Mohon tunggu...
Fauziyah Kurniawati
Fauziyah Kurniawati Mohon Tunggu... Penulis - A Genuine Dreamer

Struggling Learner / Random Writer / Poem Addict

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kasidah Diam

18 Oktober 2020   10:09 Diperbarui: 18 Oktober 2020   10:15 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
lizustration.tumblr.com

Di beranda sesayup ini, aku menikmati kepulan kopi panas yang mengawang sambil mengingat kehilangan ranah yang kunamakan waktu. Ketika sosok yang kupuja dan sempat memercikkan cinta pada wajahku pamit pergi mengejar jejak para petualang masa. 

Sungguh, aku kini terpuruk, terlampau bertanya tentang hubungan ini. Aku sangat mengagungkan hubungan ini, seperti padmi yang setia pada rajanya, seperti Bilqis yang bersujud cinta pada Sulaiman, dan seperti Zulaikha yang memuja ketampanan Yusuf. 

Namun kulihat dirinya seperti berjalan sendirian melewati gang-gang kecil hatiku. Seringkali aku terlewati dan dibuatnya tersepuh tanda tanya oleh sikapnya yang skeptis.

Kenapa harus aku yang diam?

Kenapa harus aku yang menunggu pohon berbuah juga daun-daun berguguran jelang kepergiannya?

Maka biarkan aku memaknai matamu ynag lebih sunyi dari riak air kolam mana pun dengan patahan huruf sepi yang kukandung sendiri dalam rahimku.

Aku ingin bercerita.

;Zora Lianna.

***

Aku mengamini cuaca hari ini agar langit enggan menurunkan hujan, agar matahari turun dari hatimu, dan agar angin sepoi-sepoi senantiasa menemani perjalanan kita, Kira Alfaet.

 Seperti bunga yang tumbuh mekar di hatiku kini, aku senang mengendarai kereta waktu bersamamu sambil menikmati panorama dan bacaan-bacaan alam. 

Ya... meski hanya beberapa jam saja, itupun menjelang kepergianmu. Untuk itu, aku tak ingin melewati momen ini begitu saja tanpa sepatah kata pun terucap ditemani sunyi yang kita bangun dari deretan kursi di bus kota. Tanpa kuperintah, kau pun bertatap lantas menyapa.

"Ra, ini air. Minumlah!" ucapmu datar sambil menawariku sebotol air mineral.

"Oh iya, Al. Terima kasih." Aku pun mengambil air itu. Meski nyatanya aku malu, tapi di depanmu aku selalu berusaha menjaga sikapku dengan senyum simpul milikku.

Entah kenapa, aku selalu merasa kikuk tiap kali berdekatan denganmu. Aku melabuhkan segala keyakinan padamu semenjak pertama kali kubaca bahasa dari kedua alis matamu yang licin. Bahasa itu kunamai cinta. 

Tapi entah, kau menamainya dengan bahasa yang sama atau hanya aku yang terlalu berharap bahasa itu kau tulis untukku. Aku selalu mempertanyakan itu pada hari-hari yang kuhitung tiap detik perjalanannya.

***

Hari demi hari adalah do'a-do'a yang dipanjatkan. Jalan-jalan berkelok adalah lagu alam yang dinyanyikan para pujangga bagi mereka yang dipuja. Aku pun ikut bernyanyi bersama attar, mematri hidup yang singgah sebentar pada jiwa seorang wanita melankolis yang beberapa pekan lalu baru kusadari bahwa dirinya telah menanam benih-benih harapan di ladang hatiku. Rupanya suatu hari dia berharap bisa memanen buahnya tetap pada ladang yang sama. 

Aku nyaman bersamanya, aku senang tiap kali dia bercerita tentang ruang hidupnya, aku juga terhibur dengan senyumnya yang merekah tiap kali pikiranku penat dengan tugas-tugas kuliah yang menumpuk di atas mejaku. Ya... aku akui semua itu. Namun entah, haruskah aku namai itu cinta? Haruskah kutulis puisi abstrak tentang dirinya yang bagiku hanyalah angin?

Ra...aku menghargaimu sebagai mawar yang tumbuh mekar. Tapi aku tak ingin berjanji padamu bahwa suatu hari aku akan memetikmu lalu memilikimu. Aku hanya ingin merawatmu agar tak layu meski musim harus berganti, begitu pula waktu yang gelisah karena kepergianku.

Beginilah diriku ;Kira Alfaet.

***

Udara telah membawaku pergi ke ranahku yang baru. Aku kembali diperkenalkan dengan peradaban dan orang-orang baru. Di kota ini, di mana langit telah menuliskan Jeddah di depan mataku, akan kuperbaiki hidup dan pribadiku demi orang-orang yang mungkin masih beberapa tahun lagi akan menyambut kedatanganku. Ya... aku akan bersabar untuk itu.

Di sini, aku meraba-raba detik dan jam yang lambat. Aku mengkhidmati hari-hari agung yang meng-isyaratkan masaku yang akan datang. Di sini, aku berusaha keras mewujudkan tekad yang kubawa dari perkampungan rumahku.

Setelah lama kupatuhi keseriusanku, tiba-tiba aku melihat sosok wanita cantik bergelayut di pikiranku. Dia tak asing, aku pun terlalu mengenalnya. Zora Lianna. Rupanya aku merindukannya  setelah satu waktu yang kuhabiskan dengannya tiga bulan yang lalu. 

Untuk menepisnya, aku pun mencoba meneleponnya dengan menulis nomor teleponnya di layar ponselku. Tak lama, kudengar sayup suaranya yang agak serak.

"Halo, inikah kau, Al?" tanya Ra.

"Iya Ra. Ini aku. Bagaimana kabarmu?"

"Baik. Aku harap kau di sana juga baik-baik saja. Doaku selalu bersamamu."

"Terimakasih, Ra!"

Sekadar bertukar kabar dan rindu, aku dan Ra bertemu dalam frase suara meski dari jarak ratusan kilometer beberapa menit saja. Aku harap dengan begitu, dia bisa sedikit memberikan senyumnya kepada orang-orang setelah kudengar berita dari kawan-kawanku di sana bahwa seusai kepergianku, dia lebih banyak diam dan menyendiri daripada bersenda gurau dengan teman-temannya. Sungguh, aku kalut dibuatnya. Aku sempat menyalahkan diriku sendiri karena mengenalnya dan membuatnya nyaman bersamaku.

Maafkan aku, Ra.

***

Begitu mendengar senandung suaranya, burung-burung berhenti dari terbangnya di antara lapisan langit, dan senyum pun menjelma eukaliptus senja di bibirku. 

Ya... aku terlalu senang kembali bertukar sapa dengannya dan bercakap tentang rindu yang lama menetap di ruang jiwaku. Aku bahagia ketika kutahu dirinya baik-baik saja.

Aku selalu berharap rindu yang sama di hatinya. Sungguh, yang kuharap hanya kepastian bagi waktu untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi antara diriku dan dirinya.

Al, masih belum cukupkah waktumu untuk diam dan membiarkanku terlunta dalam cinta yang seharusnya kekal? Aku masih belum bisa membaca dan memahami karaktermu seutuhnya. Aku butuh banyak waktu untuk mempelajarinya dan membuatmu sadar bahwa aku membutuhkanmu, Al.

Dari yang tak terungkapkan, aku ingin terbang bersama sekawanan burung di langit sana. Lalu pada gumpalan awan putih, pada kabut yang mengepungku, akan kutemui dirimu dan berharap kau menyambutku penuh arti. Akan kusadur tiap kata yang terucap pada kasidah yang kunamakan diam agar setitik demi setitik ragu tersingkap dari wajahmu yang papah.

Kira Alfaet, catatlah ini :

Seperti bunga-bunga yang tertunduk,

Daun-daun yang menguning oleh usia.

Demikianlah kutempatkan diriku sesepi ini.

Kulihat semburat awan yang abu-abu

Langit retak sementara karena keluguan.

Tapi lupakanlah!

Dunia kita telah pergi menemui sesepuhnya.

Di sini aku akan mengaji asing dan sunyi

Setelah mengkaji kesabaran berulang-ulang.

Sementara di sini ku begitu, aku selalu berdoa di sana kau serupa daun yang setiap pagi mendapat ucapan "selamat pagi" dari embun dan menerima salam darinya bahwa bunga di singgasana sedang merindukanmu. Itu aku, Al!.

***

Aku tak pernah memaknai ini diam. Aku hanya ingin menghargai dirimu yang selalu diam tiap kali ku bertanya padamu, apakah kau pernah mencintai seseorang?. 

Aku tahu apa yang kau rasakan begitu mulia. Rasa ini terlalu sempurna. Mungkin aku naif, jika aku memungkirinya. Namun ini bukan rasaku, bukan sesuatu yang kucari dari dirimu. 

Kesyahduan dan keindahan selalu fana, namun bagiku kau sederhana. Kau adalah bahasa tubuh yang bersahaja, disusun dari huruf-huruf hanacaraka hujan dan kemarau. Aku selalu memuji tiap kata yang kau ucap dengan ketulusan. 

Namun sampai saat ini yang kutahu kau adalah seorang pendiam. Maka jangan salahkan aku bila kau menilai akulah yang membiarkanmu resah dalam diam yang kau cipta sendiri.

Sekali lagi... maafkan aku, Ra.

***

Jika diam adalah rahasia, maka ungkapkanlah!

Jika diam adalah nubuat, maka sampaikanlah!

Jika diam adalah janji, maka tepatilah!

Jika diam adalah cinta, maka jagalah!

Sebab pada hakikatnya...

Diam adalah kasidah yang mesti dinyanyikan.

Tak terhitung berapa lagu dan airmata yamg mengalir

Dari hulu ke hilir sungai

Mengucap doa bagi gelombang yang dimiliki para kekasih.

Dan tetap pada irama yang sama. Klasik.

Begitu pula tanah tetaplah pasir yang mengilhami luka.

Mereka telah memilih diam

;Al_Ra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun