi tentara yang diduga terlibat dalam gerakan makar versi militer Angkatan Darat ditingkat pusat tersebut diharapkan untuk segera menyerahkan diri," jawabnya

"Jadi nggak ada yang bisa diceritakan, bagaimana sesungguhnya semua tu terjadi. Atau cerita setelah tentara harus ditarik dari perbatasan Malaysia." tanya saya. Bapak menggeleng.


"Bapak cuma tentara, diperintah panglima kita bergerak, diperintah panglima mundur,'

"Terus kalau disuruh panglima untuk siksa orang gimana, macam cerita pasukan cakrabirawa atau pemberontak yang menyiksa jenderal-jenderal di Lubang buaya?"

"Semestinya semua tentara juga punya Panglima diatas Panglima,"

"Siapa? ...Tuhan?" saya mendesak tapi bapak cuma tersenyum

."Pak..itu jahat juga ya tentara, Cakrabirawa, Gerwani, pemberontak  yang menyiksa para jenderal sampai disilet-silet!"

"Nggak semua Cakrabirawa memberontak, sebagian saja. Tapi kalau yang membunuh para jenderal  itu memang jahat. Nah yang cerita menyiksa-nyiksa itu ceritanya siapa?. Pasukan yang ngangkat mayat dari lubang buaya itu teman-teman bapak dari KKO, mayat yang sudah sekian hari dimasukkan paksa ke dalam lubang ya pasti rusak. Disiksa atau nggak ceritanya dapat dari siapa?"

"Ya mereka kan harusnya tahu mayat itu habis disiksa atau nggak?" buru saya.

"Masuk kedalam lobang buaya itu kerjaan berat, meneliti mayat sampai komplit ya itu bukan urusan pasukan yang ngangkat. Ada orang lain yang lebih ahli ngurusin itu,"

"Jadi nggak tahu yang sebenarnya gimana?"

"Ya nggak tahu, mungkin habis angkat mayat terus mereka diperintah pulang, bersih-bersih. Lagipula bapak waktu itu di Pulau Sebatik. Berita cuma didengar dari Radio Pihillips di tenda besar." Jawab bapak.

"Jadi nggak ada cerita dari teman-teman yang ngangkat mayat setelah itu, setelah bapak pulang ke Surabaya?"

"Memangnya tentara itu wartawan, bisa nulis laporan?. Pulang hidup-hidup aja sudah syukur!"

"Ceritanya  yang benar nggak tahu dong?" kejar saya.

"Kalau kamu percaya cerita yang ada apa ruginya?, kalaupun nggak percaya apa untungnya?. Yang penting komunis itu sudah dilarang. Nanti suatu saat juga ada caranya untuk tahu cerita yang benar," saat pertanyaan itu dibuat , Orde baru tengah berkuasa dengan kuatnya. Tak ada guna mencari cerita versi lain.

Perjalanan panjang menyusuri apa itu komunis akhirnya hanya bisa saya dapatkan dari deretan buku di toko Gramedia di Blok M setelah dalam tahun 1984 saat masih duduk di bangku SMP kelas akhir kami anak-anak sekolah mendapatkan perintah massive untuk wajib menonton film garapan Arifin C Noer  secara bergiliran dari seluruh sekolah. Bioskop di Lingga Indah theater di Pasar Minggu dan Bioskop Marinir Cilandak menjadi saksi bisu dua tempat saya menonton film yang sama.

Cerita tentang PKI selain dari menonton film tersebut serta teks book resmi yang disusun  oleh Nugroho Notosusanto  hasilnya tak banyak yang bisa digali di masa itu. Semua buku yang tersedia di rak buku selalu ditulis oleh pihak yang memberantas paham Komunis sebagai pihak pemenang. Cerita mengenai kisah pembanding ataupun penelitian sejarah dari dari Negara liberal macam kelompok Negara barat juga mustahil didapat karena seluruh dunia saat itu sepakat membendung paham komunis yang terbukti gagal membawa masyarakat dunia dalam kemakmuran sekaligus keterbukaan informasi. 

Satu dua buku versi lain coba diterbitkan tetapi resikonya baik yang membuat atau pembacanya beresiko dimasukkan kebalik jeruji besi. Kebencian terhadap PKI sudah begitu merasuk dan itu terbukti berhasil karena sampai saat ini saya masih menganggap PKI adalah kelompok yang tak boleh hidup di negeri  Indonesia ini.

Meskipun keingin tahuan tentang sejarah pemberontakan PKI  yang sebenarnya terus memberikan dorongan saya untuk mencari dan membaca tetapi menikmati film G30/SPKI yang setiap tahun dtayangkan di Televisi Nasional rasanya bukan sesuatu yang mengganggu apalagi menyiksa. Tak ubahnya  Film Rambo  "First Blood" yang sudah keluar sebelum film tentang G30S/PKI direlease adalah penggambaran bahwa mesti berotak belum terlalu dewasa, saya bisa memahami bahwa kenyataan perang di Vietam adalah dimenangkan oleh Negeri Vietnam. 

Tetapi meskipun gambaran sejarah itu jelas gamblang tetapi Pemerintah Amerika perlu untuk memastikan bahwa kebanggaan  warga Amerika mengenai spirit perjuangan para tentara Amerika yang berusia belia yang tewas karena kebijakan politik pemerintah pusatnya harus tetap dijaga.  Tokoh fiksi John Rambo dan Kolonel Samuel Trautman seolah bagian dari kehebatan Amerika yang sejatinya lari lintang pukang meninggalkan Saigon dengan nestapa.

Terusik dengan sejarah PKI belum lama ini  saya bertanya kepada tiga anak-anak lelaki saya yang sudah menggenggam KTP Indonesia.

"Mas, tahu siapa Aidit, Letkol Untung, Oemar Dhani?"  mereka kontan kompak menggeleng.

"Kalau G30S PKI... tahu?" tanya saya lagi

" Ya tahu. Kan ada dipelajaran sekolah. Tapi nggak tahu siapa-siapanya!"

"Jadi menurut kalian komunis itu gimana?"

"Jahat!" sahut mereka

"Contohnya?"

"Kim Jong Un..Cupu..nggak bakal ada internet...nggak boleh nulis...nggak boleh nonton youtube..nggak boleh download film...nggak boleh beda... banyak nggak bolehnya!"

Saya terhenyak, Komunisme sudah lama merasuk sebagai kekuatan jahat yang menafikkan kekuatan lain selain faham diluar mereka. Faham ini adalah faham yang bertentangan bagi Kaum yang berTuhan dan kaum yang menginginkan kebebasan meskipun kenyataannya konon Komunis bukan berarti  selalu Atheis atau tak mengakui Tuhan.

Bagi saya, hal yang harus saya bekali dan ternyata memang telah terbekali adalah pesan pada anak-anak saya  bahwa Komunis itu berarti Cupu, Nggak Laku, Senang mengekang, Anti perbedaan, Terbukti gagal, mau menang sendiri, Merasa paling benar sendiri, Tak suka agama, Main cabut nyawa seenaknya, Main Fitnah musuh-musuhnya  dan masih banyak lainnya.

Sambil menunggu menikmati film lawas G30S/PKI berdurasi 271 menit produksi Orde Baru diputar kembali,  saya akan siapkan Kopi tanpa Rokok supaya bisa ikut larut dalam suasana film yang konon katanya hasil riset documenter. Tapi jauh sebelum film itu tayang lagi saya masih yakin  Komunis ala PKI, ala China, ala Korea Utara apalagi ala Rusia yang sudah runtuh hanya akan  laku buat para politisi.

Sebagai rakyat biasa saya lebih takut kepada KOMUNIS: Kelompok Muka Manis yang mengadopt cara-cara PKI untuk menebar ketakutan, mengagitasi rakyat, membentuk propaganda kebencian pada kelompok lainnya.

SAY NO TO KOMUNIS!!!!!

.

From the desk of Aryadi Noersadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun