Bertenggerlah temaram itu di pundakmu
Kau katakan padaku; temaram itu indah
Tak sempat kuangguki ucapanmu itu
Kala itu...
Sebab temaram itu dibangun di ujung siang-jelang malam
Sedang indah itu tak mengerti apa-apa dan sesiapa
Bahkan tak mengenal pagi-siang-sore-malam
Indah itu rasa dan bahasa, tiada paham tentang pemandangan
Bila suatu nanti; batinmu terluka di temaram
Maka, tiada indah temaram itu lagi; bagi kita
Tak sampailah temaram itu di pundakmu
Bilapun sampai, engkau mulai membencinya
Seperti yang barusan kita rasa
Digamit-gamit perasaan sesal
Atas nama perpisahan
Itulah kepedihan di temaram kita
Engkau jamu aku; anggur dan rambutan
Keduanya merah warnanya
:Di sisi-sisi lilin menyala dalam kaca-gelas
Kaca tiada pernah memohon diterangi
Lilinpun mengerti diri; dia bukanlah penerang
Selain hanyalah penanda: "Ia masihlah bernafas"
Serupa aku itulah!
Lalu...!
Di temarammu itu
Tulangku ini t'lah patah
Serupa patahnya hati ini
Jikalau sembuh
Bakal sisakan jejak lukanya
Bahkan tak kuasa berdiri; seumpama sedia kala
Malah pun, aku berjalan bungkuk
...............
Ya, berjalan bungkuk
Di tepat temarammu....
***
Makassar, 25 September 2015
Â
Â