Mohon tunggu...
Fauziyah Kurniawati
Fauziyah Kurniawati Mohon Tunggu... Penulis - A Genuine Dreamer

Struggling Learner / Random Writer / Poem Addict

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kasidah Diam

18 Oktober 2020   10:09 Diperbarui: 18 Oktober 2020   10:15 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
lizustration.tumblr.com

Ya... meski hanya beberapa jam saja, itupun menjelang kepergianmu. Untuk itu, aku tak ingin melewati momen ini begitu saja tanpa sepatah kata pun terucap ditemani sunyi yang kita bangun dari deretan kursi di bus kota. Tanpa kuperintah, kau pun bertatap lantas menyapa.

"Ra, ini air. Minumlah!" ucapmu datar sambil menawariku sebotol air mineral.

"Oh iya, Al. Terima kasih." Aku pun mengambil air itu. Meski nyatanya aku malu, tapi di depanmu aku selalu berusaha menjaga sikapku dengan senyum simpul milikku.

Entah kenapa, aku selalu merasa kikuk tiap kali berdekatan denganmu. Aku melabuhkan segala keyakinan padamu semenjak pertama kali kubaca bahasa dari kedua alis matamu yang licin. Bahasa itu kunamai cinta. 

Tapi entah, kau menamainya dengan bahasa yang sama atau hanya aku yang terlalu berharap bahasa itu kau tulis untukku. Aku selalu mempertanyakan itu pada hari-hari yang kuhitung tiap detik perjalanannya.

***

Hari demi hari adalah do'a-do'a yang dipanjatkan. Jalan-jalan berkelok adalah lagu alam yang dinyanyikan para pujangga bagi mereka yang dipuja. Aku pun ikut bernyanyi bersama attar, mematri hidup yang singgah sebentar pada jiwa seorang wanita melankolis yang beberapa pekan lalu baru kusadari bahwa dirinya telah menanam benih-benih harapan di ladang hatiku. Rupanya suatu hari dia berharap bisa memanen buahnya tetap pada ladang yang sama. 

Aku nyaman bersamanya, aku senang tiap kali dia bercerita tentang ruang hidupnya, aku juga terhibur dengan senyumnya yang merekah tiap kali pikiranku penat dengan tugas-tugas kuliah yang menumpuk di atas mejaku. Ya... aku akui semua itu. Namun entah, haruskah aku namai itu cinta? Haruskah kutulis puisi abstrak tentang dirinya yang bagiku hanyalah angin?

Ra...aku menghargaimu sebagai mawar yang tumbuh mekar. Tapi aku tak ingin berjanji padamu bahwa suatu hari aku akan memetikmu lalu memilikimu. Aku hanya ingin merawatmu agar tak layu meski musim harus berganti, begitu pula waktu yang gelisah karena kepergianku.

Beginilah diriku ;Kira Alfaet.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun